Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Pengertian Ulumul Hadist


1.      Jelaskan pengetian ulumul hadist, tujuan ulumul hadist ?
Pembahasan :
                     Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”. Sedangkan pengertian hadist adalah berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama.  Tujuan mempelajari ilmu hadis adalah untuk membedakan antara hadis sahih dan dha’if.

2.      Jelaskan pengertian sunnah dan atsar ?
Pembahasan :
                         Sunnah menurut bahasa adalah (jalan yang terpuji atau tercela) sedangkan menurut istilah, sunnah adalah segala yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya. Atsar menurut bahasa adalah bekasan sesuatu atau sisa sesuatu dan berarti nukitan atau yang dinukitkan. Sedangkan menurut itstilah atsar ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, Sahabat dan Tabi’in.

3.      Jelaskan pengertian Sanad, matan dan rawy dan jelaskan perbedaannya ?
Pembahasan:
                    Kata sanad secara etimologis, berakar dari kata sanada-yasnudu, yang berarti ”sandaran”, atau sesuatu yang dijadikan sandaran (mu’tamad) sedangkan menurut istilah sanad adalah “silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits”. Kata matan atau al- matnu. Menurut bahasa berarti Sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari bumi (tanah). Sedangkan menurut istilah adalah “Beberapa lafadz hadist yang membentuk beberapa makna”. Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (naqil al-hadits).
                Antara sanad dan rawi itu merupakan dua isilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad hadits pada tiap-tiap tabaqahnya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan etapi yang memnbedakan rawi dan sanad adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi juga disebut mudawwin atau (orang yang membukukan dan menghimpun hadits).

4.      Sebutkan salah satu contoh hadist yang lengkap dengan sanad, matan dan rawinya?
Pembahasan :








Artinya : Telah menceritakan kepada kami al-Humaidi, Abdullah bin az-Zubair, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id al-Anshari, ia berkata; Telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin Ibrahim at-Taimi bahwasannya ia mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laitsi berkata; Aku mendengar Umar bin Khaththab ra berkata di atas mimbar; Rasulullah saw bersabda; Sesungguhnya semua perbuatan itu disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) kepada dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya (dibalas) kepada apa yang ia niatkan.

Yang dinamakan Sanad pada hadis di atas adalah




Sedangkan matan pada hadis di atas adalah




5.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan Al-Tahamul Wa al- ada’, dan sebutkan Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya ?
Pembahasan :
v  Al-Sima’ (mendengar)
           Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’ mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
v  Al-Qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
               Al-Qira’ah disebut juga al-‘Ardlu memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh berada pada posisi mendengarkan.
v  Al-Ijazah
             Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
v  Al-Munawalah
                Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah.
v  Al-Mukatabah (menulis).
               Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
v  Al-I’lam as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
                    Al-I’lam as-Syaikh adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
v  Al-Washiyat.
              Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara washiyat.
v  Al-Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya.

6.      Jelaskan yang dimaksud dengan hadist Riwayah ?
           Pembahasan :
Menurut bahasa riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan yang berarti annaql = memindahkan dan penukilan. Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi Asshalih adalah :" ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat serta segala segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in ". Jadi jelaslah, dari definisi diatas kita dapat menarik beberapa point , yaitu :
·            Objek Ilmu Hadits Riwayah adalah matan atau isi hadits yang disandarkan kepada Nabi, Sahabat dan Tabiin.
·            Ilmu Hadits Riwayah mempelajari periwayatan yang mengakumulasikan apa, siapa dan dari siapa suatu riwayat.
·            Fokus kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Matan Hadits. Namun tidak mungkin ada matan tanpa disertai Sanad Hadits.
7.      Jelaskan yang dimaksud  dengan Hadist Dirayah ?
Pembahasan :
                   Dirayah, menurut bahasa dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan yang berarti pengetahuan. Maka seringkali kita mendengar Ilmu Hadits Dirayah Disebut-sebut sebagai pengetahuan tentang ilmu Hadits atau pengantar ilmu hadits.
Menurut imam Assyuthi, Ilmu Hadits Dirayah adalah " ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya".
  1. Hakikat periwayatan, maksudnya adalah apa, siapa dan dari siapa riwayat itu. 
  2. Syarat-syarat periwayatan, maksudnya ketika menerima (tahamul) periwayatan hadist. Dengan kata lain memakai metode macam apa rawi tersebut.
  3. Macam-macam periwayatan, maksudnya, apakah sanadnya mutthasil atau inqitha. 
  4. Hukum-hukum periwayatan, apakah maqbul atau mardud? 
  5. Keadaan perawi, yakni ketika menyampaikan (tahamul) dan menerima (ada) hadits, apakah adil atau tidak? Dimana tempat tinggal, lahir dan wafatnya. Sedangkan untuk marwi, yakni rasional dan tidaknya.
  6. Macam-macam periwayatan, artinya hadits atau atsar. Begitu pula dalam hal pembukuannya.
8.      Jelaskan secara singkat sejarah perkembangan Hadist hingga pembukuan Hadist ?
Pembahasan :
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu :
a.       Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman Rasul : 13 SH - 11 SH ).
b.      Masa pembatasan riwayat ( masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H ).
c.       Masa pencarian hadits ( pada masa generasi tabi'in dan sahabat-sahabat muda : 41 H - akhir abad 1 H ).
d.      Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ).
e.       Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad III H ) sampai selesai.
f.       Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad IV H  sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H ).
g.      Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum ( 656 H dan seterusnya ).

9.      Jelaskan secara singkat bagaimana perkembangan Hadist pada masa Rasulullah SAW, hadist pada masa Khulafaur Rasyidin dan Perkembangan Hadist pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz ?
Pembahasan :

v  Hadist Pada Masa Rasulullah SAW

            Hadis atau sunah adalah sumber hukum Islam yang kedua yang merupakan landasan dan pedoman dalam kehidupan umat Islam setelah Al Qur'an, Karena itu perhatian kepada hadis yang diterima dari Muhammad SAW dilakukan dengan cara memahami dan menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Perhatian semacam ini sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Namun pada saat itu para perawi hadis sangat berhati-hati dalam menerima maupun meriwayatkan hadis dan menjaga kemurniannya. Pada zaman Rasulullah para sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang pertama. Para sahabat adalah penerima hadis langsung dari Muhammad SAW baik yang sifatnya pelajaran maupun jawaban atas masalah yang dihadapi. Pada masa ini para sahabat umumnya tidak melakukan penulisan terhadap hadis yang diterima. Kalaupun ada, jumlahnya sangat tidak berarti. Hal ini di sebabkan antara lain :

v  Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan tulisan .Al-Qur'an.
v  Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja.
v  Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan tidak sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW.

v  Hadis pada masa Khutafaur Rasyidin

       Setelah Rasulullah SAW wafat para sahabat mulai menebarkan hadis kepada kaum muslimin melalui tabligh. Nabi Muhammad SAW bersadba;Artinya; Sampaikanlah dari padaku, walaupun hanya satu ayat.' Di samping itu Rasulullah berpesan kepada para sahabat agar berhati-hati dan memeriksa suatu kebenaran hadis yang hendak disampaikan kepada kaum muslimin. Ketika itu para sahabat tidak lagi berdiam hanya di Madinah. Tetapi meyebar ke kota-kota lain. Pada masa Abu Bakar dan Umar, hadis belum meluas kepada masyarakat. Karena para sahabat lebih mengutamakan mengembangkan A1 Qur'an. Ada dua cara meriwayatkan hadis pada masa sahabat:
Dengan lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dengan maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya.
Cara yang kedua ini rnenimbulkan bermacam-macam lafal (matan), tetapi maksud dan isinya tetap sama. Hal ini mmbuka kesempatan kepada sahabat-sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW untuk mengembangkan hadis, walaupun mereka tersebar ke kota-kota lain.

v  Masa pembukuan hadist (Umar bin Abdul Aziz).

            Ide pembukuan hadis pertama-tama dicetuskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz pada awal abad ke 2 hijriyah. Sebagai Khalifah pada masa itu beliau memandang perlu untuk membukukan hadis. Karena ia meyadari bahwa para perawi hadis makin lama semakin banyak yang meninggal. Apabil hadis-hadis tersebut tidak dibukukan maka di khawatirkan akan lenyap dari permukaan bumi. Di samping itu, timbulnya berbagai golongan yang bertikai daIam persoalan kekhalifahan menyebabkan adanya kelompok yang membuat hadis palsu untuk memperkuat pendapatnya. Sebagai penulis hadis yang pertama dan terkenal pada saat itu ialah Abu Bakar Muhammad ibnu MusIimin Ibnu Syihab Az Zuhry.
                Pentingnya pembukuan hadis tersebut mengundang para ulama untuk ikut serta berperan dalam meneliti dan menyeleksi dengan cermatl kebenaran hadis-hadis. Dan penulisan hadis pada abad II H ini belum ada pemisahan antara hadis Nabi dengan ucapan sahabat maupun fatwa ulama. Kitab yang terkenal pada masa itu ialalah Al Muwatta karya imam Malik.
                Pada abad III H, penulisan dilakukan dengan mulai memisahkan antara hadis, ucapan rnaupun fatwa bahkan ada pula yang memisahkan antara hadis shahih dan bukan shahih. Pada abad IV H, yang merupakan akhir penulisan hadis, kebanyakan bukti hadis itu hanya merupakan penjelasan ringkas dan pengelompokan hadis-hadis sebelumnya.
Demikianlah usaha penulisan hadis pada masa khaIifah Umar bin Abdui Aziz yang selanjutnya disempurnakan oleh utama dari masa dan ke masa dan mencapai puncaknya pada akhir abad IV H.
10.  Apa yang di maksud dengan istilah istilah hadist Marfu’, Mauquf,dan Magthu ?
Pembahasan :
v  Hadits Marfu' adalah  segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau disebut dengan hadits Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh jadi Sahabat, atau selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadits Marfu' ini bisa Muthasil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.
v  Hadist Mauquf adalah segala sesuatu yang diriwayatkan atau dihubungkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, disebut hadist mauquf, dan sanad hadits mauquf tersebut boleh jadi muttashil atau munqathi
v  Hadist Maghtu’ adalah Sesuatu yang disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan. Hadits Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementar munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.

11.  Jelaskan apa yang dimaksud dengan Hadist Shahih, Hasan, Dha’if dan maudhu’ ?
Pembahasan :
v  Hadist Shahih adalah Kata “shahih” berasal dari bahasa Arab, as-shahih, bentuk jamaknya asshiha’ dan berakar pada kata shahaha, dari segi bahasa kata ini memiliki beberapa arti, diantaranya yaitu selamat dari penyakit, bebas dari a’ib atau cacat. Sedangkan secara istilah yaitu : " Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat".
v  Hadist Hasan adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu: “Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”.
v  Hadist Dha’if adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu “ Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”.
v  Hadist Maudhu’ adalah yang secara bahasa berarti menyimpan, mengada-ngada atau membuat-buat. Menurut istilah hadist maudhu’ adalah Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan dan memperbuatnya.

12.  Sebutkan dan jelaskan syarat-syarat hadist shahih dan berikan salah satu contoh hadist shahih, hadist hasan, dan hadist dha’if ?

Pembahasan :

Syarat-syarat hadist shahih yaitu :
v  Sanadnya bersambung, maksudya adalah setiap rawi dari suatu riwayat hadits berajar atau bertemu langsung dari mulai awal sanad sampai akhir.
v  Rawinya adil, maksudnya adalah setiap rawi dari suatu riwayat hadits disifati sebagai muslim, baligh, berakal (sehat), bukan orang fasiq dan bukan pula Makhrumul Muruah.
v  Rawinya dhobit, maksudnya adalah setiap rawi dari suatu periwayatan hadits itu memiliki hafalan yang kuat, baik dalam hafalan berupa penalaran dan tulisan.
v  Tidak Syadz, maksudnya adalah suatu hadits yang tsiqat menyelisihi hadits yang lebih tsiqat dariya.
v  Tidak ada 'Illat (cacat), maksudnya adalah suatu hadits yang samar yang meyebutkan cacat terhadap keshahihan hadits tersebut bersamaan secara dzohir itu bebas dari cacat.
contoh hadits shahih adalah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)
" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ..... الحديث "
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
Contoh hadits dhaif adalah sebagai berikut ;
مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : " مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ "
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
13.  Jelaskan apa yang di maksud dengan hadist mutawatir dan hadist Ahad ?
Pembahasan :
v  Hadist mutawatir Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawaatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.
v  Hadist Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”.  Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir”.
14.  Sebutkan dan jelaskan pembagian (macam-macam) hadist Mutawatir ?
Pembahasan :
1.    Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknanya mutawatir. Misalnya hadits : {من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار} ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
2.    Mutawatir Ma’nawy adalah maknanya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.  Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
15.  Sebutkan syarat-syarat hadist yang di katakan sebagai hadist mutawatir ?
Pembahasan :
v  Diriwayatkan oleh banyak orang, ada beberpa perbedaan pendapat tentang jumlah terkecil dari periwayat hadits mutawatir, namun menurut qoul mukhtar, jumlah terkecil untuk periwayat hadits ini adalah sepuluh orang.
v   Syarat banyaknya periwayat ini harus ditemukan dalam setiap tingkatan, maksudnya, di setiap tingkat periwayatannya harus diriwayatkan minimal oleh sepuluh orang perawi (sebagai bilangan terkecil ).
v  Dapat dipastikan para perawi hadits atau khabar tersebut mustahil mengadakan suatu kebohongan.
v  Sandaran penyampaian mereka adalah panca indera bukan akal, seperti ucapan mereka, “kami telah mendengar, kami telah melihat, kami telah menyentuh”, adapaun jika hadits mereka tersandar pada akal, seperti ucapan tentang bahrunya alam, maka hadits atau khabar tersebut tidak dapat dikatakan mutawatir.

16.  Jelaskan kedudukan Hadist(Al-sunnah) terhadap Tasyri’ ?
Pembahasan :

Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hokum kedua setelah al-Qur`an. Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasul Saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS. 16:44). Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum muslimin. Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hokum didasarkan juga kepada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.

                 Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa hadits merupakan sumber hokum dalam Islam adalah sebagai berikut :

Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ … (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”

Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada hadits Rasulullah Saw. Hal ini juga ditegaskan oleh Syaikh al-Albani bahwa syari’at Islam bukan hanya al-Qur’an saja, melainkan juga as-Sunnah. Barangsiapa hanya berpegang pada salah satunya, maka berarti sama dengan tidak berpegang dengan keduanya, karena Al-Qur’an memerintahkan untuk berpegang dengan as-Sunnah demikian pula sebaliknya.

17.  Jelaskan kedudukan dan fungsi Al-sunnah (hadist) Hadist terhadap Al-Qur’an ?
Pembahasan :
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah. Kitab al-Qur’an adalah sebagai penyempurna dari kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan sebelumnya. Dalam al-Qur’an terkandung petunjuk dan aturan berbagai aspek kehidupan manusia. Ayat-ayat Makkiyyah misalnya banyak berbicara tentang persoalan tauhid, keimanan, kisah para nabi dan rasul terdahulu, dan lain sebagainya. Sementara ayat-ayat Madaniayah banyak menjelaskan tentang ibadah, muamalah, hudud, jihad, dan lain sebagainya. Secara umum kandungan al-Qur’an dapat dibagi kepada tiga hal pokok, yaitu prinsip-prinsip akidah, seperti beriman kepada Allah Swt, rasul-rasulnya dan lain-lain, prinsip-prinsip ibadah, seperti sholat, puasa dan lain-lain, prinsip-prinsip syariat, seperti hukum perkawinan, kewarisan dan lain-lain. Fungsi hadis terhadap al qur’an adalah sebagai berikut :
1.      Bayan al-Tafshil
Merinci ke-mujmal-an (global)n al-Qur’an, sehingga dapat dipahami umat islam. Contoh : perintah melaksanakan sholat, berzakat, haji dll. Yang mana teknik oprasionalnya tidak ada dalam al-Qur’an.
2.      Bayan al-Ta’kid
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Jadi hadis mengulangi apa yang dikatakan al-Qur’an sebagai penguat.Contoh : dalam QS. an-Nisa’: 29 “Hai orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan bathil yang juga di jelaskan sebagai penguat oleh Nabi ,Tidak halal harta seorang muslim, kecuali (hasil dari pekerjaan) yang baik dari dirinya sendiri”. (HR. Ahmad)
3.      Bayan al-Muthlaq atau Bayan al-Taqyid
Memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat yang disebutkan secara muthlak. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Nisa’: 7 yang secara umum menjelaskan bahwa anak laki-laki dan perempuan adalah ahli waris bagi dari orang tua nya yang telah meninggal dunia. Ayat tersebut bersifat muthlak (umum), yang kemudian Nabi memberikan qayyid (batasan), bahwa hak waris itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang menjadi penyebab kematian orang tuanya.
4.      Bayan al-Takhsis
   Mengkhususkan lafadz-lafadz di dalam al-Qur’;an yang masih bersifat umum (amm). Contoh : firman Allah dalam QS. Al-Nisa’:24 yang menjelaskan tentang keharaman menikahi wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang dimiliki, dan kehalalan pernikahan dari yang tertera dalam QS. Al-Nisa’:24 tersebut. Nabi mentakhsis dengan mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah.
5.      Bayan al-Tasyri’
Menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara jelas. Contoh : dalam QS. Al-Maidah: 3 tentang keharaman bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah. Kemudia Nabi menambahkan penjelas dari ayat tersebut, bahwa binatang buas yang bertaring dan burung yang kukunya mencengkram karena saking tajamnya.
6.      Bayan al-Naskh
Menghapuskan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Fungsi yang demikian ini adalah bagi mereka yang berpendapat bahwa hadis dapat me-nasakh al-Qur’an, walaupun pendapat seperti ini agak berlebihan. Contoh : “La wasiyaata li waritsin” dalah me-nasakh hukum bolehnya wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat sebagaimana QS. al-Baqarah: 180

18.  Coba anda jelaskan langkah-langkah memahami hadist di lihat dari segi risalah (Esensi Sunnah)?
Pembahasan :
Esensi berasal dari kata esse yang berarti "adalah" atau "ada" persamaan maksudnya lebih dekat dengan kata makna, arti atau menafikan tradisi dengan lebih menekankan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.Jadi, yang dimaksud dengan esensi hadits adalah mengambil hikmah, nilai-nilai filosofis sangat dalam yang terkandung dari suatu hadits Nabi Muhammad SAW tidak hanya terikat pada teksnya . Maka salah satu caranya ialah memahami hadits berdasarkan asbabul wurud maksudnya mengkaji hadits melihat keadaan Nabi Muhammad SAW pada saat mengeluarkan hadits tersebut dan kondisi masyarakat secara umum termasuk juga dalam pembahasan ini meliputi sebab-sebab munculnya hadits (asbabul wurud) . Jadi, ketika kita memahmi sebuah hadits tidak terlepas dari teksnya saja, tetapi lebih jauh dari itu semua melihat sisi makna lafadz, kondisi masyarakat, latar belakang pada saat Rasulullah SAW mengungkapkan hadits ini serta meneliti keshohehan perjalan periwayatan hadits dari masa Rasulullah SAW sampai kepada kita masa kini.

19.  Coba anda jelaskan cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah ?
Pembahasan :
1. Al-Jam’u wa al-Taufiq
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut, sekalipun dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqh yang dikemukakan Hanafiyyah di atas yaitu “mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu di antaranya.” Mengamalkan kedua dalil, sekalipun dari satu segi, menurut mereka ada tiga cara, yaitu:
a. Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka dilakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya. Apabila dua orang saling menyatakan bahwa rumah “A” adalah miliknya, maka kedua pernyataan itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan tetapi, karena barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.
b. Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, seperti sabda Rasulullah saw, yang menyatakan:
لا صلاة لجار المسجدالا فى المسجد (رواه أبو داود و أحمد بن حنبل)
Tidak (dinamakan) shalat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid. (H.R. Abu Daud dan Ahmad Ibn Hanbal)
Dalam hadits ini ada kata “la” yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak, yaitu bisa berarti “tidak sah”, bisa berarti “tidak sempurna” dan bisa berarti “tidak utama.” Oleh karena itu, seorang mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.
c. Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus ‘iddah bagi wanita hamil, atau kasus persaksian yang terdapat dalam hadits. Surat al-Baqarah, 2:234 bersifat umum dan surat al-Thalaq, 65:4 bersifat khusus, maka dari satu sisi ‘iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq, 65:4. Ulama Hanafiyyah menempuh cara ini dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.
2. Tarjih
Apabila pengkompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara tarjih yang dikemukakan para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan berbagai cara. Umpamanya, dengan men-tarjih dalil yang lebih banyak diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sedikit, bisa juga melalui pen-tarjih-an sanad (para penutur hadits), bisa melalui pen-tarjih-an dari sisi matan (lafal hadits), atau di-tarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash.
3. Naskh
Apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Rasulullah saw.:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها ( رواه مسلم )
Adalah saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahlah (H.R. Muslim)
Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah dibolehkan menziarahi kubur, karena ‘illat (motivasi) larangan dilihat Nabi saw. tidak ada lagi.
4. Tasaquth al-Dalilain
Apabila cara ketiga, yaitu naskh pun tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut.
Menurut ulama syafi’iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.
20.  Apa yang menyebabkan adanya perbedaan para sahabat dalam menerima hadist dan bagaimana cara para sahabat dalam meriwayatkan Hadist ?

Pembahasan :
            Yang menyebabkan adanya perbedaan para sahabat dalam menerima hadist yaitu :
1.      As-Sabiqun al-awalun (yang mula-mula masuk islam). Seperti Abubakar, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari nabi Muhammad Rasulullaah SAW, karena lebih awal masuk dari sahabat-sahabat lain.
2.      Ummahad Al-Mukminin (isteri-isteri rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka lebih dekat denga Rasulullah SAW dari pada isteri lainnya. Hadits-hadits yang diterima kebanyakan berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami-isteri.
3.      Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW dan juga menuliskan hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Bin Amr Al-As.
4.      Sahabat yang tidak lama bersama Rasulullah SAW, tetapi banyak bertanya kepada sahabat lainnya dengan sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah.
5.      Para sahabat yang sungguh-sungguh mengikuti majelis Rasulullah SAW dan banyak bertanya kepada lain dan dari sudut usia mereka hidup lebih lama dari wafatnya Rasulullah SAW.

                 Ada dua jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Pertama, dengan jalan periwayatan lafzhi, kedua adalah periwayatan maknawi.

·         Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW, ini hanya bisa dilakukan apabila mereka benar, benar aeperti lafaz hadis yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.
·         .Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matanya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

moon_light_black_ant mengatakan...

sukaaaa..... :)

Unknown mengatakan...

jazakallah khoiron sangat bermanfaat

Posting Komentar