Daftar Pustaka
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki
sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa
pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada
abad ke-2 H.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan,
dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan
kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu,
juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis
al-Qur'an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan
Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan
Khalifah yang lain. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi
dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan
bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah
peradaban Islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Rasulullah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Khulafa' al-Rasyidin?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Tabi'in?
1. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Rasulullah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Khulafa' al-Rasyidin?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Tabi'in?
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Periode I
1.1 HADIS PADA MASA RASUL SAW ( dari 13 S.H.-11H) (610M-632 M)
Ada suatu
keistimewaan pada masa ini yang membedakan-nya dengan
masa lainnya. Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasul SAW
sebagai 'sumber hadis. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat
menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah
menurunkan al-Quran dan mengutus Nabi Muhammad SAW
sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang
disampaikannya juga merupakan
wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi
utusan-Nya tersebut.
Artinya :
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang dwahyukan (kepadanya). (QS Al-Najm (53): 3-4)
Oleh karena
itu, tempat-tempat pertemuan di antara kedua belah pihak
sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Ternpat yang biasa
digunakan Rasul SAW cukup bervariasi, seperti di masjid,
rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan
ketika muqim (berada di rumah).2
Melalui
tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampai-kan hadis,
yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar
oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrirnya yang
disaksikannya oleh mereka
(melalui musydhadah).
Menurut
riwayat Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa untuk
tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW
menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, se-hingga membuat
para sahabat selalu ingin mengikuti pengaji-annya.
1.2 Cara Rasul SA W Menyampaikan Hadis
Ada beberapa
cara Rasul SAW menyampaikan hadis ke-pada para
sahabat, yaitu:
v
Pertama, melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi. Melalui
majlis ini para sahabat memperoleh
banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka
berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan
oleh Nabi SAW.Para sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majlis ini, ini ditunjukkannya
dengan banyak upaya. Terkadang di
antara mereka bergantian hadir, seperti yang dilaku-kan oleh Umar ibn Khattab. la sewaktu-waktu
bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. la
berkata: "Kalau hari ini aku yang turun
atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, demikian aku melakukannya."3
Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke
majlis ini, untuk kemudi-an
mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
v
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga me-nyampaikan hadisnya melalui para sahabat
tertentu, yang kemu-dian
disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terka-dang ketika ia mewiirudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja
oleh Rasul SAW sendiri atau secara
kebetulan para sahabat yang hadir hanya
beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadis-hadis yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn
Al-'Ash. Untuk
hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis
(terutama yang menyang-kut
hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap
para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul
SAW, seringkali
ditanyakan melalui istri-istrinya.
v
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasul SAW adalah
melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka,
seperti ketika haji wada' danfutuh
Makkah.
1.3 Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis.
Di antara para
sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan
hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung
kepada beberapa hal yaitu
v Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan
bersama Rasul SAW.
v Kedua,
perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada
sahabat lain.
v ketiga, perbedaan
mereka karena berbedanya
waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul
SAW.
1.4 Para sahabat yang banyak menerima Hadist dari Nabi.
Ada beberapa
orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang
banyak menerima hadis dari Rasul SAW dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
v Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sdbiqun Al-Awwaliin (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab,
Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Mas'ud. Mereka banyak menerima
hadis dari Rasul SAW, karena lebih awal
masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
v Ummahdt Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW daripada
sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis
yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
v Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga
menuliskan hadis-hadis yang diterimanya, seperti
Abdullah Amr ibn Al-'Ash.
v Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW, akan tetapi
banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara
sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
v
Para sahabat
yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya
kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari
wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn
Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah
ibn Abbas[1].
Lantaran
inilah masruq berkata,” saya banyak berada semajelis dengan para sahabat. Maka
ada diantara mereka yang saya dapati ibarat kolam kecil, hanya mencukupi buat
minum seorang, ada yang mencukupi buat dua orang dan ada yang tidak
kering-kering airnya, walaupun terus menerus diminum oleh penduduk bumi ini[2].
1.5 perbedaan- perbedaan perhatian dan sebab tidak membukukan hadist :
Boleh jadi, perbedaan-perbedaan perhatian dan
tidak mcmbukukan hadits disebabkan oleh
faktor-faktor ini:
a. mentadwinkan ucapan-ucapannya, amalan-amalannya, mu'amalah-mu'amalahnya adalah satu
keadaan yang sukar, karena mcmcrlukan adanya segolongan sahabat yang terus-menerus hams menyertai Nabi untuk menulis segala
yang tersebut di atas padahal orang-orang yang dapat menulis pada masa itu, masih dapat dihitung.
Oleh karena Al Qur'an
merupakan sumber asasi dari tasyri1, maka beberapa orang penulis
itu, dikerahkan tenaganya untuk menulis Al Qur'an dan Nabi memanggil mereka untuk menuliskan wahyu itu setiap
turunnya.
b. Karena orang Arab - disebabkan mereka lak pandai menulis dan membaca tulisan - kuat
berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mereka ingin menghafalnya.
Mempergunakan waktu untuk mcnghafal Al Qur'an
yang di-turunkan dengan berangsur-angsur itu
adalah suatu hal yang mudah bagi
mereka, tidaklah demikian terhadap Al Hadits.
c. Karena dikawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al Qur'an
dengan tidak disengaja.
Karena itu Nabi SAW.
melarang mereka menulis hadits, beliau khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi[3].
Hadist
atau sunnah nabi tidak ditulis seperti Al-Qur’an, karena ada larangan nabi saw,
yang khawatir andaikan campur dengan Al-Qur’an, disamping umumnya para sahabat
mengandalkan pada kekuatan hafalan, dan juga karena kekurangan tenaga penulis
dikalangan mereka. Namun demkian ada juga sahabat yang menulisnya tidak secara
resmi, melainkan atas inisiatif sendiri seperti yang dilakukan oleh Abdullah
bin amr bin ash dalam sebuah shahiffah yang diberi nama Ash
– shadiqah. Setelah Al-Qur’an dibukukan ditulis dengan
sempurna serta lengkap pula turunnya, barulah izin penulisan hadist pun
dikeluarkan.
Periode II
2 MASA KHULAFA RASYIDIN – MASA MEMBATASI RIWAYAT (11-40 H) (tahun 11 H / 632 M)
Periode kedua sejarah
perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafd' Al-Rasyidin
(Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn
Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung
sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada
masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, maka periwa-yatan hadis belum begitu berkembang, dan
kelihatannya ber-usaha
membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama anggap sebagai masa yang menunjukkan adanya
pembatasan Periwayatan (al-tasabbut
wa al-iqlal min al-riwayah).
2.1 menjaga pesan Rasulullah SAW.
Pada masa menjelang akhir kerasulannya,
rasulullah SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada AL-Qur’an
dan Hadist serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya :
Artinya
: telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat
setelah berpegang kepada keduanya, yaitu
kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku ( al- hadist ).
Artinya
: samapaikanlah daripadaku, walaupun hanya seayat.
2.2 Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis
Perhatian para
sahabat pada masa ini terutama sekali terfo-kus pada
usaha memelihara dan menyebarkan al-Quran. Ini ter-lihat bagaimana al-Quran dibukukan pada masa
Abu Bakar atas saran Umar ibn
Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman
ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani-Satu disimpan di Madinah yang dinamai mushaf
al-lmam, dan yang empat
lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan
Kufah. Sikap memusatkan perhatian terhadap al-Quran tidak
berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka
memegang hadis seperti halnya yang diterimanya
dari Rasul SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat
berhati-hati dan membatasi
diri.
Kehati-hatian
dan usaha membatasi periwayatan yang di-lakukan para sahabat, disebabkan
karena mereka khawatir terjadinya
kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri' setelah al-Quran, yang
harus terjaga dari kekeliruannya
sebagaimana al-Quran. Oleh karenanya, para
sahabat khususnya khulafa' al-rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan AH) dan sahabat lainnya, seperti
Al-Zubaif, Ibn Abbas dan Abu Ubaidah
berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan
hadis.
Dapat
disimpulkan , bahwa pada masa ini belum ada usaha secara
resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya
al-Quran. Hal ini disebabkan agar tidak memaling-kan perhatian atau kekhususan
mereka (umat Islam) dalam mempelajari
al-Quran. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW sudah
tersebar ke berba-gai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukannya
masing-masing sebagai pembina masyarakat.
Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka
secara leng-kap. Pertimbangan lainnya,
bahwa soal membukukan hadis, di ka-langan
para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya
perselisihan soal lafadz, dan kesahihannya[4].
2.3 Hadist di masa Abu Bakr dan ‘Umar.
Para sahabat sesudah Rasul wafat tidak lagi
berdiam di kota madinah. Maka penduduk kota-kota lain pun mulai menerima
hadist. Para tabi’in mempelajari hadist dari para sahabat Dengan demikian
mulailah berkembang riwayat dalam kalangan tabi'in.
Dalam pada itu, riwayat hadits di permulaan
masa sahabat itu, masih terbatas sekali. Disampaikan kepada yang memerlukan
saja dan bila pcrlu saja, belum bersifat pelajaran.
Perkembangan hadits dan membanyakkan
riwayatnya, terjadi scsudah masa Abu Bakr dan 'Umar, yaitu masa 'Utsman dan
'Ali.
Dalam
masa khalifah-khalifah Abu Bakr dan 'Umar, periwayatan hadits belum lagi
diluaskan. Beliau-beliau ini mengerahkan minat ummat (sahabat) untuk
menyebarkan Al Qur'an dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam
menerima riwayat-riwayat itu.
2.4 Sebab-sebab pada masa Abu Bakr dan 'Umar hadits tidak tersebar dengan pesat
Dengan
tegas-tegas sejarah menerangkan bahwa 'Umar diketika memegang tampuk kekhalifahan meminta dengan
keras supaya para sahabat menyelidiki
riwayat. Beliau tidak membenarkan orang membanyakkan periwayatan hadits. Diketika mengutus
perutusan ke Iraq, beliau mewasial-kan supaya
utusan-utusan itu mengembangkan Al Qur'an dan mengembangkan kebagusan tajwidnya, serta mencegah
mereka membanyakkan riwayat.
Diterangkan
bahwa, pernah orang bertanya kepada Abu Hurairah apakah dia banyak meriwayatkan
hadits di masa 'Umar. Abu Hurairah menjawab :
"Sekiranya saya membanyakkan, tentulah 'Umar afcan mencambuk saya dengan cambuknya".'
Satu soal yang harus kita bahas dengan
seksama ialah soal 'Umar mencegah
penyebaran hadits. Apakah 'Umar
pernah memenjarakan bebcrapa orang sahabat lanlaran membanyakkan riwayat?
Ada didakwa
oleh sebagian ahli sejarah hadits, bahwa 'Umar pernah memenjarakan Ibnu Mas'ud, Abu Darda' dan Abu Dzar lantaran membanyakkan riwayat hadits.
Riwayat ini
sebenarnya tidak didapati di dalam sesuatu kitab yang mu'tabar dan tanda kepalsuan pun nampak.
Ibnu Mas'ud
seorang yang terhadulu masuk Islam dan seorang yang dihormati 'Umar. Dan sudah dimaklumi bahwa
dalam urusan hukum, diperlukan
hadits-hadits. Mengenai Abu Darda' dan Abu Dzar, sejarah tidak memasukkan beliau ke dalam golongan orang
yang membanyakkan riwayat. Abu Darda1
diakui menjadi guru di Syria, sedangkan Ibnu Mas'ud menjadi guru di Iraq. Ibnu
Hazm telah menegaskan bahwa riwayat 'Umar memenjarakan tiga shahaby besar itu, dusta.
2.5 Cara-cara para sahabat meriwayatkan hadits
Cara sahabat-sahabat Nabi
meriwayatkan hadits ada dua :
a. Adakala dengan lafal asli,
yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b. Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka
meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena
mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW.
Memang mereka meriwayatkan
hadits adakala dengan maknanya saja.
Yang penting
dari hadits ialah isi. Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.
2.6 Syarat-syarat yang ditetapkan Abu Bakr, 'Ustman dan 'All, ketika menerima hadits
Umum sahabat
tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadits dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tak dapat diingkari, bahwa
sahabat itu sangat berhati-hati dalam
menerima hadits.
Diperoleh
beberapa atsar bahwa Abu Bakr r.a. dan 'Umar r.a. tidak menerima hadits jika tidak disaksikan benarnya oleh scseorang lain,
seperti yang diriwayatkan oleh Adz
Dzahaby dalam Tadzkuratul Huffadh. '
Dan diperoleh
pula atsar yang menyatakan bahwa AH r.a. tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.
Di samping itu diperoleh pula beberapa atsar bahwa beliau-beliau itu menerima juga
hadits-hadits dengan riwayat seorang saja, tidak memtrlukan seorang saksi dan tidak
disumpah.
Asy Syafi'y
dalam Ar Risalah, As Sayuthy dalam Miftahul-Jannah, Ibnu Hazm dalam Al Ihkam. Syaikhul Islam Syubair Ahmad Al Utsmany dalam
Fathul-Mulhim syarah Muslim menerangkan riwayat-riwayat yang menegaskan
bahwa beliau-beliau itu (Abu Bakr dan 'Umar) menerima riwayat orang seorang.
Maka menurut pendapat kami meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan
keharusan, hanya merupakan jalan untuk meyakinkan dalam menerima yang diberitakan itu. Maka jika
dirasakan tak perlu meminta saksi, atau sumpah para perawi, dapatlah kita terus
menerima riwayatnya.
Ringkasnya, meminta seorang saksi atau menyuruh perawi bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dapat
dipandang suatu undang-undang umum dalam
menerima hadits. Yang perlu dalam menerima hadits, kepercayaan yang penuh kepada perawi. Jika kita
pada sesuatu waktu ragu tentang
riwayatnya, kita boleh meminta dia mendatangkan saksi, atau kita Sunih
dia bersumpah.
Ibnu Uyainah
Ibrahim ibn Isma'il dan segolongan Ahli Nadhar sepeiti Abu All Al Jubba-y dan mereka yang
mengikutinya mcnetapkan bahwa diriwayatkan
oleh dua orang itu syarat untuk menshahihkan hadits. Mereka berdalil, dengan
riwayat Ibnu Syihab Az Zuhry bahwa Abu Bakr meminta saksi kepada Mughirah yang menerangkan bahwa
nenek perempuan mendapat
seperenam, yang kemudian disaksikan oleh Muhammad ibn Salamah. Dan dengan riwayat yang menerangkan
bahwa 'Umar meminta saksi kepada
Abu Sa'id untuk membenarkan riwayatnya yang kemudian disaksikan oleh seorang shahaby. Dan mereka
mengqiyaskan riwayat kepada pensaksian.
Sebagian ahli hadits mereka berkata, hadits
fard, munkar dan syad.
2.7 Hadits di masa Utsman dan 'Ali
Di ketika
kendali pemerintahan dipegang oleh 'Utsman r.a. dan dibuka pintu perlawatan kepada para sahabat serta
ummat mulai mcmcrlukan sahabat,
istimewa sahabat-sahabat kecil, bergeraklah sahabat-sahabat kecil mengumpulkan hadits dari sahabat-sahabat
besar dan mulailah mereka meninggalkan
tempat untuk mencari hadits.
2.7.1 Sebab-sebab para sahabat tidak membukukan hadits dan mengumpulkannya dalam sebuah buku
Kata Asy Syaikh Abu Bakr Ash Shiqilly dalam
Fawaidnya menurut riwayat Ibnu Basykual, "Sebenarnya para sahabat tidak
mengumpulkan sunnah-sunnah Rasulullah dalam sebuah mushhaf sebagaimana mereka
telah mengumpulkan Al Qur'an, karena sunnah-sunnah itu telah terscbar dalam
masyarakat dan tersembunyi yang dihafal dari yang tidak. Karena itu, ahli-ahli
sunnah menyerahkan perihal penukilan hadits kepada hafalan-hafalan mereka saja,
tidak sebagai Al Qur'an yang tidak mereka serahka penukilannya kepada secara
demikian.
sebagaimana
Allah telah menjaga Al Qur'an dengan nadhamnya yang paling indah yang tak
dapat diciptakan yang sepertinya oleh manusia.
Mengenai pengumpulan Al Qur'an para sahabat
bersatu. Mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraan mereka
berselisih. Karena itu, tidaklah sah mereka mentadwinkan yang mereka
perselisihkan itu.
Sekiranya
mereka sanggup menulis sunnah-sunnah Nabi sebagaimana mereka telah sanggup
menulis Al Qur'an, tentulah mereka telah mengumpulkan sunnah-sunnah itu.
Mereka takut, jika mereka tadwinkan apa yang tidak mereka perselisihkan saja,
akan dijadikanlah apa yang dibukukan itu, pegangan yang kuat, serta ditolak apa
yang tidak masuk ke dalam buku itu. Dengan demikian tertolaklah banyak sunnah.
Para sahabat membuka jalan mencari hadits
kepada ummat sendiri. Masing-masing mereka mengumpulkan sekedar kesanggupannya.
Dengan demikian pula tersusunlah segala sunnah.
Lantaran
itu, ada yang dapat dinukilkan hakikat lafal yang diterima dari Rasul dan
sunnah-sunnah yang sejahtera dari 'illah, ada yang hanya dihafal maknanya,
telah dilupakan lafalnya dan ada yang berselisihan riwayat dalam menukilkan
lafal-lafalnya dan berselisihan pula perawinya tentang kepercayaan dan keadilan
pemberitanya.
Itulah sunnah-sunnah yang dimasuki 'illah.
Maka
telah dipilih mana yang shahih dari yang tidak oleh ulama-ulama yang ahli,
berdasarkan kepada dasar-dasar yang shahih dan sendi-sendi yang kuat yang tak
dapat dicacatkan lagi oleh seseorang pencacat, atau dilemah-kannya.
Periode III
3 MASA SAHABAT KECIL DAN TABI’IN BESAR. (41 H - akhir abad 1 H)
3.1 Masa berkembang dan meluas periwayatan hadits
Sesudah masa
'Utsman dan 'Ali timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta
menyebarkannya ke dalam masyarakat
luas dengan mengadakan perlawatan-pcrlawatan untuk mencari hadits.
Pada tahun 17
H tentara Islam mengalahkan Syria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir.
Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara
Islam sampai di Samarkand. Pada tahun 93 H tentara Islam menaklukkan Spanyol.
Para sahabat
berpindah ke tempat-tempat itu. Karenanya kola-kola itu merupakan perguruan tempat mengajarkan Al
Qur'an dan Al Hadits, tempat mengeluarkan
sarjana-sarjana tabi'in hadits.
3.2 Lawatan para sahabat untuk mencari hadits
Menurut
riwayat Al Bukhary, Ahmad, Ath Thabarany dan Al Baihaqy, Jabir pernah pergi ke Syam, melakukan
perlawatan sebulan lamanya, untuk menanyakan
sebuah hadits yang belum pernah didengarnya, pada seseorang shahaby yang tinggal di Syam, yaitu Abdullah
ibn Unais Al Anshary.
Hadils yang dimaksudkan oleh Jabir ilu, ialah
sabda Nabi SAW. :
"Manusia
dikumpulkan pada hari kiamat, telarijang tidak berkain, henvama hitatn. Kami berkata, (demikian kata
sahabat) mengapa mereka demikian? Nabi menjawab: tak
ada beserta mereka sesuatu. Mereka diseru oleh sesuatu seruan yang didengar oleh orang yang jauh sebagai
yang didengar oleh orang yang dekat. Seruan
itu ialah Aku raja, Aku Tuhan yang akan memberi pembalasan. Tidak seyogyianya bagi seseorang dari ahli
neraka akan masuk ke neraka, sedang adapadanya
hak seseorang yang dianiaya sehingga aku tuntut penganiayaan itu daripadanya. Dan tidak seyogyanya bagi
seseorang ahli syurga akan masuk ke dalam syurga
padahal ada seseorang ahli neraka yang menuntut haknya yang dianiaya olehnya, sehingga Aku tuntut bela
terhadapnya, walau sebuah tamparan. Kami berkata, betapa kami datang kepada Allah
dalam keadaan telanjang tidak berpakaian dan
berwarna hitamjawab Nabi: dengan kebajikan dan kejahatan ". l
Abul Aiyub Al
Anshary pernah pergi ke Mesir untuk menemui q * ftnu
Am^r untuk menanyakan sebuah hadits kepadanya[5].
Dengan masuknya hadits ke dalam phase ini,
mulailah dia disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya dengan
sempurna. Memang mulailah diberikan
perhatian yang sempurna kepada para sahabat olch para tabi'in. Para tabi'in berusaha menjumpai para
sahabat ke tempal-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan mereka
sebelum mereka berpulang ke Ar Rafiqul Ala.
Kunjungan seseorang shahaby ke sebuah kota, sungguh menarik perhatian
para tabi'in. Mereka, sebaik mengetahui kedatangan seseorang shahaby, berhimpun
di sekitarnya untuk menerima hadits yang ada pada shahaby itu.
3.3 Sahabat-sahabat yang mendapat julukan "bendaharawan hadits"
Dalam phase ini terkenallah beberapa orang sahabat dengan julukan "bendaharawan
hadits", yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits.
Mereka memperoleh
riwayat-riwayat yang banyak itu karena:
a. Yang paling awal masuk Islam, seperti:
Khulafa Rasyidin dan Abdullah ibn Mas'ud.
b. Terus menerus mendampingi Nabi
dan kuat hafalan, seperti: Abu Hurairah.
c. Menerima riwayat dari setengah sahabat
selain mendengar dari Nabi dan panjang pula
umurnya, seperti: Anas ibn Malik, walaupun beliau masuk Islam sesudah Nabi menetap di Madinah.
d. Lama
menyertai Nabi dan mengetahui keadaan-keadaan Nabi.
karena bergaul rapat
dengan Nabi, seperti: isteri-isteri beliau 'Aisyah dan Ummu Salamah.
e. Berusaha mencatatkannya seperti: Abdullah
ibn Amer ibn 'Ash.
Di antara sahabat yang
membanyakkan riwayat, ialah:
a. Abu Hurairah.
Beliau ini seorang yarig
banyak sekali menghafal hadits dari Nabi dan bersungguh-sungguh berusaha mengembangkannya di kalangan ummat, sesudah
'Umar r.a. wafat. Karena itu, Abu Hurairah menjadi seorang perawi shahaby yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Menurut keterangan Ibnu
Jauzy dalam Talqih Fuhumi Ahtol Atsar, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, sejumlah 5347 buah.
Menurut hitungan Al Kirmany 5364 buah.
(Dalam Musnad Ahmad terdapat 3848 buah)
b. 'Aisyah, isteri Rasul.
c. Anas ibn Malik.
d. Abdullah ibn Abbas.
d. Abdullah ibn Abbas.
e. Abdullah ibn'Umar.
f. JabiribnAbdillah.
g. Abu Sa'id al Khudry.
h. IbnuMas'ud.
i. Abdullah ibn Amer ibn'Ash
Abdullah ibn
Abbas bersungguh-sungguh benar menanyakan hadits kepada
para sahabat, lalu mengembangkannya. Di kala pemalsuan hadits mulai tumbuh, barulah Ibn Abbas
menyedikitkan riwayatnya. Menurut perhitungan sebagian ahli hadits para sahabat
penghal'al hadits yang paling banyak haf'alannya sesudah Abu Hurairah, ialah:
a. Abdullah ibn 'Umar, 2630 hadits.
b. Anas ibn Malik, 2276 hadits.
Menurut Al Kirmany 2236 hadits.
c. 'Aisyah, 2210 hadits.
d. Abdullah ibn Abbas, 1660 hadits.
e. Jabiribn Abdullah, 1540 hadits.
f. Abu Sa'id Al Khudry, 1170 hadits.
Dan Abdullah ibn Amer ibn Ash meriwayatkan hadits dari buku catatan yang dinamai Ash Shadiqah.
Dalam pada
itu, ada juga para sahabat yang menyedikitkan riwayatnya, yaitu Az Zubair, Zaid ibn Arqam, Imran ibn
Husain.
Az Zubair
menyedikitkan riwayat karena takut terjerumus kc dalam kedustaan, sebagaimana diterangkan Al
Bukhary dalam kitab Al 'Ilmi dalam ^shahihnya.
Zaid ibn Arqam
tidak berani lagi meriwayatkan hadits sesudah usianya lanjut, takut telah banyak yang
dilupakannya, seperti yang diterangkan oleh Ibnu Majah
dalam sunannya.
Para tabi'in
mengambil hadits dari para sahabat dengan tidak ragu-ragu, dan para sahabat itu mengambil dari
sesamanya.
3.4 Tokoh-tokoh hadits dalam kalangan tabi'in
Di antara tokoh-tokoh tabi'in yang masyhur
dalam bidang riwayat:
a.
Di Madinah.
Said (93), 'Urwah (94),
Abu Bakr ibn Abdu Rahman ibn Al Harits ibn Hisyam (94),
Ubaidullah ibn Abdullah ibn Utbah, Salim ibn Abdullah
ibn Umar, Sulaiman ibn Yassar, Al Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr, NaiT,
Az Zuhry, Abul Zinad, Kharijah ibn
Abu Salamah
ibn Abdir Rih«an ibn Auf. li
b. DiMakkah.
b. DiMakkah.
Ikrimah, Atha ibn Abi Rabah, Abul Zubair,,
Muhammad ibn Muslim.
c.
Di Kufah.
Asy Sya'by, Ibrahim An Nakha'y, 'Alqamah An Nakha'y d. Di Bashrah.
Al Hasan, Muhammad ibn Sirin, Qatadah
e. Di Syam.
'Umar ibn
Abdil Aziz, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul Ka'bul Akbar. f. Di
Mesir.
Abul Khair
Martsad ibn Abdullah Al Yaziny, Yazid ibn Habib. g. Di Yaman.
Thaus ibn Kaisan
Al Yamany, Wahab ibn Munabbih (110).
3.5 Pusat-pusat hadits
Kota- kota y ang menjadi
pusat hadjts ialahi
a. Madinah.
Di antara tokoh-tokoh hadits di kota Madinah
dalam kalangan sahabat, ialah Abu Bakr,
'Umar,' Ali (sebelum berpindah ke Kufah), Abu Hurairah, 'Aisyah, Ibnu 'Umar, Abu Sa'id Al Khudry dan Zaid ibn Tsabit.
Di antara sarjana-sarjana
tabi'in y ang belajar pada sahabat-sahabat itu, ialah:
Sa'id, 'Urwah, Az Zuhry, 'Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah, ibn Mas'ud, Salim
ibn Abdullah ibn Umar. Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, Nafi', Abu Bakar ibn
Abdir Rahman ibn
Al Harits ibn Hisyam dan Abul Zinad.
b. Makkah.
Di antara tokoh hadits Makkah ialah Mu'adz,
kemudian Ibnu Abbas.
Di antara tabi'in yang belajar padanya, ialah
Mujahid, Ikrimah, 'Atha ibn Abi
Rabah, Abul Zubair Muhammad ibn Muslim,
c. Kufah.
Ulama sahabat yang mengembangkan hadits di
Kufah ialah: 'Ali, Abdullah ibn
Mas'ud, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Sa'id ibn Zaid, Khabbab ibn
Al Arat, Salman Al Farisy, Hudzaifah ibnul Yaman, Ammar ibn Yasir, Abu Musa, Al Baraq, Al
Mughirah, Al Nu'man, Abul Thufail,
Abu Juhaifah dan lain-lain.
Pemimpin besar hadits di Kufah, ialah
Abdullah ibn Mas'ud. Padanya
belajar Masruq, Ubaidah, Al Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa'id ibn Jubair, Amir ibn Syurahil, Asy
Sya'by.
d. Bashrah.
Pemimpin hadits di Bashrah dari golongan
sahabat, ialah: Anas ibn Malik, 'Utbah,
'Imran ibn Husain, Abu Barzah, Ma'qil ibn Yasar, Abu Bakrah, Abdur Rahman ibn
Samurah, 'Abdullah ibn Syikhkhir, Jariah
ibn Qudamah.
Sarjana-sarjana tabi'in
yang belajar pada mereka antara lain, ialah: Abul 'Aliyah, Rafi1 ibn Mihram Al Riyahy, Al Hasan Al Bishry, Muhammad ibn Sirin, Abu
Sya'tsa', Jabir ibn Zaid, Qatadah, Mutha-rraf ibn Abdullah ibn Syikhkhir, dan Abu Bardah ibn Abi Musa.
e. Syam.
Tokoh hadits dari sahabat di Syam ini, ialah
Mu'adz ibn Jabal, Ubadah ibn
Shamit dan Abu Darda1. Pada bcliau-bcliau itulah banyak tabi'in belajar di antaranya: Abu
Idris Al Khaulany, Qabishah ibn
Dzuaib, Makhul, Raja' ibn Haiwah.
f. Mesir.
Di antara
sahabat yang mengembangkan hadits di Mesir, ialah Abdullah ibn Amer, 'Uqbah ibn
Amir, Kharijah ibn Hudzaifah, Abdullah ibn Sa'ad, Mahmiyah ibn Juz, Abdullah
ibn Hants, Abu Basyrah, Abu Sa'ad Al Khair,
Mu'adz ibn Anas Al Juhary.
Ada kira-kira 140 orang
sahabat yang mengembangkan hadits di Mesir.
Di antara
tabi'in yang belajar pada mereka, ialah Abul Khair Martsad Al Yaziny dan Yazid ibn Abi Habib.
3.6 Mulai timbul pemalsuan hadits
; ' •
Di antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ini ialah muncul orang-orang yang membuat hadits-hadits palsu. Hal itu
terjadi sesudah Ali r.a. wafat.
Tahun 40 H batas
yang memisahkan antara masa terlepas hadits dari pemalsuan, dengan masa mulai munculnya pemalsuan hadits.
Sejak dari timbul fitnah di akhir masa 'Utsman r.a. ummat Islam pecah menjadi beberapa
golongan.
v
Pertama - golongan 'Ali ibn Abi Thalib, yang kemudian
dinamakan golongan "Syiah".
v
Kedua - golongan Khawarij, yang menentang Ali dan
Mu'awiyah, dan.
v
Ketiga - golongan Jumhur (golongan pemerintah pada
masa itu).
Terpecahnya
ummat Islam kepada golongan-golongan tersebut, didorong
keperluan dan kepentingan golongan, mereka mendatangkan keterangan-hujjah untuk mendukung. Maka
bertindaklah mereka membuat hadits-hadits
palsu dan menyebarkannya ke dalam masyarakat.
Mulai saat itu terdapatlah di antara
riwayat-riwayat yang shahih dan riwayat-riwayat
yang palsu. Dan kian hari kian bertambah banyaknya dan beraneka rupa pula.
Mula-mula mereka memalsukan hadits mcngenai
pribadi-pribadi orang yang
mereka agung-agungkan.
Dan yang
mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini ialah golongan Syi'ah sebagai yang diakui sendiri oleh Ibn
Abil Hadid, seorang ulama Syi'ah dalam kitabnya Nahyul Balaghah, dia menulis,
"Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits
yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan Syi'ah sendiri". '
Perbuatan
mereka ini ditandingi oleh golongan Sunnah (jumhur) yang bodoh-bodoh.
Mereka juga
membuat hadits untuk mengimbangi hadits-hadits yang dibuat oleh golongan Syi'ah
itu.
Maka dengan
keterangan ringkas ini nyatalah bahwa kota yang muia-mula mengembangkan hadits-hadits palsu
(maudlu') ialah Baghdad (Iraq) (kaum Syi'ah,
berpusat di sana).
Imam Az Zuhry
berkata, "Hadits ke luar dari kami scjengkal lalu kembali kepada
kami dari Iraq, sehasta".
Imam Malik sendiri menamakan Baghdad, pabrik
hadits palsu.
PERIODE KEEMPAT (ABAD 2 HIJRIYAH)
Periode ini, disebut: Masa
Penulisan dan Pendewanan/Pembukuan Hadits. Periode keempat ini, dimulai pada masa
Pemerintahan Amawiyah kedua (mulai Khalifah Umar bin Abdul Aziz) sampai akhir
Hijry (menjelang akhir masa dinasti Abbasiyah angkatan pertama ).
3.7 Permulaan zaman membukukan hadits
Sudah dapat
difahamkan bahwa dalam abad pertama Hijrah dari zaman
Rasul, masa Khulafa Rasyidin dan sebagian besar zaman Amawiyah, yakni hingga
akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits itu berpindah
dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.
Pada masa itu
mereka belum terdorong untuk membukukannya. Hafalan
mereka terkenal kuat. Diakui sejarah kekuatan hafalan para sahabat dan tabi'in itu.
Di kala kendali
khalifah dipegang oleh 'Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 H seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang
sebagai Khalifah Rasyidin yang
kelima, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits. Beliaju sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits
dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir
apabila tidak segera dibukukan dan
dikumpulkan dalam buku-buku (dewan-dewan) hadits dari para perawinya,
mungkinlah hadits-hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi dibawa bersama
oleh para penghafalnya ke alam barzakh.
Untuk
menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 1OO H khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr ibn
Muhammad ibn Amer ibn Haunin (120 H)' yang menjadi guru Ma'mar, Al Laits, Al
Auza'y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu
Abi Dzi'bin supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah binti Abdir
Rahman ibn Sa'ad ibn Zurarah
ibn 'Ades, seorang ahli fiqih,
murid 'Aisyah ra. (20 H = 642 M - 98 H = 716 M atau 106 H = 724 M), dan hadits-hadits
yang ada pada Al
Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr Ash Shiddieq (107 H = 725 M), seorang pemuka tabi'y dan salah seorang fuqaha Madinah
yang tujuh.2
'Umar ibn Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakr
ibn Hazm, bunyinya:
"Lihat
dan periksalah apa yang dapat diperoleh dan hadits Rasul, lain tulislah karena aku takut akan lenyap iltnu
disebabkan meninggalnva ulama dan jangan anda terima selain dari hadits Rasul
SAW. dan hendaklah anda tebarkan ilmu dan
rnengadakan majlis-majlis ilrnu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap
iltnu hingga dijadikannya barang rahasia."
Di samping itu
'Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubcrnur ke serata wilayah yang di bawah kekuasannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah
mereka masing-masing. Di antara ulama
besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu, ialah: Abu Dakar
Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab az Zuhry, seorang tabi'y yang
ahli dalam urusan fiqih dan hadits. '
Beliau, guru Malik, Al Auza'y, Ma'mar, Al La'its, Ibnu Ishaq, Ibnu Abi Dzibin.
Inilah ulama
besar yang mula-mula membukukan hadits atas anjuran khalifah.
Kitab hadits yang ditulis oleh Ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis
atas perintah Kepala Negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan semestinya.
Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah
itu, dilakukan oleh Al Imam Muhammad ibn
Muslim ibn Syihah Az Zuhry. Yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits di masanya.
Kemudian dari itu berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas As Saffah dan
anak-anaknya dari khalifah-khalifah
Abbasiyah.
Akan tetapi tak
dapat diketahui lagi, yang mula-mula membukukan hadits sesudah Az Zuhry itu,
karena ulama-ulama tersebut yang datang sesudah
Az Zuhry seluruhnya semasa.
Para pengumpul pertama hadits yang tercatat
sejarah adalah;
a. Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H = 669 M - 150 H 767 V).
b. Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (.... H =
151 M
.... H = 768 M).
Atau Ibnu Abi Dzi'bin.
Atau Malik ibn Anas (93
H = 703 M
- 179 H = 798 M).
c. Di kota Bashrah, Al Rabi' ibn Shabih (...
H =... M -160 H = 777 M).
Atau Hammad ibn
Salamah (176 H).
Atau Sa'id ibn Abi Arubah (156 H = 773 M). &*&^ r '&
d. Di
kufah ,SufyanAtsTsaury(l6\}\).
e. Di Syam, AlAuia'y (156 H).
f. Di Wasith, HusyaimAl Wasithy (104 H =
772 M
-188 H = 804 M).
g. Di Yaman, Ma'marAl Azdy (95 H = 753 M - 153 H = 770 M).
h. DiRei, Jarir Al Dlabby (110H = 728M-188H = 804M)
i. Di Khurasan, IbnMubarak(118 = 735 M - 181 H = 797 M).
j. Di Mesir, Al Laits ibn Sa'ad (175 H).
g. Di Yaman, Ma'marAl Azdy (95 H = 753 M - 153 H = 770 M).
h. DiRei, Jarir Al Dlabby (110H = 728M-188H = 804M)
i. Di Khurasan, IbnMubarak(118 = 735 M - 181 H = 797 M).
j. Di Mesir, Al Laits ibn Sa'ad (175 H).
I Semua ulama besar
yang membukukan hadits ini, terdiri dari ahli-ahli abad yang kedua
Hijrah.
Kita menyayangkan kitab Az Zuhry dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui
sekarang ini Kitab yang
paling tua yang ada di tangan ummat Islam dewasa ini, ialah Al Muwaththa1
susunan Imam Malik r.a. yang disuruh susun oleh khalifah Al Manshur di ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H (143
H).
As Sayuthy berkata dalam kitab Tarikhul Khulafa: "Dalam tahun 143 H ulama-ulama Islam mulai
membukukan hadits, fiqih dan tafsir.
Di Makkah, Ibnu Juraij.
Di Madinah, Imam Malik.
Di Syam, Al Auza'y (88 H
= 707 M
- 157 H = 773 M).
Di Bashrah, Ibnu Abi
Arubah (156 H = 733 M),
dan Hammad (167 H = 789 M).
Di Yaman, Ma'mar Al-Azdy. Di Kufah, Sufyan Ats
Tsaury.
Ibnu Ishaq menyusun kitab Al Maghazi wal Sujar (hadits-hadits yang mengenai Sirah Rasul SAW.)
dan Abu Hanifah menyusun kitab fiqih. Kitab Al Maghazi ini adalah dasar pokok bagi kitab,-kitab Sirah Nabi."[6]
3.8 INSTRUKSIKSI UMAR BIN ABDUL AZIZ TENTANG PENAMANAN HADITS
Sejak sebelum masa pemerintahannya, daerah
Islam telah meluas laerah-daerah di luar jazirah Arab. Ini membawa akibat, para
menjadi terpencar ke daerah-daerah Islam untuk mengemIslam dan membimbing
masyarakat setempat. Di samping itu, aabat, karena faktor usia dan akibat
terjadinya peperangangan, banyak yang telah meninggal dunia. Ini berarti,
bahwa al pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, jumlah Sahabat yang idup semakin
tinggal sedikit. Padahal, Hadits Rasul masih ibukukan secara resmi.
lebih parah lagi, yang sedang dihadapi oleh
Khalifah adalah kin berkembangnya Hadits-hadits palsu (Hadits Maudhu’) yang
,ntu dengan sendirinya, akan sangat mengancam kelestarian ;lam yang benar.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat, bahwa
Rasulullah dan Kliutasyidin tidak membukukan Hadits Rasul, di antara sebabnya
penting adalah karena dikhawatirkan akan terjadi bercampurAl-Qur’an dengan
yang bukan Al-Qur’an, sedang pada saat Umar bin Abdul Aziz memerintah,
Al-Qur’an telah selesai ir secara resmi dan lestari. Dengan demikian, maka bila
Haditsasul didewankan/dikodifikasikan, tidaklah akan mengganggu ~n Al-Qur’an.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut,
maka pada penghujung tahun 100 Hijry, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis
surat instruksi kepada para Gubernurnya clan juga kepada para Ulama untuk
mendewankanlmembukukan Hadits.
Dengan demikian, maka latar
belakang dan motif Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan
instruksi untuk menulis/mendewankan Hadits itu ialah:
1. Al-Qur’an telah dibukukan dan telah tersebar
luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi akan bercampur dengan Hadits
2. Telah makin banyak para perawi/penghafal
Hadits yang meninggal dunia. Bila dibiarkan terus, maka Hadits akan terancam
punah. Olehnya itu, perlu segera dibukukan
3. Daerah Islam makin meluas.
Peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh ummat Islam bertambah banyak clan
kompleks. Ini berarti memerlukan petunjuk-petunjuk dari Hadits-hadits Rasul di
samping petunjuk AI-Qur’an
4. Pemalsuan-pemalsuan Hadits makin menghebat.
Kalau ha9 ini dibiarkan terus, akan terancam kelestarian ajaran Islam yang
benar. Maka langkah segera yang perlu diambil ialah membukukan Hadits clan
sekaligus menyelamatkannya dari pengaruh pemaasuanpemalsuari.
3.9 PELOPOR PENDEWAN (KODIFIKATOR) HADITS
Di antara Gubernur yang menerima instruksi dari
Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mendewankan Hadits itu adalah Gubernur
Madinah yang bernama: Abu Bakar Muhammad Ibnu Amr Ibnu Hazm. Atau Muhammad
Ibnu Hazm.
Muhammad,
Ibnu Hazm, selain sebagai seorang Gubernur, juga seba- i gai seorang Ulama.
Instruksi Khalifah itu berisi, supaya Gubernur
segera membukukan Hadits-hadits yang dihafal oleh penghafal-penghafal Hadits di
Madinah, antaralain:
1. Amrah binti Abdir Rahman Ibnu Saad Ibnu
Zurarah Ibnu Ades, seorang ahli Fiqih, murid Sayyidah Aisyah ra.
2. Al-Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abu Bakar
As-Shiddiq, salahseorang pemuka Tabi’in dan salah seorang Fuqaha Tujuh.(Yang
dimaksud dengan Fuqaha Tujuh ialah: 1. Al-Qasim; 2, Urwah Ibnu Zubair; 3. Abu
Bakar Ibnu Abdir Rahman; 4. Said Ibnu Musayyab; .5. Abdillah Ibnu Abdullah Ibnu
Utbah Ibnu mas’ud; 6. Kharijah Ibnu
Zaid Ibnu Tsabit; dan 7. Sulaiman Ibnu fassar)’.
Muhammad Ibnu Hazm,
melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baik
selanjutnya, instruks’s
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga telah aanakan dengan sebaik-baiknya oleh
salah seorang Ulana Hadits, ; masyhur sebagai Ulama Besar di Hijaz dan Syam,
bernama Abu ir Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Ubaidillah
Ibnu Syihab Az-Zuhry, ; dikenal juga dengan nama Muhammad
Ibnu Syihab Az-Zuhry. duhammad Ibnu Syihab
Az-Zuhry, setelah berhasil mendewankan its-hadits Rasulullah, lalu mengirimkan
dewan-dewan Haditsnya itu ida penguasa-penguasa daerah.
Dengan demikian, maka pelopor
pendewan (kodifikator) Hadits yang ama atas
instruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah:
1. Muhammad Ibnu Hazm (wafat tahun 117 H).
2. Muhammad Ibnu Syihab
Az-Zuhry (wafat tahun 124 H).
tentang kedua tokoh pemula
pendewan Hadits ini, para ahli sejarah Ulama Hadits berpendapat, bahwa yang
lebih tepat disebut sebagai ifikator/pendewan Hadits yang pertama, ialah
Muhammad Ibnu SyiAz-Zuhry.
klasannya ialah, bahwa
Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry mempubeberapa kelebihan dalam mendewankan
Hadits-hadits Nabi, bila ~ndingkan dengan Muhammad Ibnu Hazm.
Di antara kelebihan Az-Zuhry,
ialah:
ia dikenal sebagai Ulama Besar di bidang Hadits,
dibandingkan engan Ulama-ulama Hadits sezamannya.
ia mendewankan seluruh
Hadits yang ada di Madinah, sedang yang ilakukan oleh Muhammad Ibnu Hazm, tidak
mencakup seluruh adits yang ada di Madinah.
ia mengirimkan hasil
pendewanannya kepada seluruh penguasa di aerah, masing-masing satu rangkap;
sehingga dengan demikian, lebih cepat tersebar.sayang sekali, bahwa kedua macam
dewan Hadits tersebut, baik yang un oleh Muhammad Ibnu Hazm maupun oleh
Muhammad Ibnu Syi-Zuhry, telah lama hilang clan sampai sekarang tidak
diketahui di berada.
Selanjutnya, setelah masa Muhammad Ibnu Hazm
dan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry berlalu, maka muncullah masa pendewanan berikutnya
(sebagai masa pendewanan yang kedua), atas anjuran Khalifahkhalifah Abbasiyah,
di antaranya oleh Khalifah Abu Abbas As-Saffah.
Ulama-ulama yang terkenal telah berhasil
mendewankan Haditshadits Nabi, setelah masa Muhammad Ibnu Hazm dan Muhammad
Ibnu Syihab Az-Zuhry, di antaranya ialah:
1. Di Mekkah : IbnuJuraij (80-150H1669-767M).
2. Di Madinah : 1. Ibnu Ishaq (wafat 15114/768
M).
3. Malik bin Anas (93 H-179 H/703-798M).
4. Di Bashrah : 1. Ar-Rabi’ Ibnu Shabih (wafat
160 H).
5. Said
Ibnu Abi Arubah (wafat 156H).
6.
Hammad Ibnu Salamah (wafat 176 H).
7. Di Kufah : Sufyan Ats-Tsaury (wafat th.161
H)
8. Di Syam : Al-Auza’iy (wafat th. 156 H).
9. Di Wasith : Husyain Al-Wasithy (wafat th.188
H/804 M).
10. DiYaman : Ma’maiAl-Azdy(95-153H/753-770M).
11. Di Rei : Jarir Adl-Dlabby
(110-1881-1/728-804M).
12. Di Khurasan : Ibnu Mubarak (118-181
H/735-797 M).
13. Di Mesir : Al-Laits Ibnu Sa’ad (wafat
th.175 H).
Para Ulama di atas, masa hidupnya hampir
bersamaan. Karenanya itu, sulit ditentukan siapa yang lebih tepat untuk disebut
sebagai pendewan/kodifikator Hadits yang pertama. Selain itu, bahwa mereka
bersama, telah berguru kepada Muhammad Ibnu Hazm dan Muhammad Ibnu Syihab
Az-Zuhry.
3.10 CIRI-CIRI SISTEM PEMBUKUAN HADITS PADA PERIODE KEEMPAT(ABAD II HIJRY)
1. Hadits yang disusun dalam
dewan-dewan Hadits, mencakup Haditshadits Rasul, fatwa-fatwa Sahabat dan
Tabi’in.
Dengan demikian, kitab/dewan
Hadits dalam periode ini, belum diklassifisir/dipisah-pisah antara
Hadits-hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’.
Kitab Hadits yang hanya menghimpun
Hadits-hadits Nabi saja, hanyalah kitab yang disusun oleh Muhammad Ibnu Hazm.
Beliau me lakukan demikian, mengingat adanya instruksi Khalifah tJmar bin Abdul
Aziz yang menyatakan:
لاَ تَقْبَلْ إِلاَّ حَدِيْثَ الَّسُوْلِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Janganlah
kamu terima, selain dari Hadits Nabi saw. “
2. Hadits yang disusun dalam dewan-dewan Hadits, umumnya belumlah
dikelompokkan berdasarkan judul-judul (maudlu’) masalahleZtentu.
Dengan demikian, maka dalam
dewan-dewan Hadits, terhimpun secara bercampur aduk Hadits-hadits Tafsir,
Iiadits-hadits Sirah Nabi, Hadits-hadits Hukum, dan sebagainya.
Imam Syafi’ilah yang mula
pertama merintis menyusun kitab Hadits berdasarkan judul masalah tertentu,
dalam hal ini, yang berhubungan dengan masalah thalaq dalam satu bab.
1.
Hadits-hadits yang disusun,
belumlah dipisahkan antara yang ber kualitas Shahih, Hasan dan Dha’if.
Para ulama abad kedua
mebukukan hadits, dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya itu, bahkan
fatwa-fatwa tabi'in juga dimasukkan. Semua
itu dibukukan bersama-sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits-hadits marfu',
hadits-hadits mauquf dan hadits-hadits maqthu.[7]
3.11 PERKEMBANGAN PEMALSUAN HADITS DAN UPAYA MENGATASINYA
Motif-motif
Pemalsuan Hadits
a. Propagandis
propagandis politik
Salah satu cara untuk
menarik minat orang terhadap apa yang disam. paikannya, adalah dengan
mengemukakan cerita. Cerita itu akan lebih menarik bila dibumbui dengan hal-hal
yang menakjubkan, yang ganjih ganjil dan yang menakutkan.
b. Golongan
Zindiq
Golongan
yang pada lahirnya memeluk Islam , tetapi batinnya memusuhi Islam.
c.
Tukang-tukang cerita
[ Maka, di antara penyebar
ajaran Islam, karena dorongan dan keinginannya yang sarigat besar untuk
menarik minat para hadirinnya, mereka lalu membuat kisah-kisah, dongeng-dongeng
dan semacamnya. Celakanya, kisah-kisah yang dikarangnya itu lalu dilengkapi.
dengan ad dan dinyatakan berasal dari Nabi Muhammad.
Secara tidak sadar,
sesungguhnya mereka telah ikut menodai ajaran lam dan mengotori kemurnian
Hadits Nabi. , _
d.
Penganut ajaran tasawuf
‘ Di antara pengikut ajaran
tasawuf, ada yang pengetahuan agamanya masih sangat terbatas dan bahkan salah.
Tetapi biasanya, orang yang demikian ini merasa dirinya serba tahu tentang aj
aran Islam. Ditafsirkanhh ajaran Islam sesuai dengan kehendaknya. Dan untuk
memperkuat alasan atas pendapat dan pemahamannya itu, maka dibuatnyalah Haditshadits
palsu. Dan pemalsuan Hadits yang mereka buat, biasanya berkisar ~soal-soal yang
berhubungan dengan “targhib wat tarhib” (berita-berita yangmenggembirakan dan
mencemaskan).
2. Gerakan Untuk Menumpas Pemalsuan Hadits
a. Pemerintah, dalam hal ini dari bani Abbasiyah; berusaha
menumpas kaum zindiq.
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat, bahwa bani Abbas menumpas kaum
zindiq itu, boleh jadi karena mereka membuat Hadits-hadits palsu yang
merendahkan derajat bani Abbas dan menjauhkan masyarakat dari bani Abbas. Atau,
mungkin para Khalifah bani Abbas bermaksud memelihara agama dari kerusakan
yang dilakukan oleh golongan zindiq.
Usaha pemerintah ini, tentu
saja belumlah berhasil secara tuntas menumpas pemalsu-pemalsu Hadits. Sebab,
kaum zindiq yang ditumpas pemerintah itu, barulah salah satu golongan saja di
antara golongan Hadits. Ditambah lagi, karena kaum zindiq ini, merupakan
gerakan yang terselubung, maka dalam menumpasnya tidaklah mudah.
b. Para Ulama berusaha
dengan gigih menghadapi pemalsuan-pemalsuan -Hadits. Caranya, bermacam-macam.
Di antaranya:
1, Mengadakan perlawatan ke
daerah-daerah untuk mengecek kebenaran Hadits-hadits yang diterimanya dan
meneliti sumber-sumbernya, kemudian hasilnya mereka siarkan ke masyarakat.
2. Meneliti sanad dan perawi
Hadits dengan ketat. Riwayat hidup dan tingkah laku para perawi dan sanad
Hadits diselidiki dengan saksama. Maka lahirlah, istilah-istilah: tsiqah, kadzdzab,
fulan la ba’sa bihi, dan sebagainya.
Imam Malik misalnya, telah
memberi tuntunan kepada penuntut/pencari Hadits, dengan menyatakan: Janganlah
mengambil ilmu (Hadits) dari empat macam orang, yaitu:
a. orang yang kurang akal,
b. orang yang mengikuti hawa
nafsunya dan mengajak manusia untuk mengikuti hawa nafsunya,
c. orang yang suka berdusta,
dan
d. seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, kesalihan dan aktif
ibadah, tetapi tidak mengetahui apa yang diriwayatkannya yang berhubungan
dengan Hadits.
Pada sekitar tahun 150 H, Ulama mulai memperbincangkan
tentang ta’dil dan tajrih.
Banyak Ulama yang terkenal ahli dalam menilai perawi Hadits
pada abad II periode keempat ini. Misalnya, Imam Malik, Auza’iy, Sufyan
Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Uyaiyah, Ibnu Wahhab, Waki’ Ibnu AIJarrah, Yahya
Ibnu Saad AI-Qatthan, Abdur Rahman Ibnu Mahdi, dan lain-lain.
Di antara Ulama tersebut, yang ferkenal memiliki ilmu yang
mendalam tentang kritik rijalil Hadits, ada dua orang. Yaitu:
1. Yahya Ibnu Saad Al-Qatthan
(wafat th. 193 H).
2. Abdur Rahman Ibnu Mahdi
(wafat th. 198 H).
GOLONGAN PENOLAK HADITS
Pada periode keempat (abad
II) ini; lahir juga sekelompok orang yang menolak Hadits. Penolakan mereka, ada
yang untuk seluruh Hadits, baik yang Ahad maupun yang Mutawatir, dan ada
golongan yang menolak Hadits Ahad saja.
Menghadapi kaum penolak
Hadits ini, bangunlah Imam Syafi’i membela Hadits Nabi. Dalam kitabnya “Al-Um”,
Imam Syafi’i,telah menerangkan panjang lebar tentang alasan-alasan para penolak
Hadits, kemudian beliau membantahnya satu demi satu, dengan mengemukakan
alasan-alasan yang kuat.
Berkat kehebatan dan
ketangguhan Imam Syafi’i dalam berusaha membela dan melestarikan Hadits-hadits
Nabi dari golongan yang menolak Hadits Nabi ini, beliau lalu digelari sebagai:
“Nashirul Hadits” (Penolong Hadits), atau.”Multazimus-Sunnah”.
PERIODE KELIMA (ABAD 3 HIJRIYAH)
Periode ini disebut: Masa
permurnian, penyehatan dan penyempurnaan.
Periode kelima ini dimulai sejak masa akhir
pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah AI-Ma’mun) sampai
awal pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah Al-Muqtadir).
3.12 KEADAAN UMMAT ISLAM PADA PERIODE INI
1.
Pertikaian faham di kalangan Ulama
Sejak abad kedua hijry, telah lahir para
mujtahid di bidang fiqh dan dibidang ilmu kalam. Kehidupan ilmu pengetahuan
Islam pada abad ini sangat pesat. Antara para mujtahid Islam, sesungguhnya
tidaklah ada masalah. Mereka saling menghormati dan menghargai pendapat-pendapat
yang timbul. Tetapi lain halnya di kalangan para murid dan pengikutnya. Mereka
hanya baranggapan bahwa pendapat guru dan golongannya saja yang benar. Sikap
yang demikian ini mengakibatkan timbulRya bentrokan-bentrokan antara mereka,
termasuk para ulamanya.
Pada abad ketiga, bentrokan pendapat itu telah
rnakin meruncing, baik antargolongan mazhab fiqh, maupun antarrnazhab ilmu
kalam. Ulama Hadits pada abad ketiga ini, menghadapi kedua golongan tersebut.
Terhadap pendukung madzhab fiqh yang fanatik,
Ulama Hadits harus menghadapinya, karena tidak sedikit di antara mereka berbeda
pendapat dalam memahami hukum Islam. Para pendukung madzhab fiqh yang fanatik
buta, bila pendapat mazhabnya berbeda dengan mazhab lainnya, maka di antara
mereka tidak segan-segan untuk membuat Hadits-hadits palsu dengan maksud selain
untuk memperkuat argumen mazhabnya, juga untuk menuduh lawan mazhabnya sebagai
golongan yang sehat.
Golongan/mazhab ilmu kalam, khususnya kaum
Mu’tazilah, sangat memusuhi Ulama Hadits. Mereka (dari kaum Mu’tazilah) ini,
sikapnya ingin memaksakan pendapatnya membuat Hadits-hadits palsu.
Pertentangan pendapat dari kalangan ulama Ilmu
Kalam dan Ulama Hadits ini sesungguhnya telah mulai lahir sejak abad II hijry.
Tetapi karena pada masa itu penguasa belum memberi angin kepada kaum
Mu’tazilah, maka pertentangan pendapat itu masih berada padati
ketegangan-ketegangan antargolongan. Dan ketika pemerintah, pada awal abad III
hijry, dipegang oleh Khalifah Ma’mun yang pendapatnya sama dengan kaum
Mu’tazilah, khususnya tentang kemakhlukan AIQur’an, maka Ulama Hadits
bertambah berat fitnah yang harus dihadapinya.
2. Sikap
Penguasa terhadap Ulama Hadits
Khalifah Al-Makmun (wafat 218 H) merupakan
khalifah yang sangat memperhatikan terhadap ilmu pengetahuan. Beliau tekun mempelajari
AI-Qur’an, As-Sunnah dan Filsafat. Beliau memiliki kecerdasan dan kecakapan
dalam usaha memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Diuridanglati para
Ulama dari berbagai golongan untuk bermunadzarah tentang masalah-masalah agama.
Penerjemahkan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab, sangat mendapat perhatian
besar. Singkatnya, dalam masa pemerintahan Al-Makmun, Ilmu pengetahuan
berkembang pesat.
Tetapi di samping itu, dalam menghadapi
pertentangan antara golongan Mu’tazilah dengan ahli Hadits, khususnya tentang
apakah AlQur’an itu qadim atau hadits, Khalifah Al-Makmun sefaham dengan kaum
Mu’tazilah yang menyatakan bahwa AI-Qur’an itu hadits, karenanya AI-Qur’an itu
makhluk. Pendapat khalifah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, telah
diumumkan secara meluas pada tahtin 212 hijry. Dan karena Ulama Hadits tetap
terhadap pendiriannya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim, maka khalifah,
demi prestasinya, lalu berupaya untuk menyiasati para ulama Hadits. Di antara
Ulama Hadits yang keras pendirian adalah Imam Ahmad bin Hambal. Karenanya, Imam
Ahmad harus mengalami nasib tragis. Beliau terpaksa dipenjarakan, karena tidak
bersedia surut dari pendapatnya.
Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi
Ulama Hadits ini, tetap berlanjut pada masa khalifah AI-Mu’tashim (wafat 227 H)
dan AlWatsiq (wafat tahun 232 H). Dan Imam Ahmad, pada masa-masa pemerintahan
ini, bukan sekedar dipenjarakan saja tetapi juga disiksa dan dirantai. Al-Watsiq pada akhir masa hidupnya, berubah
pendirian dan mulai cenderung kepada pendapat Ulama Hadits.
Pada waktu khalifah Al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H),
Ulama Hadits mulai mendapat angin segar yang menyenangkan. Sebab, khalifah ini
sangat cenderung kepada As-Sunnah. Ulama Hadits sering dihadirkan di istana
untuk menyampaikan dan menerangkan Haditshadits Nabi. Karena demikian besarnya
perhatiannya kepada Hadits Nabi, maka di antara ulama Hadits ada yang
mengatakan bahwa AlMutawakkil adalah khalifah yang menghidupkan sunnah dan
mematikan bid’ah. .
Kaum zindik yang pada
dasarnya sangat memusuhi Islam, dalam masa pertentangan antarmazhab fiqh dan
mazhab ilmu kalam yang sedang menajam, telah mendapat kesempatan yang baik
sekali untuk meruntuhkan Islam. Mereka sengaja membuat Hadits-hadits palsu
untuk lebih mengeruhkan suasana dan menyesatkan umat. Sehingga karenanya, telah
menambah.sibuk ulama Hadits untuk menyelamatkan Hadits-hadits Nabi yang
benar-benar berasal dari Nabi.
Di samping itu, kaum muslimin yang gemar berceritra (tukangtukang
kisah) juga belum mau menghentikan kegemarannya untuk membuat Hadits-hadits
palsu guna tnetnperkuat dan memperindah daya pikat kisah-kisahnya. Dalam hal ini
Ulama Had’rts juga harus menghadapinya, demi terpeliharanya Hadits-hadits Nabi
dari usaha percampuradukan dengan Hadits-hadits palsu yang telah dibuat oleh
ahli-ahli kisah tersebut.
3.13 KEGIATAN ULAMA HADITS DALAM MELESTARIKAN HADITS-HADITS
Dalam menghadapi keadaan
seperti tersebut di atas, maka kegiatan Ulama Hadits dalam usaha melestarikan
Hadits-hadits Nabi secara garis besar ada lima macam kegiatan yang penting.
Yakni:
a.
Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh.
Kegiatan ini ditempuh, karena Hadits-hadits Nabi yang telah
dibukukan oleh Ulama Hadits pada periode keempat (abad II H) baru terbatas
pada Hadits-hadits Nabi yang ada di kota-kota tertentu saja. Pada hal dengan
telah menyebarnya para perawi H. dits ke tempat tempat
yang j auh, karena daulah Islamiyyah telah makin meluas daerahnya, maka masih
sangat banyak Hadits-hadits Nabi yang belum dibukukan. Oleh karenanya, jalan
yang harus _ditempuh untuk menghimpun Hadits-hadits yang berada pada perawi
yang terbesar itu, adalah dengan cara melawat untuk mengunjungi para perawi
Hadits.
Usaha
perlawatan untuk mencari Hadits Nabi ini, telah dipelopori oleh Imam Bukhari.
Beliau selama 16 tahun telali melawat ke kota Mekkah, Madinah, Bagdad, Basrhah,
Kuffah, Mesir, Damsyik, Naisabur, dan lain-lain. Kemudian diikuti oleh Imam
Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’iy dan Iain-lain.
b. Sejak
permulaan abad III H.
Ulama
Hadits telah mengadakan klasifikasi antara Hadits-hadits yang marfu’ (yang
disadarkari kepada Nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan yang maqthu’ (yang
disandarkan pada tabi’in). Kitab-kitab musnad telah sangat berjasa dalam hal
ini, sebab telah menghimpun Hadits-hadits Nabi berdasarkan nama Sahabat yang
mer’rwayatkannya, sehingga dengan demikian Hadits-hadits Nabi terpelihara dari
pencampuradukan dengan fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in. Adapun klasifikasi
Hadits kepada kualitas Shahih atau Dha’if, pada permulaan abadini, belum
dilakukan.
c. Pada pertengahan abad III H.
Mulailah Ulama Hadits mengadakan seleksi
kualitas Hadits kepada shahih dan Dahif. Ulama yang mempelopori usaha ini
adalah Ishaq Ibnu Rahawaih, kemudian
diikuti oleh Bukhari, Muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’iy,
Ibnu Majah dan’lain-lain.
Sebelum
zaman Imam Turmudzi, kualitas Hadits hanya dikenal ada dua macam saja, yakni:
Shahih dan Dha’if. Dan sejak zaman Imam Turmudzi, barulah dikenal kualitas
Hadits itu kepada tiga macam, yakni: Shahih, Hasan dan Dha’if. Demikian
pendapat Ibnu Taimiyah.
d.
Menghimpun segala kritik yang telah dilontarkan oleh ahli ilmu kalam dan
lain-lain.
Baik
kritik yang ditujukan kepada pribadi-pribadi perawi Hadits maupun yang
ditujukan kepada matan-matan Hadits. Segala kritik itu kemudian dibantah satu
per satu dengan argumentasi ilmiah, sehingga dengan demikian terpeliharalah
para perawi dan matan Hadits dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Di antara
Ulama Hadits yang telah menyusun kitab yang berisi pembahasan demikian ini,
adalah Ibnu Qataibah. Judul
kitabnya; Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘ada’ilil
Hadits.
2.
Bentuk Penyusunan Kitab Hadits pada periode Kelima (abad II - Hijry)
Sistem pendewanan Hadits pada
periode ini dapat diklasifir pada tiga bentuk. Yakni bentuk penyusunan:
1. Kitab
Shahih
Yaitu kitab Hadits yang disusun oleh
penyusunnya dengan cara meng himpun Hadits-hadits yang berkualitas Shahih,
sedang Hadits-hadits yang berkualitas tidak Shahih, tidak dimasukkan.
Bentuk
.penyusunan kitab Shahih, termasuk bentuk mushanaf. Materi Hadits yang
dihimpun, selain masalah hukum juga masalah aqidah, akhlaq, sejarah clan
tafsir.
Contoh:
a) Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Bukhari.
Kitab ini lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
b) Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Muslim.
Kemudian lebih dikenal dengan nama Shahih Muslim.
2. Kitab
Sunan
Yakni
kitab Hadits yang oleh penyusunnya, selain dimasukkan dalam kategori
Hadits-hadits yang berkualitas Shahih, juga dimasukkan yang berkualitas Dha’if
dengan syarat tidak berkualitas mungkar clan tidak terlalu lemah. Maka untuk
Hadits yang berkualitas Dha’if, biasanya oleh 4 penyusunnya diterangkan
kedha’ifannya.
Bentuk
penyusunan Kitab Sunan, termasuk bentuk mushannaf. Materi Hadits yang dihimpun,
hanya terbatas pada masalah fiqh (hukum) dan semacamnya.
Contoh:
1. As-Sunan, susunan Imam Abu
Daud.
2. As-Sunan, susunan Imam
At-Turmudzi.
3. As-Sunan, susunan Imam
An-Nasa’iy.
4. As-Sunan, susunan Imam Ibnu
Maj ah.
5. As-Sunan, susunan Imam
Ad-Darimy.
3. Kitab Musnad
Yakni kitab Hadits yang oleh
penyusunn.ya dihimpun seluruh Hadits yang diterimanya, dengan bentuk susunan
berdasar nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama, ada yang berdasarkan
menurut tertib kabilah, misalnya dengan mendahulukan Bani Hasyim, ada yang
berdasar nama Sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk agama Islam, ada yang
dalam bentuk urutan lain.
Hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Musnad, tidak
dijelaskan kualitasnya.
Contoh:
1. Musnad, susunan Imam Ahmad
bin Hambal:
2. Musnad, susunan Imam Abul
Qasim Al-Baghawy.
3. Musnad, susunan Imam Utsman
bin Abi Syaibah.
C.
KITAB-KITAB STANDAR
Karena demikian banyaknya
kitab-kitab H.adits yang disusun oleh Ulama sejak permulaan pendewaan Hadits
sampai pada abad III ini, dan pula dengan mempertimbangkan kualitas, serta
banyaknya Ulama Hadits yang memberikan perhatian khusus kepada kitab-kitab
Hadits tertentu, maka Ulama Muta’akhirin lalu -menetapkan beberapa
kitab Hadits sebagai kitab-kitab pokok atau kitab standar.
1. Kitab Standar yang Lima (AI-Kutubul Khamsah)
Ulama sepakat, ada lima buah
kitab Hadits yang dinyatakan sebagai kitab standar (kitab pokok) yang biasa
disebut dengan Al-Kutubul Khamsah atau Al-Ushulul
Khamsah. Yakni:
1. Kitab Shahih Bukhari.
2. Kitab Shahih Muslim.
3. Kitab Sunan Abi Daud.
4. KitabSunanTurmudzi.
5. Kitab Sunan Nasa’iy.
2. Kitab
Standar yang Enam (Al-Kutubus Sittah)
Ada sebuah kitab Hadits lagi
yang oleh Ulama dimasukkan juga sebagai kitab standar dalam urutan yang
keenam. Dengan demikian, seluruh kitab standar itu ada enam buah. Yakni, lima
kitab standar sebagaimana tersebut dalam AI-Kutubul Khamsah kemudian ditambah
satu kitab lagi sehingga menjadi Al-Kutubus Sittah.
Ulama tidak sependapat tentang nama kitab standar yang
menempati urutan yang keenam ini.
a. Menurut pendapat Ibnu Thahir
Al-Maqdisy adalah: Sunan Ibnu Majah susunan Imam Ibnu Majah.
b. Menurut pendapat Ibnu
Atsir dan lain-lain, adalah: Al-Muwattha’, susunan Imam Malik.
c. Menurut pendapat Ibnu Hajar
Al-Asqallany adalah: Sunan AdDarimy, susunan Imam Ad-Darimy.
d. Menurut Ahmad Muhammad
Syakir, adalah: AI-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud.
3. Kitab
Standar yang Tujuh (AI-Kutubus Sab’ah)
Di antara Ulama ada yang
menambah lagi sebuah nama kitab Hadits sebagai kitab pokok (standar). Sehingga
dengan demikian, kitab standar tersebut jumlahnya menjadi tujuh buah. Dan oleh
karenanya, dinyatakan dengan nama AI-Kutubus Sab’ah (Kitab Pokok/Standar yang
tujuh).
Kitab Hadits yang ditetapkan
sebagai nomor urut yang ketujuh dalam kitab standar tersebut, menurut sebagian
Ulama adalah: Musnad Ahmad, susunan Ahmad bin Hambal.
3.14 Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad 3
Abad III H merupakan abad di dalam periode
kelima. Di mana, pada periode ini merupakan periode pemurnian, penyehatan, dan
penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung
antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau tepatnya, saat
Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir. Pada
awal abad III H, adalah masa dimulainya pembukuan hadits yang semata-mata
hadits saja, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat dan fatwa Tabi’in. Akan
tetapi mereka tidak memisahkan hadits-hadits yakni mencampurkan hadits sahih
dengan hadits hasan dan dengan hadits dha’if. Segala hadits yang mereka terima,
mereka bukukan dengan tidak menerangkan kesahihannya, atau kehasanannya, atau
kedha’ifannya. Mereka menyusun kitab-kitab hadits berdasarkan nama-nama orang
yang pertama meriwayatkan hadits itu (Musnad) yaitu Abdullah Ibn Musa al-Abasy
al-Kufy, Musaddad Ibn Musarhad al-Bashry, As’ad Ibn Musa al-Amawy, Nu’aim Ibn
Hammad al-Khuza’y, Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq Ibn Rahawaih, Usman Ibn Abi Syaibah.
3.15 Meluasnya Lawatan, Penyusunan Kaidah dan Pentashhihan Hadits
Dalam abad ke-3 Hijrah usaha pembukuan hadits
memuncak. Sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan Al-Muwaththa’ Malik tersebar dalam
masyarakat serta disambut dengan gembira, maka timbullah kemauan menghafal
hadits, mengumpulkan dan membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah
dari suatu tempat, dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Hal
ini kian hari kian bertambah maju.
Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits
yang terdapat di kota masing-masing. Sebahagian kecil saja di antara mereka
yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Pada pertengahan abad ke-3,
keadaan ini dipecahkan al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluahkan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru,
Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik,
Qaisariyah, Asqalan dan Himsah.
Ringkasnya, al-Bukhary membuat langkah baru
untuk mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. 16 tahun lamanya
beliau terus-menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahih-nya.
Pada mulanya ulama menerima hadits dari perawi,
lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat
menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok
dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam mengumpulkan
hadits pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits yaitu dengan
menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudhu’.
Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan
menyadari akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-sungguh
membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat,
kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadits-hadits yang shahih
dari yang dha’if yakni menshahihkan hadits.
Pembahasan mengenai diri pribadi perawi
menghasilkan ilmu Qawa’id at-Tahdits (kaidah-kaidah tahdits), ‘Illat-‘illat
hadits dan Tarjamah (riwayat) perawi-perawi hadits.
Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Dirayah
(Ilmu Dirayah al-Hadits) yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah
(Ilmu Riwayah al-Hadits).
Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau
memisahkan yang shahih dari yang dha’if dengan mempergunakan
syarat-syarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’,
melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan.
3.16 Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih saja
Untuk menyaring hadits-hadits itu serta
membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq Ibn
Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha
memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
Pekerjaan yang mulia ini, kemudian
disempurnakan ole imam al-Bukhary. Al-Bukhry menyusun kitabnya yang terkenal
dengan nama al-Jami’ ash-shahih yang membukukan hadits-hadits yang
dianggap shahih saja. Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh
muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan jerih payah kedua
sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih.
Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih Muslim
tersusun, muncul pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga
tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (sunan
At-Tirmidzy) dan AnNasa’y (sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian
terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (al-Ushul
al-Khamsah).
Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun
sebuah kitab sunan yakni Sunan Ibnu Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama
digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk itu enam
buah banyaknya terkenal dengan nama al-Kutub as-Sittah. Di bawah kitab
yang enam ini ulama menempatkan Musnad al-Imam Ahmad.
3.17 Dasar -dasar Pentashhihan Hadits
Untuk mentashhihkan hadits, dibutuhkan
pengetahuan yang luas tentang Tarikh Rijal al-hadits - sejarah perawi hadits -, tanggal lahir dan wafat para
perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan orang ia riwayatkan
haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang mendalam tentang parawi
hadits sejak zaman shahaby hingga zaman al-Bukhary (umpamanya), dapat
diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu,
nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercaya, siapa yang
tertutup keadaan, siapa yang dusta, siapa yang lalai.
Al-Bukhary mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama,
hafalan yang sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya
dalam bidang hadits. Kedua, keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang
dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn untuk menerangkan keadaan
perawi-perawi hadits. al-Bukhary dalam menghadapi perawi-perawi yang lemah dan
tercela, mempergunakan kata-kata yang sopan sekali.
Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh
hadits, seperti az-Zuhry, tentu tidak sama
semuanya. Ada yang erat dengan az-Zuhry, ada yang tidak. al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat
hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak erat hubungannya, sama
dengan menerima perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-orang yang
bukan tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal saja
perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.
Al-allamah muhammad zahijd
al-kutsary mengatakan bahwa diantara yang menarik perhatian adalah al-Bukhary
dan Muslim tidak menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal
al-Bukhary dan muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan
menerimah hadits dari mereka. Juga al-Bukhary dan muslim tidak
mentakhrijkan hadits imam Asy-Syafi’y padahal beliau-beliau itu menjumpai
sebagian ashabnya. Juga al-Bukhary tidak
mentakhrijkan hadits-hadits ahmad selain dari dua hadits, satu secara ta’liq,
satu lagi secara nasil dengan perantaraan, padahal al-Bukhary mendapati ahmad dan bergaul dengannya. Muslim
tidak mentakhrijkan dalam shahinya barang satu hadits dari hadits al-Bukhary, padahal muslim bergaul dengannya dan menuruti
jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits ahmad selain dari 30 hadits, ahmad
tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari malik dari nafi melalui jalan
Asy-Syafi’y padahal sanad inni dipandang paling sah, selain dari empat hadits.
3.18 Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits
Ulama di samping membukukan hadits dan memisakan hadits
dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, atau memisahkan yang shahih dari yang
dha’if, mereka memberikan pula kesungguhan yang mengagumkan untuk menyusun
kaedah-kaedah tahdits, ushul-ushulnya, syarat-syarat menerimah riwayat,
syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah-kaidah yang
dipegangi dalam menentukan hadits-hadits maudhu (palsu).
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul
dan untuk menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dha’if,
khususnya antara hadits-hadits yang ada asalnya dengan hadits yang semata-mata
maudhu.
Adapun langkah-langkah yang telah mereka ambil dalam
mengkritik jalan-jalan menerimah hadits sehingga mereka dapat melepaskan sunnah
dari tipu daya dan membersikan dari segala lumpur yang mengotorinya ialah
mengisnadkan hadits, memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima kepada para
ahli, mengkritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan
derajat-derajat hadits, menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah-kaidah
maudhu’.
1. Mengisnadkan
Hadits
Para sahabat sesudah Nabi saw. Wafat, saling
mempercayai. Para tabi’in dengan tidak tertugun-tegun menerima hadits yang
diriwayatkan kepadanya oleh seorang shahaby. Keadaan tersebut berjalan sampai
timbulnya fitnah yang digerakan oleh Abdullah Ibnu Saba, seorang yahudi yang
bermaksud jahat terhadap Islam. Dia menggerakan ummat untuk menganut paham
tasyayyu’ (paham memihak kepada Ali dan mempertahan kekhalifaan di tangan Ali
dan keturunannya). Mereka ada yang mengaku keturunan Ali. Sejak itu, timbulnya
penyisipan ke dalam hadits, penyisipan itu kian hari kian bertambah.
Berkenaan dengan hal itu, mulailah ulama baik dari
kalangan sahabat, maupun tabi’in berhati-hati menerima riwayat yang diberikan
kepada mereka. Mereka mulai tidak lagi menerima hadits kecuali yang mereka
ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-perawinya dan keadilan mereka. Ibnu
sirin berkata (menurut riwayat Muslim dalam muqaddimah shahihnya), “para sahabat dan
tabi’in tidak menanyakan tentang hal isnad. Namun, ketika mulai terjadi fitnah,
maka ketika menerima suatu hadits bertanya, siapa yang memberikan hadits itu?
sesudah diketahui sanad, diperiksalah apa sanad itu terjadi dari Ahlus Sunnah.
Kalau benar, diambillah hadits itu. Kalau perawi itu dari golongan ahli bid’ah,
ditolaklah hadits itu.” Keadaan ini mulai berlaku di zaman sahabat kecil, yang
meninggal sesudah terjadi fitnah.
Diriwayatkan Muslim dari Mujahid, bahwa Busyair al-adawy datang kepada Ibnu Abbas, lalu menceritakan
hadits kepadanya. Ibnu Abbas tidak memperhatikan
hadits-hadits yang di riwayatkan itu. Maka Busyair bertanya, “apakah sebabnya
anda tijdak mendengarkan hadits-hadits yang saya riwayatkan?” Ibnu Abbas menjawab, “Dahulu, apabila mendengar hadits,
kami memperhatikannya dengan sebaik-baiknya. Ketika manusia telah mengendarai
binatang jinak dan liar, tidaklah kami menerima selain dari yang kami ketahui.”
Berkenaan dengan ini pula, ketika telah berkecamuknya kedustaan para tabi’in
memintakan isnad.
Abu Aliyah berkata, “kami mendengar hadits-hadits dari
seorang sahabat. Kami tidak senang kalau kami tidak berpayah-payah datang
kepada sahabat itu untuk mendengar hadits.”
2. Memeriksa
Benar tidaknya Hadist yang Diterima
Seseorang yang menerima hadits, berusaha pergi
bertanya kepada sahabat dan tabi’in dan imam-imam hadits. Dengan inayah Allah
SWT, banyak para sahabat yang hidup lama. Maka ketika timbul kedustaan dalam
hal hadits, seseorang yang menerima hadits pergi kepada para sahabat untuk
menanyakan hadist yang diterimanya.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah
Shahihnya dari Ibnu Abi Mulaikah:
“Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas supaya
beliau menulis untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan (yang tidak ada) pada
saya. Ibnu Abbas berkata, “Seorang anak yang jujur, saya akan memilih untuknya
beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak benar). Ibnu Mulaikah
berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang membawakan kepadanya kitab hukum Ali.
Lalu beliau menyalin beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila didapatinya
yang tidak benar, berkata, “demi Allah, Ali tidak menghukum begini, terkecuali
dia sesat.”
Untuk memenuhi maksud ini para sahabat dan para
tabi’in membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar hadits-hadits
dari orang terpercaya.
Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy berkata, “saya
berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah
hadits.”
3. Mengkritik
Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun
Kedustaannya
Inilah sebuah usaha besar yang dilaksanakan
ulama untuk membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang tidak dan yang kuat
dari yang lemah. Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali.
Mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang
tersembunyi bagi umum dari keaadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka
dengan tidak segan–segan menerangkan cacat seorang perawi dan memberitakannya
kepada umum.
Pernah dikatakan orang kepada Yahya Ibn Said
al-Qaththan, “Apakah anda tidak takut pada hari kiamat mereka menjadi seteru
anda di hadapan Allah?” Yahya menjawab, “Saya lebih suka menjadi seteru mereka
daripada menjadi seteru Rasul saw. Rasul akan bertanya,” mengapa kamu tidak
membela sunnahku?”
Untuk ini ulama telah membuat undang-undang
atau kaidah umum untuk menetapkan orang-orang boleh diterima riwayatnya dan
yang tidak. Mereka juga menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama
sekali diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
atau Ilmu Mizan ar-Rijal.
4. Membuat
Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits
Ulama membagi hadits dalam beberapa derajat. Masing-masing
derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain.
Mereka membagi hadits menjadi shahih dan dha’if. Mereka membuat kaidah- kaidah
untuk mensahihkan suatu hadits dan untuk men-dha’if-kannya. Dengan perkataan
lain, mereka melahirkan ilmu mustalahul hadits, yaitu ilmu yang menetapkan
kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk
mengkritik, mengoreksi khabar dan riwayat.
Ringkasnya, ulama hadits menyusun qawaid
(kaidah-kaidah) tahdits dan ushulnya, syarat-syarat menerima riwayat dan
menolaknya, syarat-syarat shahih, dha’if.
5. Menetapkan
Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
Untuk menyaring hadits, menapis dan memisahkan
hadits-hadits yang sahih, hasan dan dha’if dari maudhu’, yang dipandang seburuk-buruk
hadist dha’if, mereka menetapkan dasar-dasar yang harus kita pegang dalam
menentukan hadits-hadits maudhu’ itu.
Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah
dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu’ yang sudah banyak
tersebar dalam masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu maksud
kemuslihatan.
PERIODE KEENAM (ABAD IV SAMPAI PERTENGAHAN , ABAD VII HIJRY)
Periode
ini disebut:: ~,Masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan dan penghimpunan. ~Periode keenam ini, terjadi pada masa Dinasti
Abbasiyah angkatan ~ua (Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al-Mu’tashim).
3.19 KEADAAN POLITIK DALAM PERIODE INI
Sejak
abad IV, daulah Islamiyah mengalami kemunduran. Lahirlah 6erapa daulah
Islamiyah kecil yang tak berdaya. Di kawasan barat, hi Umayyah di Andalusia
dipimpin oleh Abdur Rahman An-Nashir hyatakan diri memisahkan dari Daulah
Abbasiyah dan mengatakan iagai Amirul Mukminin juga. Di Afrika Utara, golongan
Syi’ah Ismaith di bawah pimpinan Ubaidillah Al-Mahdi Al-Fathimi mendirikan
~lah Fathimiyah. Ubaidillah juga menyatakan diri sebagai Amirul ikminin. Di
Yaman, golongan Syi’ah Zaidiyah juga mendirikan daulah adiri, terpisah dari
Daulah Abbasiyah yang ada Di Baghdad. Sedang di ghdad sendiri, walaupun yang
berkuasa secara format dari Bani Abba~h, tetapi secara praktis kekuasaan
dipegang oleh Bani Ad-Dailamy pg dikenal juga dengan Bani Buwaih. Di Mosul clan
Halb, Bani ‘tndan mengaku juga sebagai Bani Abbasiyah dan berkuasa di kedua
~rah itu.
Antar
daulah Islamiyah tersebut, timbul keinginan sating menguasai. xeka saling
menyerang dan saling mengaku sebagai penguasa tertinggi ~adap daulah Islamiyah
yang ada.
Demikian
gambaran kecil tentang keadaan dunia Islam pada masa ; Dengan gambaran ini
telah dapat dibayangkan betapa lemahnya dauIIslamiyah. Sehingga pada waktu
tentara Tartar (dari bangsa Mongol) )awah pimpinan Jengis Khan datang menyerbu
daulah-daulah Isla~ah, para penguasa Islam sama sekali tidak berdaya lagi. Dan
tatkala
Holako Khan, cucu Jengis Khan menyerbu Baghdad dan membunuh
Khalifah dari Bani Abbas, maka sempurnalah keruntuhan kekuasaan Islam yang
pernah cermerlang di bumi ini. Masa yang sangat memilukan ini, terjadi pada
pertengahan abad VII Hijry, yang oleh ahli Sejarah, ditetapkan sebagai pemisah
antara masa sejarah Islam kuno dengan masa sejarah Islam pertengahan.
3.20 KEGIATAN ULAMA HADITS PADA PERIODE INI
Walaupun pada periode ini daulah Islamiyah mulai melemah
dan akhirnya runtuh, tetapi kegiatan Ulama dalam melestarikan Hadits tidaklah
terlalu terpengaruh. Sebab kenyataannya, tidak sedikit Ulama yang tetap
menekuni dan bersungguh-sungguh memelihara dan mengembangkan pembinaan Hadits,
sekalipun caranya tidak lagi sama dengan Ulama pada periode sebelumnya.
Sebagaimana telah dibahas dalam bab yang lalu, pada abad III
hampir seluruh Hadits Nabi telah berhasil didewankan (dibukukan) oleh para
Ulama. Oleh karena itu, pada abad IV tinggal sedikit lagi Hadits-hadits Shahih
yang masih dikumpulkan clan dibukukan. Kitab-kitab Hadits yang telah berhasil
disusun pada abad IV dan dari padanya dapat dijumpai Hadits-hadits Shahih di
luar dari kitab-kitab Hadits abad III, antara lain adalah:
1. As-Shahih, susunan Ibnu
Khuzaimah (313 H).
2. Al-Anwa’ wat-Taqsim,
susunan Ibnu Hibban (354 H).
3. Al-Musnad, susunan Abu
Awanah (316 H).
4. Al-Muntaqa, susunan Ibnu
Jarud.
5. Al-Mukhtarah, susunan
Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisy.
Dengan
melihat bahwa para Ulama Hadits pada abad IV tidak lagi banyak yang mengadakan
perlawatan ke daerah-daerah seperti yang telah dilakukan oleh Ulama pada abad
III, maka Adz-Dzahaby menjadi penghujung tahun 300 H sebagai batas yang
memisahkan antara masa Ulama Mutaqaddimin dengan Ulama Muta’akhkhirin.
Pada periode keenam ini; Ulama Hadits pada umumnya hanya
memperpegangi kitab-kitab Hadits yang telah ada, sebab seluruh Hadits pada
abad IV (awal periode keenam ini), telah terhimpun dalam kitab-kitab Hadits
tersebut. Kegiatan Ulama yang menonjol dalam memelihara dan mengembangkan
Hadits Nabi yang telah terhimpun dalam kitab-kitab Hadits tersebut, adalah: -
a. Mempelajarinya
b. Menghafalnya
c. Memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya
d.
Menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan
menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan serta yang telah
termuat secara terpisah dalam kitabkitab yang telah ada tersebut.
3.21 CIRI-CIRI SISTEM PEMBUKUAN HADITS PADA PERIODE INI
Ulama
Hadits pada periode ini, selain menyusun kitab-kitab Hadits seperti yang telah
ditempuh oleh Ulama pada periode sebelumnya, misalnya dengan sistem mushannaf
dan musnad, juga menyusun kitab dengan sistem baru. Yakni yang dikenal dengan
istilah:
1. Kitab
Athraf
Yakni kitab Hadits yang hanya menyebut
sebagian-sebagian dari matan-matan Hadits tertentu kemudian menjelaskan seluruh
sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab Hadits yang dikutip
matannya itu maupun dari kitab-kitab lainnya. Misalnya:
1. Athrafus Shahihaini, susunan Ibrahim
Ad-Dimasyqy (wafat th. 400 H)
2. Athrafus Shahihaini, susunan Abu Muhammad
Khalaf Ibnu Muhammad Al-Wasithy (401 H)
3. Athrafus Sunanil Arba’ah, susunan Ibnu
Asakir Ad-Dimasyqy (571 H)
4. Athraful Kutubis Sittah, susunan Muhammad
Ibnu T’hahir Al-Maqdisy (507 H).
2. Kitab Mustakhraj
Yakni kitab Hadits yang memuat matan-matan
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya atau
lainnya, kemudian si penyusun meriwayatkan matan-matan Hadits tersebut dengan
sanad sendiri yang berbeda. Misalnya:
a. Mustakhraj
Shahih Bukhari, susunan Jurjany
b. Mustakhraj
Shahih Muslim, susunan Abu Awanah (316 H)
c. Mustakhraj
Bukhari-Muslim, susunan Abu Bakar Ibnu Abdan AsSirazy (388 H).
3. Kitab
Mustadrak
Yakni
kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah
satu syarat dari keduanya. Misalnya:
1. Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim (321- 405 H)
2.
Al-Ilzamat, susunan Ad-Daraquthny (306 - 385 H). 4. Kitab Jami’
Yakni
kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits Nabi yang telah termuat dalam
kitab-kitab yang telah ada. Misalnya:
a. Yang menghimpun Hadits-hadits Shahih l3ukhari dan Muslim:
1) Al-Jami’ bainas
Shahihaini, susunan Ibnul Furat (Ismail Ibnu Muhammad) - (414 H).
2) Al-Jami’ bainas
Shahihaini, susunan Muhammad Ibnu Nashr AIHumaidy (488 H).
3) Al-Jami’
bainas Shahihaini, susunan Al-Baghawy (516 H).
b. Yang mengh’impun Hadits-hadits Nabi dari Al-Kutubus Sittah:
1) Tajridus Shihah, susunan
Razim Mu’awiyah, kemudian disempurnakan oleh Ibnul Atsir AI-Jazary pada kitab
yang diberinya judul: Al-Jami’ul Ushul li Ahadit5ir Rasul.
2) Al-Jami’, susunan Ibnu Kharrat (582 H).
c. Yang menghimpun Hadits-hadits Nabi dari berbagai Kitab
Hadits:
1) Mashabihus Sunnah, susunan Al-Baghawy (516 H), kemudian
disaring oleh Al-Khatib At-Tabrizy dengan
judul: Misykatul Mashabih.
2) Jami’ul Masanid wal Alqab, susunan Abdur Rahman Ibnu Ali
AI-Jauzy (597 H). Kemudian kitab
ini ditertibkan oleh Ath-Thabary (964 H).
3) Bahrul Asanid, susunan Al-Hasan Ibnu Ahmad As-Samarqandy (491
H).
KITAB
BERDASAR POKOK MASALAH
Adapun kitab-kitab Hadits
yang menghimpun Hadit5-hadits Nabi berdasarkan masalah-masalah tertentu dari
kitab-kitab Hadits yang ada, antara lain ialah:
a. Yang menghimpun Hadits-hadits Ahkam:
1) Muntaqal Akhbar fil Ahkam, susunan Majduddin Abdus Salam Ibnu
Abdillah (652 H).
2).
As-Sunanul Kubra, susunan Al-Baihaqy (458 H).
3). AI-Ahkamus Sughra, susunan Ibnu
Kharrat (582 H).
4)
Umdatul Ahkam, susunan Abdul Ghany Al-Maqdisy (600 H).
b. Yang
menghimpun Hadits-hadits Targhib wat Tarhib (Hadits yang menerangkan keutamaan
amal, menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang dilarang/dibenci). At-Targhib wat Tarhib, susunan Al-Mundziry (656 H).
PERIODE KETUJUH ( MULAI PERTENGAHAN ABAD VII
SAMPAI SEKARANG )
Periode
ini disebut : Masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan
dan pembahasan.
A.
KEADAAN UMMAT ISLAM PADA PERIODE INI
melanjutkan
penyerangannya ke Haleb, Damaskus, dan lain-lain (658 H). Daulah Ayubiyah di
Mesir yang pernah jaya di bawah pahlawan Islam dalam perang salib, telah nintuh
dan dikuasai oleh Baulah Mamalik. Melihat mengganasnya penyerangan tentara
Tartar, maka orang-orang Mesir bertekad melawan tentara Tartar dan akhirnya
tentara yang dikuasai oleh cucu Jengis Khan ini, berhasil dihancurkan. Daulah
Mamalik, ingin diakui sebagai penguasa dunia Islam. Secara politis, Bani
Abbasiyah masih diperlukan namanya untuk kewibawaan daerah-daerah Islam di luar
Mesir. Oleh karena itu tatkala salah seorang dari Bani Abbasiyah datang ke
Mesir, maka dilantiklah menjadi khalifah oleh raja Adh-Dhahir Baibaras. Sejak
tahun pembaiatan ini, kota Kairo merupakan kota khilafah Bani Abbasiyah,
tetapi kekuasaan pemerintahan tetap dipegang oleh Bani Mamalik (dari keturunan
Bangsa Turki): Tegasnya, khalifah dari Bani Abbasiyah sekedar simbol semata,
agar daerah-daerah Islam dapat mengakui Mesir sebagai pusat Pemerintahan Islam.
Pada
permulaan abad VIII, muncullah seorang,tokoh di Turki, bernama Utsman Kajuk. la membina kerajaan di Turki dari puing-puing
peninggalan Bani Saljuk yang masih ada di Asia Tengah. Utsman ber sama
keturunannya berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di
sekitarnya, sehingga dengan demikian Utsman berhasil membangun Daulah
Utsmaniyah yang berpusat di Turki. DaulahLltsmaniyah akhirnya berhasil
menaklukkan Konstantinopel dan Mesir, sekahgus
menghilangkan khilafah
Abbasiyah. Dan mulai saat itu, berpindahlah khilafah Islamiyah dari Mesir ke
Konstantinopel. Daulah Utsmaniyah makin jaya dan besar. Tetapi di balik itu,
cahaya Islam di Andalusia yang telah bersinar sekitar delapan abad itu, makin
redup dan pudar.
Pada permulaan abad ketiga
belas, Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali, mulai bangkit memulihkan
kekuatannya dan berusaha mengembaGkan kejayaan Mesir pada masa silam.
Bertepatan dengan masa itu pula, kerajaan-kerajaan Eropa telah makin kuat dan
ingin menguasai dunia. Kerajaan-kerajaan Eropa yang disemangati oleh perang
salib itu, senantiasa berusaha untuk menumbangkan daulah Islamiyah dan menguasai
kaum muslimin. Akhirnya daulah Utsmaniyah runtuh lalu mereka taklukkan dan
cahaya Islam makin meredup karena tekanan para penjajah. Sulitlah hubungan
dari Mesir ke I4ijaz atau ke Syam dan lain-lain, sehingga praktis hilanglah
perlawatan para Ulama untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam akibat penjajahan
bangsa Eropa terhadap daerahdaerah Islam tersebut.
Ulama-ulama Islam barulah
mampu mengadakan kontak antarmereka, setelah semangat kebangkitan Islam mulai
tumbuh dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa Eropa di negara-negara yang
penduduknya mayorifas beragama Islam.
B. KEGIATAN ULAMA HADITS
PADA PERIODE INI
Dengan latar belakang keadaan politik dunia Islam seperti
dikemukakan di atas, maka praktis kegiatan periwayatan Hadits yang pada masa
sebelumnya banyak dilakukan secara syifahiyah
(penyampaian dan penerimaan
riwayat secara lisan; jadi secara hafalan), sudah tidak lagi banyak dijumpai.
Karenanya, penyampaian dan penerimaan riwayat/Hadits banyak dilakukan dengan
jalan ijazah dan mukatabah. (Yang dimaksud dengan ijazah dalam hal ini adalah pemberian izin dari seorang syaikh
(guru) kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadits yang berasal dari padanya,
baik yang tertulis ataupun yang hafalan, beserta kekurangan’ kekurangan dari
riwayat tersebut. Yang dimaksud dengan mukatabah
adalah pemberian catatan
Hadits dari seorang syaikh/guru kepada orang yang ada di dekatnya atau orang
yang jauh, baik catatan itu ditulis sendiri , oleh guru tersebut ataupun dengan
cara disuruh orang lain untuk menuliskannya).
Hanya sedikit sekali Ulama Hadits yang masih mampu
menyampaikan periwayatan Hadits beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna
seperti yang telah dilakukan oleh Ulama mutaqaddimin.
Kegiatan yang terbanyak yang dilakukan oleh
para Ulama pada periode ini, pada umumnya adalah mempelajari kitab-kitab
Hadits yang telah ada, kemudian mengembangkannya, antara lain dengan penyusunan
kitab-kitab baru yang selain dalam ber tuk seperti yang telah ditempuh oleh
Ulama sebelumnya (seperti kitab Jami’, mustakhraj, mustadrak clan athraf),
juga berupa:
1. Kitab
Syarah.Yakni, kitab Hadits yang di dalamnya dimuat
uraian dan penjelasan kandungan Hadits dan kitab tertentu dan hubungannya
dengan dalildalil yang lain, baik dari Al-Qur’an, dari Hadits maupun dari
kaidahkaidah syara’ lainnya.
2. Kitab
Mukhtashar. Yakni kitab Hadits yang berisi ringkasan dari
suatu kitab Hadits.
3. Kitab Zaqa’id. Yakni
kitab yang di dalamnya dihimpun Hadits-hadits yang terdapat pada suatu kitab
tertentu dan Hadits tersebut tidak termaktub dalam kitab-kitab tertentu
lainnya.
4. Kitab Penunjuk (kode indeks) Hadits. Yakni
kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis, biasanya berupa kode-kode huruf
dan angka tertentu, untuk mempermudah mendapatkan/mencari matan Hadits di
kitab-kitab tertentu.
5. Kitab Terjemah Hadits. Yakni
kitab/buku pengalih bahasa kitab-kitab Hadits dari bahasa Arab ke bahasa lain,
atau sebaliknya. Sejak akhir abad XIV H di Indonesia telah mulai kegiatan
penerjemahan kitab-kitab Hadits ke dalam bahasa Indonesia, baik kitab jami’,
kitab Hadits Ahkam, maupun kitab syarah.
C.
MACAM-MACAM KITAB HADITS PADA PERIODE INI
Kitab-kitab
Hadits yang telah disusun pada periode ini, di antaranya yang berupa:
a. Kitab
jami’ antara lain:
1) Jami’ul Masanid was Sunan, oleh Ibnu Katsir
(774 H). Kitab ini merupakan himpunan dari Hadits-hadits yang terdapat di kitabnya
Bukhari, Muslim, Abu Daud At Turmudzi, An-Nasa’iy, Ibnu Majah, Ahmad,
Al-Bazzar, Abu Ya’la dan At-Thabary.
2) Jami’ul Jawami’,.oleh As-Suyuthy (911
H).Kitab ini menghimpun Hadits-hadits dari AI-Kutubus Sittah.
3) At-Taj Al-Jami’ lil Ushul li Ahaditsir Rasul,
oleh Syekh Manshur Ali Nashif (Ulama “Al-Azhar” Mesir; diterbitkan pertama
kali tahun 1351 H/1932 M).
4) Zadul Muslim fi mat Tafaqa ‘alaihil Bukhari
wa Muslim, oleh Habibuilah As-Syanqithy. Kitab ini memuat 1200 Hadits yang
disepakati Bukhari-Muslim, disusun secara alfabetis.
5) Al-Lu’lu’u wal Marjan, oleh Muhammad Fuad
Abdul Baqy. Kitab yang menghimpun Hadits-hadits Bukhari-Muslim.
b. Kitab
yang membahas masalah tertentu, antara lain:
- Yang
membahas masalah hukum:
1)
Al-Imam fi Ahaditsil Ahkam, oleh Ibnu Daqiqil Id (702 H).
2)
Taqribul Asanid wa Tartibul Masanid, oleh Al-Iraqy (806 H).
3)
Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, oleh Ibnu Hajar AlAsqalany (852 H).
4)
Koleksi Hadits-hadits Hukum, oleh Prof. Dr. TM. Hasbi AsShiddieqy.
- Yang
berisi Targhib dan Tarhib, antara lain:
1) Riyadush Shalihin, oleh Imam
Nawawy (676 H).
- Yang
berisi Dzikir dan Do’a, antara lain:
1)
Al-Qaulul Badi’, oleh As-Sakhawy (902 H).
2)
AI-Hishnul Hashin, oleh Ivluhammad Al-Jazary (833 H).
Kitab syarah, antara lain:
- Syarah
untuk Shahih Bukhari, antara lain:
1)
Fathul Bary, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalany.
2)
Irsyadus Sary, oleh Muhammad Al-Qasthalany (923 Hijry).
Miftah
Kunuzis Sunnah, oleh Prof. Dr. A.J. Winsink. Buku ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy. Kitab ini
memberi petunjuk untuk mencari matanmatan Hadits yang terdapat dalam 14 kitab
Hadits (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Jami’ At-Turmudzi, Sunan
An-Nasa’iy, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad-Darimy, Muwaththa’ Malik, Musnad Zaid
bin Ali, Musnad Abu Daud At-Thayalisy, Musnad Ahmad, Thabaqah Ibnu Saad, Sirah
Ibnu Hisyam dan AI-Maghazy Al-Waqidy).
1) AI-It-hafatus Saniyyah, oleh Al-Mannawy.
2) Al-Kalimatut Tayyibah, oleh Ibnu Taimiyah.
3) Adabul Ahaditsil Qudsiyah, oleh Dr. Ahmad
As-Syarbashy.
Nama-nama kitab hadist dan biografi pengarangnya.
3.22 KITAB-KITAB HADIST PADA ABAD ke I H
1. Ash-Shahifah oleh Imam Ali bin Abi Thalib.
2. Ash-Shadiqah oleh Imam Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
3. Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim ( 50 – 124 H ).
4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin.
Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan keterangan sejarah saja.
3.23 Biografi singkat pengarang.
BIOGRAFI
RINGKAS IMAM ALI BIN ABI THALIB
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib as, bergelar Amirul Mukminin, sementara julukannya adalah Abu Al-Hasan atau Abu Turab. Imam Ali dilahirkan dari pasangan suami istri yang taqwa dan beriman kepada Allah dan rasulnya yang bernama Abu Thalib [as] paman Rasululullah saww, sementara ibunya bernama Fatimah binti Asad. Beliau dilahirkan di kota Makkah tepat pada Hari, Jum'at 13 Rajab. Ahli sejarah mengatakan bahwa umur beliau 63 Tahun, dan wafat beliau bertepatan pada hari Malam Jum' at, 21 Ramadhan 40 H. Beliau syahid di tangan si durjana Abdurrahman ibnu Muljam dengan cara menikam dari belakang dengan pedang disaat beliau tengah berdoa dihadapan tuhannya pada shalat subuh. Beliau dimakamkan di kota Najaf As-syarif [Iraq].
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib as, bergelar Amirul Mukminin, sementara julukannya adalah Abu Al-Hasan atau Abu Turab. Imam Ali dilahirkan dari pasangan suami istri yang taqwa dan beriman kepada Allah dan rasulnya yang bernama Abu Thalib [as] paman Rasululullah saww, sementara ibunya bernama Fatimah binti Asad. Beliau dilahirkan di kota Makkah tepat pada Hari, Jum'at 13 Rajab. Ahli sejarah mengatakan bahwa umur beliau 63 Tahun, dan wafat beliau bertepatan pada hari Malam Jum' at, 21 Ramadhan 40 H. Beliau syahid di tangan si durjana Abdurrahman ibnu Muljam dengan cara menikam dari belakang dengan pedang disaat beliau tengah berdoa dihadapan tuhannya pada shalat subuh. Beliau dimakamkan di kota Najaf As-syarif [Iraq].
Sejarah mencatat bahwa jumlah anak Imam Ali bin Abi Thalib berjumlah 36 orang, 18 laki-laki dan 18 perempuan. Anak laki-laki beliau adalah 1. Hasan Mujtaba, 2. Husein, 3. Muhammad Hanafiah, 4. Abbas al-Akbar, yang dijuluki Abu Fadl, 5. Abdullah al-Akbar, 6. Ja’far al-Akbar, 7. Utsman al- Akbar, 8. Muhammad al-Ashghar, 9. Abdullah al-Ashghar, 10. Abdullah, yang dijuluki Abu Ali, 11. ‘Aun, 12. Yahya, 13. Muhammad al Ausath, 14. Utsman al Ashghar 15.Abbas al-Ashghar, 16. Ja’far al-Ashghar, 17. Umar al-Ashghar, 18. Umar al-Akbar. Sementara anak perempuan beliau adalah 1. Zainab al-Kubra, 2. Zainab al-Sughra, 3.Ummu al-Hasan, 4. Ramlah al-Kubra, 4. Ramlah al-Sughra, 5. Ummu al-Hasan, 6. Nafisah, 7. Ruqoiyah al-Sughra, 8. Ruqoiyah al-Kubra, 9. Maimunah, 10. Zainab al-Sughra, 11. Ummu Hani, 12. Fathimah al-Sughra, 13.Umamah, 14.Khodijah al-Sughra, 15 Ummu Kaltsum, 16. Ummu Salamah, 17. Hamamah, 18. Ummu Kiram. Putra dan putri imam Ali as di atas mencakup juga anak-anak dari nasab Sayyidah fatimah as.
Imam
Ali bin Abi Thalib a.s. adalah sepupu Rasulullah saww. Dikisahkan bahwa pada
saat ibunya. Fatimah hinti Asad, dalam keadaan hamil, beliau masih ikut
bertawaf disekitar Ka'bah. Karena keletihan yang dialaminya lalu si ibu tadi
duduk di depan pintu Ka'bah seraya memohon kepada Tuhannya agar memberinya
kekuatan. Tiba-tiba tembok Ka'bah tersebut bergetar dan terbukalah dindingnya.
Seketika itu pula Fatimah binti Asad masuk ke dalamnya dan terlahirlah di sana
seorang bayi mungil yang kelak kemudian menjadi manusia besar, Imam Alibin Abi
Thalib.a.s.
Membicarakan
tentang Imam Ali bin Abi Thalib maka, kita tidak dapat memisahkannya dengan
Rasulullah saww. Sebab sejak kecil beliau telah berada dalam didikan madrasah
Rasulullah saww, sebagaimana dikatakannya sendiri: "Nabi membesarkan aku
dengan suapannya sendiri. Aku menyertai beliau kemanapun beliau pergi, seperti
anak unta yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru dari
karakternya yang mulia dan aku menerima serta mengikutinya sebagai suatu
perintah".
Setelah
Rasulullah saww mengumumkan tentang kenabiannya, beliau menerima dan
mengimaninya dan termasuk orang yang masuk islam pertama kali dari kaum
laki-laki. Apapun yang dikerjakan dan diajarkan Rasulullah kepadanya, selalu
diamalkan dan ditirunya. Sehingga beliau tidak pernah terkotori oleh kesyirikan
atau tercemari oleh karakter, hina dan jahat dan tidak juga tidak ternodai oleh
kemaksiatan sama sekali. Kepribadian beliau telah menyatu dengan kepribadian
Rasululullah saww, baik dalam karakternya, pengetahuannya, pengorbanan diri,
kesabaran, keberanian, kebaikan, kemurahan hati, kefasihan dalam berbicara dan
berpidato.
Sejak masa kecilnya beliau selalu menolong Rasulullah saww dan terpaksa harus menggunakan kepalan tangannya dalam mengusir anak-anak kecil serta para gelandangan yang diperintah kaum kafir Qurays untuk mengganggu dan melempari batu kepada diri Rasulullah saw.
Sejarah juga telah menjadi saksi nyata atas keberaniannya. Di setiap peperangan, beliau selalu saja menjadi orang yang terkemuka. Di perang Badar, hampir separuh dari jumlah musuh yang mati, tewas di ujung pedang Imam Ali a.s. Di perang Uhud, dimana musuh Islam lagi-lagi dipimpin oleh Abu Sofyan dan keluarga Umayyah yang sangat memusuhi Nabi saww, Imam Ali a.s kembali memerankan peran yang sangat penting yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi mendengarkan wasiat Rasulullah agar tidak turun dari atas gunung, namun mereka tetap turun sehingga orang kafir Qurays mengambil posisi mereka, lmam Alibin Abi Thalib a.s. segera datang untuk menyelamatkan diri nabi dan sekaligus menghalau serangan itu.
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Imam Ali bin Abi Thalib a.s. ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Demikian pula halnya dengan perang Khaibar, di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saww ber-sabda: "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya". Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Imam Ali bin Abi Thalib a.s. yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya hingga terbelah menjadi dua bagian.
Sejak masa kecilnya beliau selalu menolong Rasulullah saww dan terpaksa harus menggunakan kepalan tangannya dalam mengusir anak-anak kecil serta para gelandangan yang diperintah kaum kafir Qurays untuk mengganggu dan melempari batu kepada diri Rasulullah saw.
Sejarah juga telah menjadi saksi nyata atas keberaniannya. Di setiap peperangan, beliau selalu saja menjadi orang yang terkemuka. Di perang Badar, hampir separuh dari jumlah musuh yang mati, tewas di ujung pedang Imam Ali a.s. Di perang Uhud, dimana musuh Islam lagi-lagi dipimpin oleh Abu Sofyan dan keluarga Umayyah yang sangat memusuhi Nabi saww, Imam Ali a.s kembali memerankan peran yang sangat penting yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi mendengarkan wasiat Rasulullah agar tidak turun dari atas gunung, namun mereka tetap turun sehingga orang kafir Qurays mengambil posisi mereka, lmam Alibin Abi Thalib a.s. segera datang untuk menyelamatkan diri nabi dan sekaligus menghalau serangan itu.
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Imam Ali bin Abi Thalib a.s. ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Demikian pula halnya dengan perang Khaibar, di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saww ber-sabda: "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya". Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Imam Ali bin Abi Thalib a.s. yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya hingga terbelah menjadi dua bagian.
Begitulah
kegagahan yang ditampakkan oleh Imam Ali dalam menghadapi musuh islam serta
dalam membela Allah dan Rasul-Nya. Tidak syak lagi bahwa seluruh kebidupan Imam
Ali bin Abi Thalib a.s. dipersembahkan untuk Rasulnya demi keberhasilan proyek
dan keinginan Allah. Kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah benar-benar
terbukti lewat perjuangannya. Penderitaan dan kesedihan dalam medan perjuangan
mewarnai kehidupannya. Namun, penderitaan dan kesedihan yang paling dirasakan
adalah saat ditinggalkan Rasulullah saww. Tidak cukup itu, 75 hari kemudian
istrinya, Fatimah Zahra as, juga meninggal dunia.
Kepergian Rasululullah saw telah membawa angin lain dalam kehidupan Imam Ali a.s. Pagelaran sandiwara atas nama demokrasi di Saqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama, baru didengarnya setelah pulang dari kuburan Rasulullah saww. Sebab, pemilihan khalifah itu menurut sejarah memang terjadi saat Rasulullah belum di makamkan. Pada tahun ke-13 H, khalifah pertama, Abu Bakar as-Shiddiq, meninggal dunia dan menunjuk khalifah ke-2, Umar bin Khaththab sebagai penggantinya. Sepuluh tahun lamanya khalifah ke-2 meimpin dan pada tahun ke-23 H, beliau juga wafat. Namun, sebelum wafatnya, khalifah pertama telah menunjuk 6 orang calon pengganti dan Imam Ali a.s. termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terpilihlah khalifah Utsman bin Affan. Sedang Imam Ali bin Abi Thahb a.s. tidak terpilih karena menolak syarat yang diajukan Abdurrahman bin Auf yaitu agar mengikuti apa yang diperbuat khalifah pertama dan kedua dan mengatakan akan mengikuti apa yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kepergian Rasululullah saw telah membawa angin lain dalam kehidupan Imam Ali a.s. Pagelaran sandiwara atas nama demokrasi di Saqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama, baru didengarnya setelah pulang dari kuburan Rasulullah saww. Sebab, pemilihan khalifah itu menurut sejarah memang terjadi saat Rasulullah belum di makamkan. Pada tahun ke-13 H, khalifah pertama, Abu Bakar as-Shiddiq, meninggal dunia dan menunjuk khalifah ke-2, Umar bin Khaththab sebagai penggantinya. Sepuluh tahun lamanya khalifah ke-2 meimpin dan pada tahun ke-23 H, beliau juga wafat. Namun, sebelum wafatnya, khalifah pertama telah menunjuk 6 orang calon pengganti dan Imam Ali a.s. termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terpilihlah khalifah Utsman bin Affan. Sedang Imam Ali bin Abi Thahb a.s. tidak terpilih karena menolak syarat yang diajukan Abdurrahman bin Auf yaitu agar mengikuti apa yang diperbuat khalifah pertama dan kedua dan mengatakan akan mengikuti apa yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Pada tahun 35 H, khalifah Utsman terbunuh dan kaum muslimin secara aklamatis menunjuk Imam Ali sebagai khalifah dan pengganti Rasululullah saww dan sejak itu beliau memimpin negara Islam tersebut. Selama masa kekhalifahannya yang hampir 4 tahun 9 bulan, Imam Ali mengikuti cara Nabi dan mulai menyusun sistim yang islami dengan membentuk gerakan spiritual dan pembaharuan.
Dalam
merealisasikan usahanya, beliau menghadapi banyak tantangan dan peperangan,
sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan pembaharuan yang dicanangkannya
dapat merongrong dan menghancurkan keuntungan-keuntungan pribadi dan beberapa
kelompok yang merasa dirugikan. Akhirnya, terjadilah perang Jamal dekat Bashrah
antara beliau dengan Talhah dan Zubair yang didukung oleh Mua'wiyah, yang di
dalamnya Aisyah "Ummul Mukminin" ikut keluar untuk memerangi Imam Ali
bin Abi Thalib a.s. Peperangan pun tak dapat dihindari, dan akhirnya pasukan
Imam Ali a.s berhasil memenangkan peperangan itu sementara Aisyah "Ummul Mu'rninin"
dipulangkan secara terhormat kerumahnya.
Kemudian
terjadi "perang Siffin" yaitu peperangan antara beliau a.s. melawan
kelompok Mu'awiyah, sebagai kelompok oposisi untuk kepentingan pribadi yang
merongrong negara yang sah. Peperangan itu terjadi di perbatasan Iraq dan
Syiria dan berlangsung selama setengah tahun. Beliau juga memerangi Khawarij
(orang yang keluar dan lingkup Islam) di Nahrawan, yang dikenal dengan nama
"perang Nahrawan". Oleh karena itu, hampir sebagian besar hari-hari
pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib a.s digunakan untuk peperangan interen
melawan pihak- pihak oposisi yang sangat merongrong dan merugikan keabsahan
negara Islam dan kedudukan Imam Ali.
Akhirnya, menjelang subuh, 19 Ramadhan 40 H, ketika
sedang salat di masjid Kufah, kepala beliau ditebas dengan pedang beracun oleh
Abdurrahman bin Muljam. Menjelang wafatnya, pria sejati ini masih sempat
memberi makan kepada pembunuhnya. Singa Allah, yang dilahirkan di rumah Allah
"Ka'bah" dan dibunuh di rumah Allah "Mesjid Kufah", yang
mempunyai hati paling berani, yang selalu berada dalam didikan Rasulullah saww
sejak kecilnya serta selalu berjalan dalam ketaatan pada Allah hingga hari
wafatnya, kini telah mengakhiri kehidupan dan pengabdiannya untuk Islam[8].
3.23.1 Riwayat Hidup ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash
‘Abdullah
bin ‘Amr bin ‘Ash bin Wail bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’d bin Sahm bin Amr bin
Hushaish bin Ka’b bin Luay bin Ghalib. Ada lagi yang mengatakan, bahwa namanya
adalah Al-’Ash. Ketika masuk Islam maka Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam
merubahnya dengan nama ‘Abdullah. (Siyar III/180).
‘Abdullah
bin ‘Amr diberi kun-yah (panggilan kehormatan) dengan nama Abu Muhammad, ada
yang mengatakan ‘Abdurrahman, ada yang mengatakan Abu Nushair Al-Quraisy
As-Sahmi. Ibunya bernama Raithah binti Munabbah bin Al-Hajaj bin ‘Amr bin
Hudzaifah bin Sa’d bin Sahm bin ‘Amr bin Hushaish bin Ka’b bin Luay.[9]
3.24 KITAB-KITAB HADITS PADA PERIODE IV (ABAD II HIJRY)
Di
antara kitab-kitab/dewan Hadits yang disusun pada abad II Hijry, periode IV
ini, yang sangat mendapat perhatian dari kalangan Ulama, ialah:
1.
Al-Muwattha’, disusun
oleh Imam Malik bin Anas, atas permintaan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur.
2.
Musnad Asy-Syafi’i, susunan
Imam Syafi’i. Dewan Hadits ini, merupakan kumpulan Hadits-hadits yang terdapat
dalam kitab beliau yang bernama “Al-Um”.
3.
Mukhtaliful Hadits, disusun
oleh Imam Syafi’i. Di dalamnya, dibahas tentang cara.-cara menerima Hadits
sebagai hujjah clan cara-cara mengkompromikan Hadits yang nampak kontradiksi
satu sama lain.
4.
As-Siratun Nabawiyah, disusun
oleh Ibnu Ishaq. Berisi, antara lain tentang perjalanan hidup Nabi dan
peperangan-peperangan zaman Nabi.
j. Al Musnad, susunan Abu Hanifah (150
H).
5.
Al Musnad,
susunan Zaid ibn All
6.
Al Musnad,
susunan Al Imam Asy Syafi'y (204 H)
7.
Al Masghazy
wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (ISO H).
8.
Al Jami1,
susunan Abdur Razzaq As San'any (211 H)
9.
Al Mushannaf,
susunan Syu'bah Ibn Hajjaj (160 H)
10.
Al Mushannaf,
susunan Sufyan ibn TJyainah (198 H).
11.
Al Mushannaf,
susunan AlLaits ibn Sa'ad( 175 H)
12.
Al Mushannaf,
susunan Al Auza'y (150 H)
13.
Al Mushannaf,
susunan Al Humaidy (219 H)[10]
3.25 Biografi singkat pengarang
3.25.1 Biografi singkat Al Imam Asyafi’i
Kelahiran
Kebanyakan
ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina,
namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan;
sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli
sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini
wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam
Abu Hanifah.
Nasab
Imam
Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib,
jadi dia termasuk ke dalam Bani
Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin
Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay
bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar
bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah
di Abdul-Manaf.
Dari
nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian
juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin
Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada
Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan
nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie
Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan
karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah
saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“
|
Hanyalah
kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari
satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan
beliau.
|
”
|
—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya
juz 9 hal. 65 - 66
|
Masa belajar
Setelah
ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke
Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim.
Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra
sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari
seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i
adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di
Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az
Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun.
Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia
mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan
sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di
Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai
mufti Makkah.
Kemudian
beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari
Sufyan bin Uyainah.
Guru
yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun
semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di
berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah
dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada
Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari
Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan
lain-lain.
Di
majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan
cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat
Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan
dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di
Makkah.
Beliau
menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal
berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya
akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut
kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka
Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab
Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih
bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga
menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah
pemahamanku.”
Dari
berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling
beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di
samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’
yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf
bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di
majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan
terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang
sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan
berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah
terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau,
beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai
periwayatan ilmu.[11]
Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 Hijrah.
1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail
al-Bukhari (194-256 H).
2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj
(204-261 H).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi
(209-279 H).
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin
al-Asy'at (202-275 H).
5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai
(215-303 H).
6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin
Abdurrahman ad Damiri
(181-255 H).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin
Majah Ibnu Majah (209 - 273 H).
8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal
(164-241 H).
9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin
Jarud (wafat 307 H).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah
(wafat 235 H).
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur
(wafat 227 H).
12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin
Manshur (wafat 227 H).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin
Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin
Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H).
15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih
(wafat 237 H).
16. Al-Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa
(wafat 213 H).
17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat
249 H).
18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat 307
H).
19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah
al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi (282 H).
20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim Ahmad
bin Amr asy-Syaibani (wafat 287 H).
21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad
bin Yahya Aladani (wafat 243 H).
22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari
(wafat 282 H).
23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib
an-Nasai (wafat 303 H).
24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail
at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).
25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin
(wafat 228).
3.26 Tokoh-tokoh Hadits pada Abad 3
Di antara tokoh-tokoh hadits yang
lahir dalam masa ini ialah Ali Ibn al-Madiny, Abu Hatim ar-Razy, Muhammad Ibn
Jarir ath-Thabary, Muhmmad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, al-Bukhary,
Muslim, An-Nasa’y, Abu Daud, At-Tarmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah,
Ad-Dainury.
3.26.1 Biografi Imam bin Ahmad bin Hambal
Setiap kali membaca biografi Ahmad
bin Hambal, kita akan bertemu dengan sosok
yang gigih dalam membela sifat-sifat Allah yang haq, meskipun beliau disiksa bertahun -tahun lamanya. Tidak gentar, tidak berpaling, dan tidak mengerahkan murid-muridnya untuk melawan penguasa, tetapi malah selalu mendoakan pemimpin (meski mereka amat sangat zalim sekali), sebagaimana beliau pernah berkata, “Sekiranya saya memiliki doa yang pasti terkabul, tentu doa itu kutujukan untuk pemimpin”. |
Nasab dan Kelahirannya
Beliau
adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Nasab beliau bertemu
dengan nasab RasuluLlah sholaLlahu a’laihi wasallam pada diri Nizar bin Ma’d bin
‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
dengan nasab RasuluLlah sholaLlahu a’laihi wasallam pada diri Nizar bin Ma’d bin
‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Ketika
beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa-tempat
tinggal sang ayah-, ke kota Baghdad. Di kota itulah beliau dilahirkan, tepatnya pada
bulan Rabi’ul Awwal 164H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30
tahun, ketika beliau baru berumur 3 tahun.
tinggal sang ayah-, ke kota Baghdad. Di kota itulah beliau dilahirkan, tepatnya pada
bulan Rabi’ul Awwal 164H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30
tahun, ketika beliau baru berumur 3 tahun.
Masa Menuntut Ilmu
Imam
Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang
ayah meninggalkan dua rumah untuk mereka: satu ditempati sendiri, dan satunya
disewakan dengan harga sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan
keadaan syaikhnya, Imam Syafi’i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai
semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka
kepada kemajuan dan kemuliaan.
Maimunah, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang
ayah meninggalkan dua rumah untuk mereka: satu ditempati sendiri, dan satunya
disewakan dengan harga sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan
keadaan syaikhnya, Imam Syafi’i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai
semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka
kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau
mendapatkan pendidikan pertamanya di Baghdad.Setamatnya menghafal
AlQuran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttan saat berusia 14 tahun,
beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Perhatian beliau saat itu tengah tertuju
pada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Orang pertama tempat
mengambil hadits adalah Al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Pada
usia 16 tahun, Imam Ahmad mulai tertarik untuk menulis hadits. Beliau melakukan
mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithy hingga
syaikhnya wafat, dan telah belajar lebih dari 300.000 hadits.
AlQuran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttan saat berusia 14 tahun,
beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Perhatian beliau saat itu tengah tertuju
pada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Orang pertama tempat
mengambil hadits adalah Al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Pada
usia 16 tahun, Imam Ahmad mulai tertarik untuk menulis hadits. Beliau melakukan
mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithy hingga
syaikhnya wafat, dan telah belajar lebih dari 300.000 hadits.
Pada
umur 23 tahun, beliau mulai mencari hadits ke Bashrah, Hijaz, Yaman, dan kota
lain. Selama di Hijaz, beliau banyak mengambil hadits dan faidah dari Imam Syafi’i,
bahkan Imam Syafi’i sendiri amat memuliakan Imam Ahmad dan menjadikan beliau
sebagai rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Demikianlah ketekunan
beliau, sampai-sampai beliau baru menikah di usia 40 tahun. Seseorang pernah berkata
kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah menjadi imam kaum muslimin”.
Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah(kubur). Aku
akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur”. Beliau senantiasa seperti itu:
menekuni hadits, memberi fatwa, dsb. Banyak ulama yang pernah belajar kepada
beliau, semisal kedua putranya, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zur’ah, dan lain-
lain.
lain. Selama di Hijaz, beliau banyak mengambil hadits dan faidah dari Imam Syafi’i,
bahkan Imam Syafi’i sendiri amat memuliakan Imam Ahmad dan menjadikan beliau
sebagai rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Demikianlah ketekunan
beliau, sampai-sampai beliau baru menikah di usia 40 tahun. Seseorang pernah berkata
kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah menjadi imam kaum muslimin”.
Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah(kubur). Aku
akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur”. Beliau senantiasa seperti itu:
menekuni hadits, memberi fatwa, dsb. Banyak ulama yang pernah belajar kepada
beliau, semisal kedua putranya, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zur’ah, dan lain-
lain.
Kitab-kitab beliau
Kitabnya
yang terkenal, al-Musnad, beliau susun dalam waktu 60 tahun sejak
beliau
pertama kali tertarik menulis hadits. Beliau juga menyusun kitab Al-Manasik ash-
Shaghir dan Al-Kabir, kitab Az-Zuhud, Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah wa az-Zindiqiyyah,
kitab as-Sholah, as-Sunnah, al-Wara’ wa al-Iman, al-’Ilal wa ar-Rijal,Fadhail ash-
Shahabah, dan lain-lain[12]
pertama kali tertarik menulis hadits. Beliau juga menyusun kitab Al-Manasik ash-
Shaghir dan Al-Kabir, kitab Az-Zuhud, Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah wa az-Zindiqiyyah,
kitab as-Sholah, as-Sunnah, al-Wara’ wa al-Iman, al-’Ilal wa ar-Rijal,Fadhail ash-
Shahabah, dan lain-lain[12]
3.26.2 Biografi Imam Bukhari
Imam
Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama
lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al
Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia,
dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya
daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.
Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan
selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan,
Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota
ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak
ulama besar.
Perhatian
dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini,
beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai
belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau
dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika
berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli
hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits
Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadits.
Selain
kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama
di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi
dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau,
misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam
lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan
untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya
bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin
Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal
dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan
Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin
Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi
Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau
berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits.
Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari
datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus
berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih
menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika
terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung
kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan
dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu
merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan
hadits-hadits Nabi SAW.
Imam
Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan
hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal
serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada
pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang
diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui
mereka sebagai gurunya.
Imam
Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan
puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada
Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam
Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung
dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut
Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim
tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan
pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil
dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring
hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai
metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan
ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu
hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan
riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan
kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan
kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam
Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan,
kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang
benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah
Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu
tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Adapun kitab-kitab hadits yang termasyhur pada abad ke 4 diantaranya adalah :
- Al Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
- Al Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
- Al Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
- Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
- Ash-Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
- At Taqasim wal Anwa’ oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
- As-Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (w. 354 H/ 965 M)
- Ash-Shahih oleh Imam Abu ‘Awanah Ya’qub bin Ishaq (w. 316 H).
- Al Muntaqa` oleh Imam Ibnu Saqni Sa’id bin ‘Usman al-Baqhdadi (w. 353 H / 964 M)
- As-Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
- Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
- Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (w. 301 H / 913 M)
3.27 Biografi Ibnu Khuzaimah (223-311 H)
Ibnu
Khuzaimah (223-311 H)
Ibnu Khuzaimah nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Naisaburi. Ia lahir pada bulan Safar 223 H (838 M) di Naisabur (Nisapur), sebuah kota kecil di Khurasan, yang sekarang terletak di bagian timur negara Iran.
Sejak kecil ia telah mempelajari al-Qur’an, setelah itu konon ia sangat ingin untuk melawat menemui Ibn Qutaibah (wafat tahun 240 H) guna mencari dan mempelajari hadits. Lantas ia meminta izin kepada ayahnya namun ayahnya meminta agar puteranya terlebih dahulu mempelajari al-Qur’an hingga benar-benarn memahaminya. Setelah dianggap mampu memahami al-Qur’an barulah ia diizinkan oleh ayahnya mencari dan mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan melawat ke Marwa dan menemui Muhammad bin Hisyam serta Ibnu Qutaibah.
Sejak itulah, yakni sekitar tahun 240 H, ketika Ibnu Khuzaimah berusia tujuh belas tahun, ia giat mengadakan lawatan intelektual ke berbagai kawasan Islam. Di Naisabur ia belajar kepada Muhammad bin Humaid (wafat tahun 230 H), Ishaq bin Rahawaih (wafat 238 H) dan lain-lain. Di Marwa kepada ‘Ali bin Muhammad, di Ray kepada Muhammad bin Maran dan lain-lain, di Syam kepada Musa bin Sahl al-Ramli dan lain-lain, di Jazirah kepada ‘Abdul Jabbar bin al-A’la dan lain-lain, di Mesir kepada Yunus bin ‘Abdul al-A’la dan lain-lain, di Wasit kepada Muhammad bin Harb dan lain-lain, di Baghdad kepada Muhammad bin Ishaq al-Sagani dan lain-lain, di Basrah kepada Nashr bin ‘Ali al-Azadi al-Jahdimi dan lain-lain, dan di Kufah kepada Abu Kuraib Muhammad bin al-A’la al-Hamdani dan lain-lain.
Selain
itu ia pun banyak meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Mani’, Muhammad bin Rafi’,
Muhammad bin Basyar, Bandar Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Muhammad bin Yahya
al-Zuhali, Ahmad bin Sayar al-Marwazi dan sebagainya. Iapun menerima hadits
dari imam al-Bukhari, Muslim dan Khalaq. Guru-guru imam Ibnu Khuzaimah memang
sangat banyak jumlahnya. Dalam periwayatan hadits ia tidak mau menyampaikan
hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah ia terima dari guru-gurunya
sebelum betul-betul memahaminya, dan seringkali ia memperlihatkan
cacatan-cacatannya kepada guru-gurunya.
Demikian juga dengan orang-orang atau murid-murid yang pernah meriwayatkan hadits dari Ibnu Khuzaimah jumlahnya sangat banyak, sejumlah guru pun ada yang menerima hadits darinya, seperti al-Bukhari, Muslim dan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam. Diantara murid-murid Ibnu Khuzaimah ialah Yahya bin Muhammad bin Sa’id, Abu ‘Ali an-Naisaburi dan Khala’iq. Yang paling akhir meriwayatkan hadits darinya di Naisabur ialah cucunya sendiri yaitu Abu Thahir Muhammad bin al-Fadl.
Demikian juga dengan orang-orang atau murid-murid yang pernah meriwayatkan hadits dari Ibnu Khuzaimah jumlahnya sangat banyak, sejumlah guru pun ada yang menerima hadits darinya, seperti al-Bukhari, Muslim dan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam. Diantara murid-murid Ibnu Khuzaimah ialah Yahya bin Muhammad bin Sa’id, Abu ‘Ali an-Naisaburi dan Khala’iq. Yang paling akhir meriwayatkan hadits darinya di Naisabur ialah cucunya sendiri yaitu Abu Thahir Muhammad bin al-Fadl.
Hadits-haditsnya pun banyak diriwayatkan oleh ulama-ulama terkemuka pada zamannya. Diantara yang meriwayatkan hadits darinya ialah Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub at-Tabra’i, Abu Hatim, Muhammad bin Hibban al-Busyti, Abu Ahmad, Abdullah ibn Abdul Jurjani, Abu Ishaq Ibrahim bin Abdullah bin al-Albihani, Abu Bakar Muhammad bin Ismail as-Sasi, al-Qafal al-Kabir dan lain-lain.
Berkat kecerdasan dan keuletannya dalam mencari ilmu pengetahuan, akhirnya beliau menjadi seorang imam besar di Khurasan. Iapun banyak menggeluti hadits dengan mempelajari dan mendiskusikannya. Karena itulah ia terkenal sebagai seorang hafizh dan digelari Imam al-A’immah (pemimpin diantara para pemimpin).
Dari segi kepribadiannya pun Ibnu Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat baik. Banyak orang yang memberikan kesaksian dan komentar tentang hal ini. Ia dikenal sebagai orang yang berani menyampaikan kebenaran, kritik dan koreksi sekalipun terhadap penguasa, terutama jika berkaitan dengan penyampaian hadits yang keliru. Hal ini, misalnya ia lakukan ketika mengkritik Ismail bin Ahmad, salah seorang penguasa pada saat itu, yang menyampaikan hadits yang didalam sanadnya terdapat periwayatan yang tidak jelas yaitu Abu Zar al-Qadhi. Demikian lah kesaksian yang diberikan oleh Abu Bakar bin Baluih.
Iapun dikenal sangat dermawan dan suka bersedaqah. Abu Tahir Muhammad bin al-Fadl (wafat tahun 387 H), cucu Ibnu Khuzaimah menyatakan bahwa kakeknya suka bekerja keras dan suka memberi urang dan pakaian kepada pecinta ilmu meskipun sesungguhnya yang dimilikinya itu sangat terbatas. Sementara al-Hakim menyatakan bahwa Ibnu Khuzaimah sering melakukan dakwah secara besar-besaran di Bustan. Acara tersebut dihadiri oleh banyak orang, baik kaya maupun miskin.
Selain itu, iapun dikenal memiliki kecerdasan atau daya hafal yang luar biasa. Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Hafiz an-Naisaburi berkata, “Aku belum pernah menemukan orang sehebat Muhammad bin Ishaq (Ibnu Khuzaimah). Beliau sangat mampu menghafal hukum-hukum fiqih dari hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dari hafalan al-Qur’an”. Hal senada juga juga dikemukakan oleh ad-Daraquthni yang menyatakan bahwa ia adalah seorang pakar hadits yang sangat terpercaya dan sulit mencari bandingannya. Sementara itu, Ibnu Abi Hatim memberikan komentar bahwa Ibnu Khuzaimah adalah orang yang sangat mumpuni. Ar-Rabi’, salah seorang guru Ibnu Khuzaimah dalam bidang fiqih, disamping Ibnu Rahawaih dan al-Muzani, juga menuturkan secara tulus bahwa iapun banyak memperoleh manfaat dari Ibnu Khuzaimah.
Selama masa hayatnya, Ibnu Khuzaimah banyak menghasilkan karya tulis. Abu Abdullah al-Hakim menyebutkan bahwa karya Ibnu Khuzaimah mencapai lebih dari 140 buah. Sayangnya sebagian besar karya-karya beliau tidak sampai ke tangan kita, meskipun sekedar nama ataupun judulnya. Karyanya yang masih dapat dijumpai sampai saat ini hanya dua, yaitu kitab at-Tauhid dan Kitab Shahih (Mukhtashar)-nya (yang lebih populer dengan nama Shahih Ibnu Khuzaimah-red). Namun berdasarkan penyelusuran M.M. Azhami terhadap kedua kitab tersebut di dalamnya beliau menemukan ada 35 buah nama “kitab” yang pernah disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah. Nama-nama kitab yang disebutkan itu ialah: 1) al-Asyribah, 2) al-Imamah, 3) al-Ahwal, 4) al-Iman, 5) al-Iman wa al-Nuzur, 6) al-Birr wa al-Silah, 7) al-Buyu, al-Tafsir, 9) at-Taubah, 10) al-Tawakkal, 11) al-Jana’iz, 12) al-Jihad, 13) al-Du’a, 14) al-Da’awat, 15) Zikr Na’im al-Jannah, 16) Zikr Na’im al-Jannah, 17) al-Sadaqat, 18) al-Sadaqat min Kitabihi al-Kabir, 19) Sifat Nuzul al-Qur’an, 20) al-Mukhtashar min Kitab al-Salah, 21) al-Salat al-Kabir, 22) al-Salah, 23) al-Siyam, 24) al-Tibb wa al-Raqa, 25) al-Zihar, 26) al-Fitan, 27) Fadl Ali bin Abi Thalib, 28) al-Qadr, 29) al-Kabir, 30) al-Libas, 31) Ma’ani al-Qur’an, 32) al-Manasik, 33) al-Wara’, 34) al-Wasaya, dan 35) al-Qira’ah Khalfa al-Imam.
Dari penyebutan 35 nama kitab diatas, menurut M.M. Azhami termasuk-termasuk “Kitab” terdapat dapat memiliki tiga kemungkinan: (1) merupakan judul atau nama buku tersendiri, (2) hanya merupakan bagian atau bab dari satu buku, dan (3) dapat pula berarti kedua-duanya, yakni terkadang sebagai judul atau nama buku tersendiri, dan terkadang sebagai bagian atau bab dari suatu buku. M.M. Azhami berpendapat bahwa kemungkinan yang terakhirlah yang lebih kuat. Ia mengakui bahwa para ulama hadits seringkali menyusun kitab atau bukunya terdiri dari beberapa “kitab”. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam Kitab Shahih al-Bukhari yang terdiri dari beberapa kitab yaitu (1) Kitab al-Iman, (2) Kitab al-Ilmi, (3) Kitab al-Wudlu, dan seterusnya.
Setelah mengisi masa hidupnya dengan berbagai perjuangan dan pengabdian, akhirnya pada malam sabtu tanggal 2 Zulqai’dah 311 H, Ibnu Khuzaimah wafat dalam usia kurang lebih 89 tahun. Jenazahnya dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan di bekas kamarnya yang kemudian dijadikan makam[13].
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Perkembangan hadits pada masa Rasulullah bercorak antar lisan dan mengalami pelarangan penulisan dengan alasan di antaranya; khawatir tercampur dengan al-Qur'an.
2. Pada masa Khulafa' al-Rasyidin, hadits mengalami pasang surut dengan adanya pembatasan periwayatan pada masa Khalifah Abu Bakar – Umar r.a dan perluasan periwayatan pada masa Khalifah Utsman – Ali r.a
3. Pada masa tabi'in, hadits lebih banyak diriwayatkan oleh perawi. Namun, pada masa itu, banyak bermunculan hadits-hadits palsu yang bernuansa kepentingan politik golongan.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Moh. Amin, Dkk. 1996, QUR`AN
HADITS II, Jakarta ; DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN DAN PELEMBAGAAN AGAMA
ISLAM DAN UNIVERSITAS TERBUKA
Teungku Muhammah Hasbi Ash
Shiddieqy. 1999, SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU HADITS, Semarang ; PT.
Pustaka Rizki Putra.
Drs. Munzier suparta, M.A. 2001, ILMU
HADITS. Jakarta ; PT. Rajagrafindo Persada.
[1]
Drs. Munzier Suparta M. A, Ilmu Hadist, (Jakarta : P.T Rajagrafindo Persada .
2001) halaman : 74
[2].Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang
: PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 32.
[3]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang
: PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 34
[4]
Drs. Munzier Suparta M. A, Ilmu Hadist, (Jakarta : P.T Rajagrafindo Persada .
2001) halaman : 82.
[5]
[5].Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang
: PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 51
[6] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang
: PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 58.
[7] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang
: PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 62.
[8]http://forum.cintarasul.co.id/viewtopic.php?t=2440&start=0&postdays=0&postorder=asc&highlight=&sid=f871a986913fdbd205d34af55a5dd174
[9] http://ririact.ngeblogs.com/2009/11/10/kehidupan-abdullah-bin-amr-bin-ash/
[10] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang
: PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 62.
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi%27i#Kelahiran_dan_kehidupan_keluarga
[12] http://hambawang.blogspot.com/
[13] http://hambawang.blogspot.com/
1 komentar:
izin save artikelnya mas
Posting Komentar