MASLAHAH MURSALAH
Pengertian Maslahah Mursalah
Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan ( yang mutlak) sedangkan
menurut ahli ushul fiqh adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak
mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada
dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan
hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan
berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan
atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus
yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.
Macam-macam
Maslahah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah,
para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa macam maslahah yaitu :
a. Mashlahah
al-Mu'tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara'.
Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut. Misalnya terkait alat yang digunakan sebagai hukuman atas orang yang
meminum minuman keras dalam hadits Rasulullah saw hukuman bagi pencuri
dengankeharusan mengembalikan barang curiannya, jika masih utuh, atau mengganti
dengan yang sama nilainya, apabila barang yang dicuri telah habis. Contoh lain maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan
(juga maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga
agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh
untuk menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sebatan kepada peminum arak
untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga
harta.
b. Mashlahah
al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara',
karena bertentangan dengan ketentuan syara'. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya. Contoh lain terkait dengan hukuman Penguasa Sepanyol yang melakukan hubungan seksual di bulan Ramadhan dengan mendahulukan berpuasa dua bulan berturut-
turut dan memberi makan fakir miskin 60 orang disbanding memerdekakan budak, oleh Al-Laits Ibn Sa'ad (94-175 H/ Ahli fiqh Maliki di Spanyol).
karena bertentangan dengan ketentuan syara'. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya. Contoh lain terkait dengan hukuman Penguasa Sepanyol yang melakukan hubungan seksual di bulan Ramadhan dengan mendahulukan berpuasa dua bulan berturut-
turut dan memberi makan fakir miskin 60 orang disbanding memerdekakan budak, oleh Al-Laits Ibn Sa'ad (94-175 H/ Ahli fiqh Maliki di Spanyol).
c. Mashlahah
al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak
didukung syara' dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara' melalui dalil
yang rinci. Contoh bagi maslahah ini
adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an,
hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku
agama. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :
(1).Mashlahah
al-Gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama
sekali tidak ada dukungan dari syara', baik secara rinci mapun secara umum. Para ulama ushul fiqh (masa itu) tidak dapat menemukan
contoh pastinya. Bahkan
Imam as-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada alam teori.
Imam as-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada alam teori.
(2).Mashlahah
al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara'
atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash
(ayat atau hadist).
atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash
(ayat atau hadist).
Para ulama tentang Maslahah Mursalah
v
Pandangan Ulama Malikiyah
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak
dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah menjadi dalil, ulama
Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
1.
Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah
mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa
mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang
mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak
hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya
kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).
2.
Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan
maqosid as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena
merupakan sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
3.
Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus
yang jelas mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf akan mengalami
kesulitan, Allah berfirman:
Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama suatu
kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78).
Demikianlah
alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah. Sedangkan dari
golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber
hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan
pendapatnya dengan beberapa alasan:
1.
Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi
kesakralitasan hukum-hukum syariat.
2.
Posisi maslahah mursalah berada dalam pertengahan
penolakan syara’ dan pengukuhannya pada sebagian yang lain.
3.
Penerapan maslahah mursalah akan merusak unitas dan
universalitas syariat islam.
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath huukum dengan alasan:
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath huukum dengan alasan:
v
Hasil induksi terhadap ayat atau hadits
menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
v
Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi
perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam
terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
v Pandangan
Ulama Al- Tuhvi
Najm al-Din al-Thufi (675-716 H /
1276-1316 M),
sebagaimana dikutip Musthafa Zaid berpendapat bahwa menurut al-Thufi, al-mashlahah
al-mursalah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang
kuat dalam menetapkan hukum syara', baik mashlahah itu mendapat dukungan dari
syara' maupun tidak. Karenanya ia tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana
yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas.
Di antara pemikiran at-Thufi yang
amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh tentang konsep mashlahah
bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi :
Tidak
boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)
Menurutnya,
inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah mashlahah
bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyari'atkan
dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik
oleh nash tertentu maupun oleh makna yang terkandung dalam oleh sejumlah
nash. Oleh karena itu, mashlahah menurutnya merupakan dalil yang
paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum
syara'.
Menurut
at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya.
At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai berikut;
1. akal
manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahatdan mana mafsadat. Karena
akal manusia dapat membedakan mana maslahat danmana yang mafsadat maka;
2. maslahat
menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nass.
3. lapangan
operasional maslahat, hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada bidang
ibadah dan muqoddarod.
4. maslahat merupakan dalil hukum Islam yang
paling kuat, karena itu menurut at-Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika
tidak ada nass dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas nass dan ijma’
ketika terjadi pertentangan di antara keduanya. Menurut Ahmad Munif
Surtmaputra, engutamaan maslahat atas nass dan ijma’ tersebut dilakukan oleh
at-Tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nass,
sebagaimana mendahulukan as-Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan bayan.
0 komentar:
Posting Komentar