Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Makalah Sejarah Perkembangan Hadist


Daftar Pustaka


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.

B.     Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Rasulullah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Khulafa' al-Rasyidin?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada Masa Tabi'in?



BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

Periode I

1.1         HADIS PADA  MASA  RASUL SAW ( dari 13  S.H.-11H) (610M-632 M)

Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakan-nya dengan masa lainnya. Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasul SAW sebagai 'sumber hadis. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan al-Quran dan mengutus Nabi Muham­mad SAW sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.
Artinya : tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang dwahyukan (kepadanya). (QS Al-Najm (53): 3-4)
Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam banyak kesempatan. Ternpat yang biasa digunakan Rasul SAW cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada di rumah).2
Melalui tempat-tempat tersebut Rasul SAW menyampai-kan hadis, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terka­dang melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikannya oleh mereka (melalui musydhadah).
Menurut riwayat Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, se-hingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengaji-annya.

1.2         Cara Rasul SA W Menyampaikan Hadis


Ada beberapa cara Rasul SAW menyampaikan hadis ke-pada para sahabat, yaitu:

v  Pertama, melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAW.Para sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti ke­giatan di majlis ini, ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang di antara mereka bergantian hadir, seperti yang dilaku-kan oleh Umar ibn Khattab. la sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari bani Umayah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. la berkata: "Kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, demikian aku melakukannya."3 Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudi-an mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
v  Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga me-nyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemu-dian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terka-dang ketika ia mewiirudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadis-hadis yang ditulis oleh Abdullah ibn Amr ibn Al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyang-kut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui istri-istrinya.
v  Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasul SAW adalah mela­lui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' danfutuh Makkah.

1.3         Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis.

Di antara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal yaitu
v  Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul SAW.
v   Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan ber­tanya kepada sahabat lain.
v  ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul SAW.

1.4         Para sahabat yang banyak menerima Hadist dari Nabi.

Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
v  Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sdbiqun Al-Awwaliin (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Mas'ud. Mereka banyak menerima hadis dari Rasul SAW, karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
v  Ummahdt Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya, banyak yang berkaitan de­ngan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
v  Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul SAW juga menuliskan hadis-hadis yang diterimanya, se­perti Abdullah Amr ibn Al-'Ash.
v  Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
v  Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas[1].
Lantaran inilah masruq berkata,” saya banyak berada semajelis dengan para sahabat. Maka ada diantara mereka yang saya dapati ibarat kolam kecil, hanya mencukupi buat minum seorang, ada yang mencukupi buat dua orang dan ada yang tidak kering-kering airnya, walaupun terus menerus diminum oleh penduduk bumi ini[2].

1.5          perbedaan- perbedaan perhatian dan sebab tidak membukukan hadist :

 Boleh jadi, perbedaan-perbedaan perhatian dan tidak mcmbukukan hadits disebabkan oleh faktor-faktor ini:
a. mentadwinkan ucapan-ucapannya, amalan-amalannya, mu'amalah-mu'amalahnya adalah satu keadaan yang sukar, karena mcmcrlukan adanya segolongan sahabat yang terus-menerus hams menyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut di atas padahal orang-orang yang dapat menulis pada masa itu, masih dapat dihitung.
Oleh karena Al Qur'an merupakan sumber asasi dari tasyri1, maka beberapa orang penulis itu, dikerahkan tenaganya untuk menulis Al Qur'an dan Nabi memanggil mereka untuk menuliskan wahyu itu setiap turunnya.
b. Karena orang Arab - disebabkan mereka lak pandai menulis dan membaca tulisan - kuat berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mereka ingin menghafalnya.
Mempergunakan waktu untuk mcnghafal Al Qur'an yang di-turunkan dengan berangsur-angsur itu adalah suatu hal yang mudah bagi mereka, tidaklah demikian terhadap Al Hadits.
c. Karena dikawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan Al Qur'an dengan tidak disengaja.
Karena itu Nabi SAW. melarang mereka menulis hadits, beliau khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi[3].

Hadist atau sunnah nabi tidak ditulis seperti Al-Qur’an, karena ada larangan nabi saw, yang khawatir andaikan campur dengan Al-Qur’an, disamping umumnya para sahabat mengandalkan pada kekuatan hafalan, dan juga karena kekurangan tenaga penulis dikalangan mereka. Namun demkian ada juga sahabat yang menulisnya tidak secara resmi, melainkan atas inisiatif sendiri seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin amr bin ash dalam sebuah shahiffah yang diberi nama Ash – shadiqah. Setelah Al-Qur’an dibukukan ditulis dengan sempurna serta lengkap pula turunnya, barulah izin penulisan hadist pun dikeluarkan.


Periode II

2           MASA KHULAFA RASYIDIN – MASA MEMBATASI RIWAYAT (11-40 H) (tahun 11 H / 632 M)

Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafd' Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, maka periwa-yatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya ber-usaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama anggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan Periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).

2.1         menjaga pesan Rasulullah SAW.

Pada masa menjelang akhir kerasulannya, rasulullah SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada AL-Qur’an dan Hadist serta mengajarkannya kepada orang lain,  sebagaimana sabdanya :

Artinya : telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah  berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnahku ( al- hadist ).



Artinya : samapaikanlah daripadaku, walaupun hanya seayat.

2.2         Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis


Perhatian para sahabat pada masa ini terutama sekali terfo-kus pada usaha memelihara dan menyebarkan al-Quran. Ini ter-lihat bagaimana al-Quran dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar ibn Khattab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman ibn Affan, sehingga melahirkan Mushaf Usmani-Satu disimpan di Madinah yang dinamai mushaf al-lmam, dan yang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah, Bashrah, Syiria dan Kufah. Sikap memusatkan perhatian terhadap al-Quran tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya yang diterimanya dari Rasul SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang di-lakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri' setelah al-Quran, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana al-Quran. Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafa' al-rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan AH) dan sahabat lainnya, seperti Al-Zubaif, Ibn Ab­bas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.
Dapat disimpulkan , bahwa pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya al-Quran. Hal ini disebabkan agar tidak memaling-kan perhatian atau kekhususan mereka (umat Islam) dalam mempelajari al-Quran. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW sudah tersebar ke berba-gai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka secara leng-kap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadis, di ka-langan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz, dan kesahihannya[4].

2.3         Hadist di masa Abu Bakr dan ‘Umar.

Para sahabat sesudah Rasul wafat tidak lagi berdiam di kota madinah. Maka penduduk kota-kota lain pun mulai menerima hadist. Para tabi’in mempelajari hadist dari para sahabat Dengan demikian mulailah berkembang riwayat dalam kalangan tabi'in.
Dalam pada itu, riwayat hadits di permulaan masa sahabat itu, masih terbatas sekali. Disampaikan kepada yang memerlukan saja dan bila pcrlu saja, belum bersifat pelajaran.
Perkembangan hadits dan membanyakkan riwayatnya, terjadi scsudah masa Abu Bakr dan 'Umar, yaitu masa 'Utsman dan 'Ali.
Dalam masa khalifah-khalifah Abu Bakr dan 'Umar, periwayatan hadits belum lagi diluaskan. Beliau-beliau ini mengerahkan minat ummat (sahabat) untuk menyebarkan Al Qur'an dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu.

2.4         Sebab-sebab pada masa Abu Bakr dan 'Umar hadits tidak tersebar dengan pesat

Dengan tegas-tegas sejarah menerangkan bahwa 'Umar diketika memegang tampuk kekhalifahan meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang membanyakkan periwayatan hadits. Diketika mengutus perutusan ke Iraq, beliau mewasial-kan supaya utusan-utusan itu mengembangkan Al Qur'an dan mengembang­kan kebagusan tajwidnya, serta mencegah mereka membanyakkan riwayat.
Diterangkan bahwa, pernah orang bertanya kepada Abu Hurairah apakah dia banyak meriwayatkan hadits di masa 'Umar. Abu Hurairah menjawab : "Sekiranya saya membanyakkan, tentulah 'Umar afcan mencambuk saya dengan cambuknya".'
Satu soal yang harus kita bahas dengan seksama ialah soal 'Umar mencegah penyebaran hadits. Apakah 'Umar pernah memenjarakan bebcrapa orang sahabat lanlaran membanyakkan riwayat?
Ada didakwa oleh sebagian ahli sejarah hadits, bahwa 'Umar pernah memenjarakan Ibnu Mas'ud, Abu Darda' dan Abu Dzar lantaran membanyakkan riwayat hadits.
Riwayat ini sebenarnya tidak didapati di dalam sesuatu kitab yang mu'tabar dan tanda kepalsuan pun nampak.
Ibnu Mas'ud seorang yang terhadulu masuk Islam dan seorang yang dihormati 'Umar. Dan sudah dimaklumi bahwa dalam urusan hukum, diperlukan hadits-hadits. Mengenai Abu Darda' dan Abu Dzar, sejarah tidak memasukkan beliau ke dalam golongan orang yang membanyakkan riwayat. Abu Darda1 diakui menjadi guru di Syria, sedangkan Ibnu Mas'ud menjadi guru di Iraq. Ibnu Hazm telah menegaskan bahwa riwayat 'Umar memenjarakan tiga shahaby besar itu, dusta.

2.5          Cara-cara para sahabat meriwayatkan hadits

Cara sahabat-sahabat Nabi meriwayatkan hadits ada dua :
a.   Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b.   Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW.
Memang mereka meriwayatkan hadits adakala dengan maknanya saja.
Yang penting dari hadits ialah isi. Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.

2.6         Syarat-syarat yang ditetapkan Abu Bakr, 'Ustman dan 'All, ketika menerima hadits

Umum sahabat tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadits dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tak dapat diingkari, bahwa sahabat itu sangat berhati-hati dalam menerima hadits.
Diperoleh beberapa atsar bahwa Abu Bakr r.a. dan 'Umar r.a. tidak menerima hadits jika tidak disaksikan benarnya oleh scseorang lain, seperti yang diriwayatkan oleh Adz Dzahaby dalam Tadzkuratul Huffadh. '
Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa AH r.a. tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.
Di samping itu diperoleh pula beberapa atsar bahwa beliau-beliau itu menerima juga hadits-hadits dengan riwayat seorang saja, tidak memtrlukan seorang saksi dan tidak disumpah.
Asy Syafi'y dalam Ar Risalah, As Sayuthy dalam Miftahul-Jannah, Ibnu Hazm dalam Al Ihkam. Syaikhul Islam Syubair Ahmad Al Utsmany dalam Fathul-Mulhim syarah Muslim menerangkan riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa beliau-beliau itu (Abu Bakr dan 'Umar) menerima riwayat orang seorang.
Maka menurut pendapat kami meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan, hanya merupakan jalan untuk meyakinkan dalam menerima yang diberitakan itu. Maka jika dirasakan tak perlu meminta saksi, atau sumpah para perawi, dapatlah kita terus menerima riwayatnya.
Ringkasnya, meminta seorang saksi atau menyuruh perawi bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dapat dipandang suatu undang-undang umum dalam menerima hadits. Yang perlu dalam menerima hadits, kepercayaan yang penuh kepada perawi. Jika kita pada sesuatu waktu ragu tentang riwayatnya, kita boleh meminta dia mendatangkan saksi, atau kita Sunih dia bersumpah.

Ibnu Uyainah Ibrahim ibn Isma'il dan segolongan Ahli Nadhar sepeiti Abu All Al Jubba-y dan mereka yang mengikutinya mcnetapkan bahwa diriwayatkan oleh dua orang itu syarat untuk menshahihkan hadits. Mereka berdalil, dengan riwayat Ibnu Syihab Az Zuhry bahwa Abu Bakr meminta saksi kepada Mughirah yang menerangkan bahwa nenek perempuan mendapat seperenam, yang kemudian disaksikan oleh Muhammad ibn Salamah. Dan dengan riwayat yang menerangkan bahwa 'Umar meminta saksi kepada Abu Sa'id untuk membenarkan riwayatnya yang kemudian disaksikan oleh seorang shahaby. Dan mereka mengqiyaskan riwayat kepada pensaksian.
Sebagian ahli hadits mereka berkata, hadits fard, munkar dan syad.

2.7         Hadits di masa Utsman dan 'Ali         

Di ketika kendali pemerintahan dipegang oleh 'Utsman r.a. dan dibuka pintu perlawatan kepada para sahabat serta ummat mulai mcmcrlukan sahabat, istimewa sahabat-sahabat kecil, bergeraklah sahabat-sahabat kecil mengumpulkan hadits dari sahabat-sahabat besar dan mulailah mereka meninggalkan tempat untuk mencari hadits.

2.7.1                     Sebab-sebab para sahabat tidak membukukan hadits dan    mengumpulkannya dalam sebuah buku


Kata Asy Syaikh Abu Bakr Ash Shiqilly dalam Fawaidnya menurut riwayat Ibnu Basykual, "Sebenarnya para sahabat tidak mengumpulkan sunnah-sunnah Rasulullah dalam sebuah mushhaf sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al Qur'an, karena sunnah-sunnah itu telah terscbar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dihafal dari yang tidak. Karena itu, ahli-ahli sunnah menyerahkan perihal penukilan hadits kepada hafalan-hafalan mereka saja, tidak sebagai Al Qur'an yang tidak mereka serahka penukilannya kepada secara demikian.
sebagaimana Allah telah menjaga Al Qur'an dengan nadhamnya yang pa­ling indah yang tak dapat diciptakan yang sepertinya oleh manusia.
Mengenai pengumpulan Al Qur'an para sahabat bersatu. Mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraan mereka berselisih. Karena itu, tidaklah sah mereka mentadwinkan yang mereka perselisihkan itu.
Sekiranya mereka sanggup menulis sunnah-sunnah Nabi sebagaimana mereka telah sanggup menulis Al Qur'an, tentulah mereka telah me­ngumpulkan sunnah-sunnah itu. Mereka takut, jika mereka tadwinkan apa yang tidak mereka perselisihkan saja, akan dijadikanlah apa yang dibukukan itu, pegangan yang kuat, serta ditolak apa yang tidak masuk ke dalam buku itu. Dengan demikian tertolaklah banyak sunnah.
Para sahabat membuka jalan mencari hadits kepada ummat sendiri. Masing-masing mereka mengumpulkan sekedar kesanggupannya. Dengan demikian pula tersusunlah segala sunnah.
Lantaran itu, ada yang dapat dinukilkan hakikat lafal yang diterima dari Rasul dan sunnah-sunnah yang sejahtera dari 'illah, ada yang hanya dihafal maknanya, telah dilupakan lafalnya dan ada yang berselisihan riwayat dalam menukilkan lafal-lafalnya dan berselisihan pula perawinya tentang kepercayaan dan keadilan pemberitanya.
Itulah sunnah-sunnah yang dimasuki 'illah.
Maka telah dipilih mana yang shahih dari yang tidak oleh ulama-ulama yang ahli, berdasarkan kepada dasar-dasar yang shahih dan sendi-sendi yang kuat yang tak dapat dicacatkan lagi oleh seseorang pencacat, atau dilemah-kannya.


Periode III

3           MASA SAHABAT KECIL DAN TABI’IN BESAR. (41 H - akhir  abad 1 H)

3.1           Masa berkembang dan meluas periwayatan hadits

Sesudah masa 'Utsman dan 'Ali timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya ke dalam masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-pcrlawatan untuk mencari hadits.
Pada tahun 17 H tentara Islam mengalahkan Syria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara Islam sampai di Samarkand. Pada tahun 93 H tentara Islam menaklukkan Spanyol.
Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Karenanya kola-kola itu merupakan perguruan tempat mengajarkan Al Qur'an dan Al Hadits, tempat mengeluarkan sarjana-sarjana tabi'in hadits.

3.2          Lawatan para sahabat untuk mencari hadits

Menurut riwayat Al Bukhary, Ahmad, Ath Thabarany dan Al Baihaqy, Jabir pernah pergi ke Syam, melakukan perlawatan sebulan lamanya, untuk menanyakan sebuah hadits yang belum pernah didengarnya, pada seseorang shahaby yang tinggal di Syam, yaitu Abdullah ibn Unais Al Anshary.
Hadils yang dimaksudkan oleh Jabir ilu, ialah sabda Nabi SAW. :

"Manusia dikumpulkan pada hari kiamat, telarijang tidak berkain, henvama hitatn. Kami berkata, (demikian kata sahabat) mengapa mereka demikian? Nabi menjawab: tak ada beserta mereka sesuatu. Mereka diseru oleh sesuatu seruan yang didengar oleh orang yang jauh sebagai yang didengar oleh orang yang dekat. Seruan itu ialah Aku raja, Aku Tuhan yang akan memberi pembalasan. Tidak seyogyianya bagi seseorang dari ahli neraka akan masuk ke neraka, sedang adapadanya hak seseorang yang dianiaya sehingga aku tuntut penganiayaan itu daripadanya. Dan tidak seyogyanya bagi seseorang ahli syurga akan masuk ke dalam syurga padahal ada seseorang ahli neraka yang menuntut haknya yang dianiaya olehnya, sehingga Aku tuntut bela terhadapnya, walau sebuah tamparan. Kami berkata, betapa kami datang kepada Allah dalam keadaan telanjang tidak berpakaian dan berwarna hitamjawab Nabi: dengan kebajikan dan kejahatan ". l
Abul Aiyub Al Anshary pernah pergi ke Mesir untuk menemui q * ftnu Am^r untuk menanyakan sebuah hadits kepadanya[5].
Dengan masuknya hadits ke dalam phase ini, mulailah dia disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna. Memang mulailah diberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat olch para tabi'in. Para tabi'in berusaha menjumpai para sahabat ke tempal-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan mereka sebelum mereka berpulang ke Ar Rafiqul Ala. Kunjungan seseorang shahaby ke sebuah kota, sungguh menarik perhatian para tabi'in. Mereka, sebaik mengetahui kedatangan seseorang shahaby, berhimpun di sekitarnya untuk menerima hadits yang ada pada shahaby itu.

3.3         Sahabat-sahabat yang mendapat  julukan "bendaharawan hadits"

Dalam phase ini terkenallah beberapa orang sahabat dengan julukan "bendaharawan hadits", yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits.
Mereka memperoleh riwayat-riwayat yang banyak itu karena:
a.   Yang paling awal masuk Islam, seperti: Khulafa Rasyidin dan Abdullah ibn Mas'ud.
b.  Terus menerus mendampingi Nabi dan kuat hafalan, seperti: Abu Hurairah.
c.   Menerima riwayat dari setengah sahabat selain mendengar dari Nabi dan panjang pula umurnya, seperti: Anas ibn Malik, walaupun beliau masuk Islam sesudah Nabi menetap di Madinah.
d.  Lama menyertai Nabi dan mengetahui keadaan-keadaan Nabi.
karena bergaul rapat dengan Nabi, seperti: isteri-isteri beliau 'Aisyah dan Ummu Salamah.
e.   Berusaha mencatatkannya seperti: Abdullah ibn Amer ibn 'Ash.
Di antara sahabat yang membanyakkan riwayat, ialah:
a.   Abu Hurairah.
Beliau ini seorang yarig banyak sekali menghafal hadits dari Nabi dan bersungguh-sungguh berusaha mengembangkannya di kalangan ummat, sesudah 'Umar r.a. wafat. Karena itu, Abu Hurairah menjadi seorang perawi shahaby yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Menurut keterangan Ibnu Jauzy dalam Talqih Fuhumi Ahtol Atsar, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sejumlah 5347 buah.
Menurut hitungan Al Kirmany 5364 buah.                        
(Dalam Musnad Ahmad terdapat 3848 buah)                   
b.   'Aisyah, isteri Rasul.                                           
c.   Anas ibn Malik.                           
d.   Abdullah ibn Abbas.       
e.  Abdullah ibn'Umar.                                                               
f.   JabiribnAbdillah.                                                                                               
g.   Abu Sa'id al Khudry.                                                                                       
h.   IbnuMas'ud.                                                                                                       
i.   Abdullah ibn Amer ibn'Ash

Abdullah ibn Abbas bersungguh-sungguh benar menanyakan hadits kepada para sahabat, lalu mengembangkannya. Di kala pemalsuan hadits mulai tumbuh, barulah Ibn Abbas menyedikitkan riwayatnya. Menurut perhitungan sebagian ahli hadits para sahabat penghal'al hadits yang paling banyak haf'alannya sesudah Abu Hurairah, ialah:
a.  Abdullah ibn 'Umar, 2630 hadits.
b.  Anas ibn Malik, 2276 hadits. Menurut Al Kirmany 2236 hadits.
c.  'Aisyah, 2210 hadits.
d.  Abdullah ibn Abbas, 1660 hadits.
e.  Jabiribn Abdullah, 1540 hadits.
f.  Abu Sa'id Al Khudry, 1170 hadits.
Dan Abdullah ibn Amer ibn Ash meriwayatkan hadits dari buku catatan yang dinamai Ash Shadiqah.
Dalam pada itu, ada juga para sahabat yang menyedikitkan riwayatnya, yaitu Az Zubair, Zaid ibn Arqam, Imran ibn Husain.
Az Zubair menyedikitkan riwayat karena takut terjerumus kc dalam kedustaan, sebagaimana diterangkan Al Bukhary dalam kitab Al 'Ilmi dalam ^shahihnya.
Zaid ibn Arqam tidak berani lagi meriwayatkan hadits sesudah usianya lanjut, takut telah banyak yang dilupakannya, seperti yang diterangkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya.
Para tabi'in mengambil hadits dari para sahabat dengan tidak ragu-ragu, dan para sahabat itu mengambil dari sesamanya.

3.4         Tokoh-tokoh hadits dalam kalangan tabi'in

Di antara tokoh-tokoh tabi'in yang masyhur dalam bidang riwayat:
a.   Di Madinah.
Said (93), 'Urwah (94), Abu Bakr ibn Abdu Rahman ibn Al Harits ibn Hisyam (94), Ubaidullah ibn Abdullah ibn Utbah, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Sulaiman ibn Yassar, Al Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr, NaiT, Az Zuhry, Abul Zinad, Kharijah ibn
Abu Salamah ibn Abdir Rih«an ibn Auf. li                              
b.   DiMakkah.                                                     
Ikrimah, Atha ibn Abi Rabah, Abul Zubair,, Muhammad ibn Muslim.
c.   Di Kufah.
Asy Sya'by, Ibrahim An Nakha'y, 'Alqamah An Nakha'y d.   Di Bashrah.
Al Hasan, Muhammad ibn Sirin, Qatadah

e.   Di Syam.
'Umar ibn Abdil Aziz, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul Ka'bul Akbar. f.   Di Mesir.
Abul Khair Martsad ibn Abdullah Al Yaziny, Yazid ibn Habib. g.   Di Yaman.
Thaus ibn Kaisan Al Yamany, Wahab ibn Munabbih (110).

3.5         Pusat-pusat hadits        

Kota- kota y ang menjadi pusat hadjts ialahi
a.   Madinah.
Di antara tokoh-tokoh hadits di kota Madinah dalam kalangan sahabat, ialah Abu Bakr, 'Umar,' Ali (sebelum berpindah ke Kufah), Abu Hurairah, 'Aisyah, Ibnu 'Umar, Abu Sa'id Al Khudry dan Zaid ibn Tsabit.
Di antara sarjana-sarjana tabi'in y ang belajar pada sahabat-sahabat itu, ialah: Sa'id, 'Urwah, Az Zuhry, 'Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah, ibn Mas'ud, Salim ibn Abdullah ibn Umar. Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, Nafi', Abu Bakar ibn Abdir Rahman ibn Al Harits ibn Hisyam dan Abul Zinad.            
b.  Makkah.
Di antara tokoh hadits Makkah ialah Mu'adz, kemudian Ibnu Abbas.
Di antara tabi'in yang belajar padanya, ialah Mujahid, Ikrimah, 'Atha ibn Abi Rabah, Abul Zubair Muhammad ibn Muslim,
c.   Kufah.
Ulama sahabat yang mengembangkan hadits di Kufah ialah: 'Ali, Abdullah ibn Mas'ud, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Sa'id ibn Zaid, Khabbab ibn Al Arat, Salman Al Farisy, Hudzaifah ibnul Yaman, Ammar ibn Yasir, Abu Musa, Al Baraq, Al Mughirah, Al Nu'man, Abul Thufail, Abu Juhaifah dan lain-lain.
Pemimpin besar hadits di Kufah, ialah Abdullah ibn Mas'ud. Padanya belajar Masruq, Ubaidah, Al Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa'id ibn Jubair, Amir ibn Syurahil, Asy Sya'by.
d.   Bashrah.
Pemimpin hadits di Bashrah dari golongan sahabat, ialah: Anas ibn Malik, 'Utbah, 'Imran ibn Husain, Abu Barzah, Ma'qil ibn Yasar, Abu Bakrah, Abdur Rahman ibn Samurah, 'Abdullah ibn Syikhkhir, Jariah ibn Qudamah.
Sarjana-sarjana tabi'in yang belajar pada mereka antara lain, ialah: Abul 'Aliyah, Rafi1 ibn Mihram Al Riyahy, Al Hasan Al Bishry, Muhammad ibn Sirin, Abu Sya'tsa', Jabir ibn Zaid, Qatadah, Mutha-rraf ibn Abdullah ibn Syikhkhir, dan Abu Bardah ibn Abi Musa.
e.   Syam.
Tokoh hadits dari sahabat di Syam ini, ialah Mu'adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamit dan Abu Darda1. Pada bcliau-bcliau itulah banyak tabi'in belajar di antaranya: Abu Idris Al Khaulany, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul, Raja' ibn Haiwah.

f.   Mesir.                                                          
Di antara sahabat yang mengembangkan hadits di Mesir, ialah Abdullah ibn Amer, 'Uqbah ibn Amir, Kharijah ibn Hudzaifah, Abdullah ibn Sa'ad, Mahmiyah ibn Juz, Abdullah ibn Hants, Abu Basyrah, Abu Sa'ad Al Khair, Mu'adz ibn Anas Al Juhary.
Ada kira-kira 140 orang sahabat yang mengembangkan hadits di Mesir.
Di antara tabi'in yang belajar pada mereka, ialah Abul Khair Martsad Al Yaziny dan Yazid ibn Abi Habib.

3.6         Mulai timbul pemalsuan hadits

;                 '                   •
Di antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ini ialah muncul orang-orang yang membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat.
Tahun 40 H batas yang memisahkan antara masa terlepas hadits dari pemalsuan, dengan masa mulai munculnya pemalsuan hadits.
Sejak dari timbul fitnah di akhir masa 'Utsman r.a. ummat Islam pecah menjadi beberapa golongan.
v  Pertama - golongan 'Ali ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan "Syiah".
v  Kedua - golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu'awiyah, dan.
v  Ketiga - golongan Jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya ummat Islam kepada golongan-golongan tersebut, didorong keperluan dan kepentingan golongan, mereka mendatangkan keterangan-hujjah untuk mendukung. Maka bertindaklah mereka membuat hadits-hadits palsu dan menyebarkannya ke dalam masyarakat.
Mulai saat itu terdapatlah di antara riwayat-riwayat yang shahih dan riwayat-riwayat yang palsu. Dan kian hari kian bertambah banyaknya dan beraneka rupa pula.
Mula-mula mereka memalsukan hadits mcngenai pribadi-pribadi orang yang mereka agung-agungkan.
Dan yang mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini ialah golongan Syi'ah sebagai yang diakui sendiri oleh Ibn Abil Hadid, seorang ulama Syi'ah dalam kitabnya Nahyul Balaghah, dia menulis, "Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan Syi'ah sendiri". '
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan Sunnah (jumhur) yang bodoh-bodoh.
Mereka juga membuat hadits untuk mengimbangi hadits-hadits yang dibuat oleh golongan Syi'ah itu.
Maka dengan keterangan ringkas ini nyatalah bahwa kota yang muia-mula mengembangkan hadits-hadits palsu (maudlu') ialah Baghdad (Iraq) (kaum Syi'ah, berpusat di sana).
Imam Az Zuhry berkata, "Hadits ke luar dari kami scjengkal lalu kembali kepada kami dari Iraq, sehasta".
Imam Malik sendiri menamakan Baghdad, pabrik hadits palsu.




PERIODE KEEMPAT (ABAD 2 HIJRIYAH)

Periode ini, disebut: Masa Penulisan dan Pendewanan/Pembukuan Hadits. Periode keempat ini, dimulai pada masa Pemerintahan Amawiyah kedua (mulai Khalifah Umar bin Abdul Aziz) sampai akhir Hijry (menjelang akhir masa dinasti Abbasiyah angkatan per­tama ).

3.7         Permulaan zaman membukukan hadits

Sudah dapat difahamkan bahwa dalam abad pertama Hijrah dari zaman Rasul, masa Khulafa Rasyidin dan sebagian besar zaman Amawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.
Pada masa itu mereka belum terdorong untuk membukukannya. Hafalan mereka terkenal kuat. Diakui sejarah kekuatan hafalan para sahabat dan tabi'in itu.
Di kala kendali khalifah dipegang oleh 'Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 H seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits. Beliaju sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku-buku (dewan-dewan) hadits dari para perawinya, mungkinlah hadits-hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi dibawa bersama oleh para penghafalnya ke alam barzakh.
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 1OO H khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amer ibn Haunin (120 H)' yang menjadi guru Ma'mar, Al Laits, Al Auza'y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dzi'bin supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah binti Abdir Rahman ibn Sa'ad ibn Zurarah ibn 'Ades, seorang ahli fiqih, murid 'Aisyah ra. (20 H = 642 M - 98 H = 716 M atau 106 H = 724 M), dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr Ash Shiddieq (107 H = 725 M), seorang pemuka tabi'y dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.2
'Umar ibn Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakr ibn Hazm, bunyinya:
"Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dan hadits Rasul, lain tulislah karena aku takut akan lenyap iltnu disebabkan meninggalnva ulama dan jangan anda terima selain dari hadits Rasul SAW. dan hendaklah anda tebarkan ilmu dan rnengadakan majlis-majlis ilrnu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap iltnu hingga dijadikannya barang rahasia."
Di samping itu 'Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubcrnur ke serata wilayah yang di bawah kekuasannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu, ialah: Abu Dakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab az Zuhry, seorang tabi'y yang ahli dalam urusan fiqih dan hadits. '
Beliau, guru Malik, Al Auza'y, Ma'mar, Al La'its, Ibnu Ishaq, Ibnu Abi Dzibin.
Inilah ulama besar yang mula-mula membukukan hadits atas anjuran khalifah.
Kitab hadits yang ditulis oleh Ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis atas perintah Kepala Negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan semestinya.
Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah itu, dilakukan oleh Al Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihah Az Zuhry. Yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits di masanya.
Kemudian dari itu berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas As Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah Abbasiyah.
Akan tetapi tak dapat diketahui lagi, yang mula-mula membukukan hadits sesudah Az Zuhry itu, karena ulama-ulama tersebut yang datang sesudah Az Zuhry seluruhnya semasa.
Para pengumpul pertama hadits yang tercatat sejarah adalah;
 a.   Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H = 669 M - 150 H 767 V).
 b.   Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (.... H = 151 M .... H = 768 M).
Atau Ibnu Abi Dzi'bin.
Atau Malik ibn Anas (93 H = 703 M - 179 H = 798 M).
c.   Di kota Bashrah, Al Rabi' ibn Shabih (... H =... M -160 H = 777 M).
Atau Hammad ibn Salamah (176 H).
Atau Sa'id ibn Abi Arubah (156 H = 773 M).    &*&^     r   '&
 d.   Di kufah ,SufyanAtsTsaury(l6\}\).
 e.   Di Syam, AlAuia'y (156 H).
f.   Di Wasith, HusyaimAl Wasithy (104 H = 772 M -188 H = 804 M).
g.   Di Yaman, Ma'marAl Azdy (95 H = 753 M - 153 H = 770 M).
h.   DiRei, Jarir Al Dlabby (110H = 728M-188H = 804M)      
i.   Di Khurasan, IbnMubarak(118 = 735 M - 181 H = 797 M).
j.   Di Mesir, Al Laits ibn Sa'ad (175 H).                                               
I Semua ulama besar yang membukukan hadits ini, terdiri dari ahli-ahli abad yang kedua Hijrah.

Kita menyayangkan kitab Az Zuhry dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui sekarang ini Kitab yang paling tua yang ada di tangan ummat Islam dewasa ini, ialah Al Muwaththa1 susunan Imam Malik r.a. yang disuruh susun oleh khalifah Al Manshur di ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H (143 H).
As Sayuthy berkata dalam kitab Tarikhul Khulafa: "Dalam tahun 143 H ulama-ulama Islam mulai membukukan hadits, fiqih dan tafsir.
Di Makkah, Ibnu Juraij.
Di Madinah, Imam Malik.
Di Syam, Al Auza'y (88 H = 707 M - 157 H = 773 M).
Di Bashrah, Ibnu Abi Arubah (156 H = 733 M), dan Hammad (167 H = 789 M).
Di Yaman, Ma'mar Al-Azdy. Di Kufah, Sufyan Ats Tsaury.
Ibnu Ishaq menyusun kitab Al Maghazi wal Sujar (hadits-hadits yang mengenai Sirah Rasul SAW.) dan Abu Hanifah menyusun kitab fiqih. Kitab Al Maghazi ini adalah dasar pokok bagi kitab,-kitab Sirah Nabi."[6]

3.8         INSTRUKSIKSI UMAR BIN ABDUL AZIZ TENTANG PEN­AMANAN HADITS

Sejak sebelum masa pemerintahannya, daerah Islam telah meluas laerah-daerah di luar jazirah Arab. Ini membawa akibat, para menjadi terpencar ke daerah-daerah Islam untuk mengem­Islam dan membimbing masyarakat setempat. Di samping itu, aabat, karena faktor usia dan akibat terjadinya peperangan­gan, banyak yang telah meninggal dunia. Ini berarti, bahwa al pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, jumlah Sahabat yang idup semakin tinggal sedikit. Padahal, Hadits Rasul masih ibukukan secara resmi.
lebih parah lagi, yang sedang dihadapi oleh Khalifah adalah kin berkembangnya Hadits-hadits palsu (Hadits Maudhu’) yang ,ntu dengan sendirinya, akan sangat mengancam kelestarian ;lam yang benar.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat, bahwa Rasulullah dan Kliu­tasyidin tidak membukukan Hadits Rasul, di antara sebabnya penting adalah karena dikhawatirkan akan terjadi bercampur­Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an, sedang pada saat Umar bin Abdul Aziz memerintah, Al-Qur’an telah selesai ir secara resmi dan lestari. Dengan demikian, maka bila Hadits­asul didewankan/dikodifikasikan, tidaklah akan mengganggu ~n Al-Qur’an.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka pada peng­hujung tahun 100 Hijry, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat instruksi kepada para Gubernurnya clan juga kepada para Ulama untuk mendewankanlmembukukan Hadits.
Dengan demikian, maka latar belakang dan motif Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan instruksi untuk menulis/mendewankan Hadits itu ialah:
1. Al-Qur’an telah dibukukan dan telah tersebar luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi akan bercampur dengan Hadits
2. Telah makin banyak para perawi/penghafal Hadits yang meninggal dunia. Bila dibiarkan terus, maka Hadits akan terancam punah. Olehnya itu, perlu segera dibukukan
3. Daerah Islam makin meluas. Peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh ummat Islam bertambah banyak clan kompleks. Ini berarti memer­lukan petunjuk-petunjuk dari Hadits-hadits Rasul di samping petunjuk AI-Qur’an
4. Pemalsuan-pemalsuan Hadits makin menghebat. Kalau ha9 ini dibiarkan terus, akan terancam kelestarian ajaran Islam yang benar. Maka langkah segera yang perlu diambil ialah membukukan Hadits clan sekaligus menyelamatkannya dari pengaruh pemaasuan­pemalsuari.

3.9         PELOPOR PENDEWAN (KODIFIKATOR) HADITS

Di antara Gubernur yang menerima instruksi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mendewankan Hadits itu adalah Gubernur Madinah yang bernama: Abu Bakar Muhammad Ibnu Amr Ibnu Hazm. Atau Muhammad Ibnu Hazm.
Muhammad, Ibnu Hazm, selain sebagai seorang Gubernur, juga seba- i gai seorang Ulama.
Instruksi Khalifah itu berisi, supaya Gubernur segera membukukan Hadits-hadits yang dihafal oleh penghafal-penghafal Hadits di Madinah, antaralain:
1. Amrah binti Abdir Rahman Ibnu Saad Ibnu Zurarah Ibnu Ades, seo­rang ahli Fiqih, murid Sayyidah Aisyah ra.
2. Al-Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abu Bakar As-Shiddiq, salahseo­rang pemuka Tabi’in dan salah seorang Fuqaha Tujuh.(Yang dimaksud dengan Fuqaha Tujuh ialah: 1. Al-Qasim; 2, Urwah Ibnu Zubair; 3. Abu Bakar Ibnu Abdir Rahman; 4. Said Ibnu Musayyab; .5. Abdillah Ibnu Abdullah Ibnu Utbah Ibnu mas’ud; 6. Kharijah Ibnu Zaid Ibnu Tsabit; dan 7. Sulaiman Ibnu fassar)’.
Muhammad Ibnu Hazm, melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baik­
selanjutnya, instruks’s Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga telah aanakan dengan sebaik-baiknya oleh salah seorang Ulana Hadits, ; masyhur sebagai Ulama Besar di Hijaz dan Syam, bernama Abu ir Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Ubaidillah Ibnu Syihab Az-Zuhry, ; dikenal juga dengan nama Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry. duhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry, setelah berhasil mendewankan its-hadits Rasulullah, lalu mengirimkan dewan-dewan Haditsnya itu ida penguasa-penguasa daerah.
Dengan demikian, maka pelopor pendewan (kodifikator) Hadits yang ama atas instruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah:
1. Muhammad Ibnu Hazm (wafat tahun 117 H).
2. Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry (wafat tahun 124 H).
tentang kedua tokoh pemula pendewan Hadits ini, para ahli sejarah Ulama Hadits berpendapat, bahwa yang lebih tepat disebut sebagai ifikator/pendewan Hadits yang pertama, ialah Muhammad Ibnu Syi­Az-Zuhry.
klasannya ialah, bahwa Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry mempu­beberapa kelebihan dalam mendewankan Hadits-hadits Nabi, bila ~ndingkan dengan Muhammad Ibnu Hazm.
Di antara kelebihan Az-Zuhry, ialah:
ia dikenal sebagai Ulama Besar di bidang Hadits, dibandingkan engan Ulama-ulama Hadits sezamannya.
ia mendewankan seluruh Hadits yang ada di Madinah, sedang yang ilakukan oleh Muhammad Ibnu Hazm, tidak mencakup seluruh adits yang ada di Madinah.
ia mengirimkan hasil pendewanannya kepada seluruh penguasa di aerah, masing-masing satu rangkap; sehingga dengan demikian, lebih cepat tersebar.sayang sekali, bahwa kedua macam dewan Hadits tersebut, baik yang un oleh Muhammad Ibnu Hazm maupun oleh Muhammad Ibnu Syi­-Zuhry, telah lama hilang clan sampai sekarang tidak diketahui di berada.
Selanjutnya, setelah masa Muhammad Ibnu Hazm dan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry berlalu, maka muncullah masa pendewanan ber­ikutnya (sebagai masa pendewanan yang kedua), atas anjuran Khalifah­khalifah Abbasiyah, di antaranya oleh Khalifah Abu Abbas As-Saffah.
Ulama-ulama yang terkenal telah berhasil mendewankan Hadits­hadits Nabi, setelah masa Muhammad Ibnu Hazm dan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry, di antaranya ialah:
1. Di Mekkah : IbnuJuraij (80-150H1669-767M).
2. Di Madinah : 1. Ibnu Ishaq (wafat 15114/768 M).
3. Malik bin Anas (93 H-179 H/703-798M).
4. Di Bashrah : 1. Ar-Rabi’ Ibnu Shabih (wafat 160 H).
5. Said Ibnu Abi Arubah (wafat 156H).
6. Hammad Ibnu Salamah (wafat 176 H).
7. Di Kufah : Sufyan Ats-Tsaury (wafat th.161 H)
8. Di Syam : Al-Auza’iy (wafat th. 156 H).
9. Di Wasith : Husyain Al-Wasithy (wafat th.188 H/804 M).
10. DiYaman : Ma’maiAl-Azdy(95-153H/753-770M).
11. Di Rei : Jarir Adl-Dlabby (110-1881-1/728-804M).
12. Di Khurasan : Ibnu Mubarak (118-181 H/735-797 M).
13. Di Mesir : Al-Laits Ibnu Sa’ad (wafat th.175 H).

Para Ulama di atas, masa hidupnya hampir bersamaan. Karenanya itu, sulit ditentukan siapa yang lebih tepat untuk disebut sebagai pende­wan/kodifikator Hadits yang pertama. Selain itu, bahwa mereka bersa­ma, telah berguru kepada Muhammad Ibnu Hazm dan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry.

3.10     CIRI-CIRI SISTEM PEMBUKUAN HADITS PADA PERIODE KEEMPAT(ABAD II HIJRY)

1. Hadits yang disusun dalam dewan-dewan Hadits, mencakup Hadits­hadits Rasul, fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in.
Dengan demikian, kitab/dewan Hadits dalam periode ini, belum diklassifisir/dipisah-pisah antara Hadits-hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’.
Kitab Hadits yang hanya menghimpun Hadits-hadits Nabi saja, hanyalah kitab yang disusun oleh Muhammad Ibnu Hazm. Beliau me lakukan demikian, mengingat adanya instruksi Khalifah tJmar bin Abdul Aziz yang menyatakan:
لاَ تَقْبَلْ إِلاَّ حَدِيْثَ الَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Janganlah kamu terima, selain dari Hadits Nabi saw. “
2. Hadits yang disusun dalam dewan-dewan Hadits, umumnya belum­lah dikelompokkan berdasarkan judul-judul (maudlu’) masalahleZ­tentu.
Dengan demikian, maka dalam dewan-dewan Hadits, terhimpun secara bercampur aduk Hadits-hadits Tafsir, Iiadits-hadits Sirah Nabi, Hadits-hadits Hukum, dan sebagainya.
Imam Syafi’ilah yang mula pertama merintis menyusun kitab Hadits berdasarkan judul masalah tertentu, dalam hal ini, yang berhu­bungan dengan masalah thalaq dalam satu bab.
1.      Hadits-hadits yang disusun, belumlah dipisahkan antara yang ber kualitas Shahih, Hasan dan Dha’if.
Para ulama abad kedua mebukukan hadits, dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa tabi'in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama-sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits-hadits marfu', hadits-hadits mauquf dan hadits-hadits maqthu.[7]

3.11     PERKEMBANGAN PEMALSUAN HADITS DAN UPAYA MENGATASINYA

Motif-motif Pemalsuan Hadits
a. Propagandis propagandis politik
Salah satu cara untuk menarik minat orang terhadap apa yang disam. paikannya, adalah dengan mengemukakan cerita. Cerita itu akan lebih menarik bila dibumbui dengan hal-hal yang menakjubkan, yang ganjih ganjil dan yang menakutkan.
b. Golongan Zindiq
Golongan yang pada lahirnya memeluk Islam , tetapi batinnya memusuhi Islam.
c. Tukang-tukang cerita
[ Maka, di antara penyebar ajaran Islam, karena dorongan dan ke­inginannya yang sarigat besar untuk menarik minat para hadirinnya, mereka lalu membuat kisah-kisah, dongeng-dongeng dan semacamnya. Celakanya, kisah-kisah yang dikarangnya itu lalu dilengkapi. dengan ad dan dinyatakan berasal dari Nabi Muhammad.
Secara tidak sadar, sesungguhnya mereka telah ikut menodai ajaran lam dan mengotori kemurnian Hadits Nabi. , _
d. Penganut ajaran tasawuf
Di antara pengikut ajaran tasawuf, ada yang pengetahuan agamanya masih sangat terbatas dan bahkan salah. Tetapi biasanya, orang yang demikian ini merasa dirinya serba tahu tentang aj aran Islam. Ditafsirkan­hh ajaran Islam sesuai dengan kehendaknya. Dan untuk memperkuat alasan atas pendapat dan pemahamannya itu, maka dibuatnyalah Hadits­hadits palsu. Dan pemalsuan Hadits yang mereka buat, biasanya berkisar ~soal-soal yang berhubungan dengan “targhib wat tarhib” (berita-berita yangmenggembirakan dan mencemaskan).
2. Gerakan Untuk Menumpas Pemalsuan Hadits
a. Pemerintah, dalam hal ini dari bani Abbasiyah; berusaha menumpas kaum zindiq.
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat, bahwa bani Abbas menumpas kaum zindiq itu, boleh jadi karena mereka mem­buat Hadits-hadits palsu yang merendahkan derajat bani Abbas dan menjauhkan masyarakat dari bani Abbas. Atau, mungkin para Kha­lifah bani Abbas bermaksud memelihara agama dari kerusakan yang dilakukan oleh golongan zindiq.
Usaha pemerintah ini, tentu saja belumlah berhasil secara tuntas menumpas pemalsu-pemalsu Hadits. Sebab, kaum zindiq yang ditumpas pemerintah itu, barulah salah satu golongan saja di antara golongan Hadits. Ditambah lagi, karena kaum zindiq ini, merupakan gerakan yang terselubung, maka dalam menumpasnya tidaklah mudah.
b. Para Ulama berusaha dengan gigih menghadapi pemalsuan-pemal­suan -Hadits. Caranya, bermacam-macam. Di antaranya:
1, Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran Hadits-hadits yang diterimanya dan meneliti sum­ber-sumbernya, kemudian hasilnya mereka siarkan ke masyara­kat.
2. Meneliti sanad dan perawi Hadits dengan ketat. Riwayat hidup dan tingkah laku para perawi dan sanad Hadits diselidiki dengan saksama. Maka lahirlah, istilah-istilah: tsiqah, kadz­dzab, fulan la ba’sa bihi, dan sebagainya.
Imam Malik misalnya, telah memberi tuntunan kepada penun­tut/pencari Hadits, dengan menyatakan: Janganlah mengambil ilmu (Hadits) dari empat macam orang, yaitu:
a. orang yang kurang akal,
b. orang yang mengikuti hawa nafsunya dan mengajak manusia untuk mengikuti hawa nafsunya,
c. orang yang suka berdusta, dan
d. seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, kesalihan dan ak­tif ibadah, tetapi tidak mengetahui apa yang diriwayatkan­nya yang berhubungan dengan Hadits.
Pada sekitar tahun 150 H, Ulama mulai memperbincangkan tentang ta’dil dan tajrih.
Banyak Ulama yang terkenal ahli dalam menilai perawi Hadits pada abad II periode keempat ini. Misalnya, Imam Malik, Auza’iy, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, Uyaiyah, Ibnu Wahhab, Waki’ Ibnu AI­Jarrah, Yahya Ibnu Saad AI-Qatthan, Abdur Rahman Ibnu Mahdi, dan lain-lain.
Di antara Ulama tersebut, yang ferkenal memiliki ilmu yang menda­lam tentang kritik rijalil Hadits, ada dua orang. Yaitu:
1. Yahya Ibnu Saad Al-Qatthan (wafat th. 193 H).
2. Abdur Rahman Ibnu Mahdi (wafat th. 198 H).

GOLONGAN PENOLAK HADITS


Pada periode keempat (abad II) ini; lahir juga sekelompok orang yang menolak Hadits. Penolakan mereka, ada yang untuk seluruh Hadits, baik yang Ahad maupun yang Mutawatir, dan ada golongan yang menolak Hadits Ahad saja.
Menghadapi kaum penolak Hadits ini, bangunlah Imam Syafi’i membela Hadits Nabi. Dalam kitabnya “Al-Um”, Imam Syafi’i,telah menerangkan panjang lebar tentang alasan-alasan para penolak Hadits, kemudian beliau membantahnya satu demi satu, dengan mengemuka­kan alasan-alasan yang kuat.
Berkat kehebatan dan ketangguhan Imam Syafi’i dalam berusaha membela dan melestarikan Hadits-hadits Nabi dari golongan yang menolak Hadits Nabi ini, beliau lalu digelari sebagai: “Nashirul Hadits” (Penolong Hadits), atau.”Multazimus-Sunnah”.

 

PERIODE KELIMA (ABAD 3 HIJRIYAH)

Periode ini disebut: Masa permurnian, penyehatan dan penyempurnaan.
Periode kelima ini dimulai sejak masa akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan pertama (Khalifah AI-Ma’mun) sampai awal pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah Al-Muqta­dir).

3.12     KEADAAN UMMAT ISLAM PADA PERIODE INI

1. Pertikaian faham di kalangan Ulama
Sejak abad kedua hijry, telah lahir para mujtahid di bidang fiqh dan dibidang ilmu kalam. Kehidupan ilmu pengetahuan Islam pada abad ini sangat pesat. Antara para mujtahid Islam, sesungguhnya tidaklah ada masalah. Mereka saling menghormati dan menghargai pendapat-penda­pat yang timbul. Tetapi lain halnya di kalangan para murid dan pengikut­nya. Mereka hanya baranggapan bahwa pendapat guru dan golongan­nya saja yang benar. Sikap yang demikian ini mengakibatkan timbul­Rya bentrokan-bentrokan antara mereka, termasuk para ulamanya.
Pada abad ketiga, bentrokan pendapat itu telah rnakin meruncing, baik antargolongan mazhab fiqh, maupun antarrnazhab ilmu kalam. Ulama Hadits pada abad ketiga ini, menghadapi kedua golongan ter­sebut.
Terhadap pendukung madzhab fiqh yang fanatik, Ulama Hadits harus menghadapinya, karena tidak sedikit di antara mereka berbeda pendapat dalam memahami hukum Islam. Para pendukung madzhab fiqh yang fanatik buta, bila pendapat mazhabnya berbeda dengan maz­hab lainnya, maka di antara mereka tidak segan-segan untuk membuat Hadits-hadits palsu dengan maksud selain untuk memperkuat argumen mazhabnya, juga untuk menuduh lawan mazhabnya sebagai golongan yang sehat.
Golongan/mazhab ilmu kalam, khususnya kaum Mu’tazilah, sangat memusuhi Ulama Hadits. Mereka (dari kaum Mu’tazilah) ini, sikapnya ingin memaksakan pendapatnya membuat Hadits-hadits palsu.
Pertentangan pendapat dari kalangan ulama Ilmu Kalam dan Ulama Hadits ini sesungguhnya telah mulai lahir sejak abad II hijry. Tetapi karena pada masa itu penguasa belum memberi angin kepada kaum Mu’tazilah, maka pertentangan pendapat itu masih berada padati ketegangan-ketegangan antargolongan. Dan ketika pemerintah, pada awal abad III hijry, dipegang oleh Khalifah Ma’mun yang pendapatnya sama dengan kaum Mu’tazilah, khususnya tentang kemakhlukan AI­Qur’an, maka Ulama Hadits bertambah berat fitnah yang harus dihada­pinya.
2. Sikap Penguasa terhadap Ulama Hadits
Khalifah Al-Makmun (wafat 218 H) merupakan khalifah yang sangat memperhatikan terhadap ilmu pengetahuan. Beliau tekun mem­pelajari AI-Qur’an, As-Sunnah dan Filsafat. Beliau memiliki kecer­dasan dan kecakapan dalam usaha memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Diuridanglati para Ulama dari berbagai golongan untuk bermunadzarah tentang masalah-masalah agama. Penerjemah­kan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab, sangat mendapat perha­tian besar. Singkatnya, dalam masa pemerintahan Al-Makmun, Ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Tetapi di samping itu, dalam menghadapi pertentangan antara golongan Mu’tazilah dengan ahli Hadits, khususnya tentang apakah Al­Qur’an itu qadim atau hadits, Khalifah Al-Makmun sefaham dengan kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa AI-Qur’an itu hadits, karena­nya AI-Qur’an itu makhluk. Pendapat khalifah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, telah diumumkan secara meluas pada tahtin 212 hijry. Dan karena Ulama Hadits tetap terhadap pendiriannya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu qadim, maka khalifah, demi prestasi­nya, lalu berupaya untuk menyiasati para ulama Hadits. Di antara Ulama Hadits yang keras pendirian adalah Imam Ahmad bin Hambal. Karenanya, Imam Ahmad harus mengalami nasib tragis. Beliau ter­paksa dipenjarakan, karena tidak bersedia surut dari pendapatnya.
Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi Ulama Hadits ini, tetap berlanjut pada masa khalifah AI-Mu’tashim (wafat 227 H) dan Al­Watsiq (wafat tahun 232 H). Dan Imam Ahmad, pada masa-masa pemerintahan ini, bukan sekedar dipenjarakan saja tetapi juga disiksa dan dirantai. Al-Watsiq pada akhir masa hidupnya, berubah pendirian dan mulai cenderung kepada pendapat Ulama Hadits.
Pada waktu khalifah Al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H), Ulama Hadits mulai mendapat angin segar yang menyenangkan. Sebab, khalifah ini sangat cenderung kepada As-Sunnah. Ulama Hadits sering dihadirkan di istana untuk menyampaikan dan menerangkan Hadits­hadits Nabi. Karena demikian besarnya perhatiannya kepada Hadits Nabi, maka di antara ulama Hadits ada yang mengatakan bahwa Al­Mutawakkil adalah khalifah yang menghidupkan sunnah dan memati­kan bid’ah. .
Kaum zindik yang pada dasarnya sangat memusuhi Islam, dalam masa pertentangan antarmazhab fiqh dan mazhab ilmu kalam yang sedang menajam, telah mendapat kesempatan yang baik sekali untuk meruntuhkan Islam. Mereka sengaja membuat Hadits-hadits palsu untuk lebih mengeruhkan suasana dan menyesatkan umat. Sehingga karenanya, telah menambah.sibuk ulama Hadits untuk menyelamatkan Hadits-hadits Nabi yang benar-benar berasal dari Nabi.
Di samping itu, kaum muslimin yang gemar berceritra (tukang­tukang kisah) juga belum mau menghentikan kegemarannya untuk membuat Hadits-hadits palsu guna tnetnperkuat dan memperindah daya pikat kisah-kisahnya. Dalam hal ini Ulama Had’rts juga harus mengha­dapinya, demi terpeliharanya Hadits-hadits Nabi dari usaha percam­puradukan dengan Hadits-hadits palsu yang telah dibuat oleh ahli-ahli kisah tersebut.

3.13     KEGIATAN ULAMA HADITS DALAM MELESTARIKAN HADITS-HADITS

Dalam menghadapi keadaan seperti tersebut di atas, maka kegiatan Ulama Hadits dalam usaha melestarikan Hadits-hadits Nabi secara garis besar ada lima macam kegiatan yang penting. Yakni:
a. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh.
Kegiatan ini ditempuh, karena Hadits-hadits Nabi yang telah dibu­kukan oleh Ulama Hadits pada periode keempat (abad II H) baru terbatas pada Hadits-hadits Nabi yang ada di kota-kota tertentu saja. Pada hal dengan telah menyebarnya para perawi H. dits ke tempat­ tempat yang j auh, karena daulah Islamiyyah telah makin meluas dae­rahnya, maka masih sangat banyak Hadits-hadits Nabi yang belum dibukukan. Oleh karenanya, jalan yang harus _ditempuh untuk menghimpun Hadits-hadits yang berada pada perawi yang terbesar itu, adalah dengan cara melawat untuk mengunjungi para perawi Hadits.
       Usaha perlawatan untuk mencari Hadits Nabi ini, telah dipelopori oleh Imam Bukhari. Beliau selama 16 tahun telali melawat ke kota Mekkah, Madinah, Bagdad, Basrhah, Kuffah, Mesir, Damsyik, Nai­sabur, dan lain-lain. Kemudian diikuti oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa’iy dan Iain-lain.
b. Sejak permulaan abad III H.
            Ulama Hadits telah mengadakan klasi­fikasi antara Hadits-hadits yang marfu’ (yang disadarkari kepada Nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan yang maqthu’ (yang disandarkan pada tabi’in). Kitab-kitab musnad telah sangat berjasa dalam hal ini, sebab telah menghimpun Hadits-hadits Nabi berdasarkan nama Sahabat yang mer’rwayatkannya, sehingga dengan demikian Hadits-hadits Nabi terpelihara dari pencampur­adukan dengan fatwa-fatwa Sahabat dan Tabi’in. Adapun klasifikasi Hadits kepada kualitas Shahih atau Dha’if, pada permulaan abadini, belum dilakukan.
c. Pada pertengahan abad III H.
            Mulailah Ulama Hadits mengadakan seleksi kualitas Hadits kepada shahih dan Dahif. Ulama yang mem­pelopori usaha ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih, kemudian diikuti oleh Bukhari, Muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’iy, Ibnu Majah dan’lain-lain.
            Sebelum zaman Imam Turmudzi, kualitas Hadits hanya dikenal ada dua macam saja, yakni: Shahih dan Dha’if. Dan sejak zaman Imam Turmudzi, barulah dikenal kualitas Hadits itu kepada tiga macam, yakni: Shahih, Hasan dan Dha’if. Demikian pendapat Ibnu Tai­miyah.
d. Menghimpun segala kritik yang telah dilontarkan oleh ahli ilmu kalam dan lain-lain.
            Baik kritik yang ditujukan kepada pribadi-pri­badi perawi Hadits maupun yang ditujukan kepada matan-matan Hadits. Segala kritik itu kemudian dibantah satu per satu dengan argumentasi ilmiah, sehingga dengan demikian terpeliharalah para perawi dan matan Hadits dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Di antara Ulama Hadits yang telah menyusun kitab yang berisi pem­bahasan demikian ini, adalah Ibnu Qataibah. Judul kitabnya; Ta’wilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ‘ala ‘ada’ilil Hadits.
2. Bentuk Penyusunan Kitab Hadits pada periode Kelima (abad II - Hijry)
            Sistem pendewanan Hadits pada periode ini dapat diklasifir pada tiga bentuk. Yakni bentuk penyusunan:
1. Kitab Shahih
            Yaitu kitab Hadits yang disusun oleh penyusunnya dengan cara meng himpun Hadits-hadits yang berkualitas Shahih, sedang Hadits-hadits yang berkualitas tidak Shahih, tidak dimasukkan.
            Bentuk .penyusunan kitab Shahih, termasuk bentuk mushanaf. Materi Hadits yang dihimpun, selain masalah hukum juga masalah aqi­dah, akhlaq, sejarah clan tafsir.
Contoh:
a) Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Bukhari. Kitab ini lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
b) Al-Jami’us Shahih, susunan Imam Muslim. Kemudian lebih dikenal dengan nama Shahih Muslim.
2. Kitab Sunan
            Yakni kitab Hadits yang oleh penyusunnya, selain dimasukkan dalam kategori Hadits-hadits yang berkualitas Shahih, juga dimasukkan yang berkualitas Dha’if dengan syarat tidak berkualitas mungkar clan tidak ter­lalu lemah. Maka untuk Hadits yang berkualitas Dha’if, biasanya oleh 4 penyusunnya diterangkan kedha’ifannya.
          Bentuk penyusunan Kitab Sunan, termasuk bentuk mushannaf. Materi Hadits yang dihimpun, hanya terbatas pada masalah fiqh (hukum) dan semacamnya.
Contoh:
1. As-Sunan, susunan Imam Abu Daud.
2. As-Sunan, susunan Imam At-Turmudzi.
3. As-Sunan, susunan Imam An-Nasa’iy.
4. As-Sunan, susunan Imam Ibnu Maj ah.
5. As-Sunan, susunan Imam Ad-Darimy.

3. Kitab Musnad
Yakni kitab Hadits yang oleh penyusunn.ya dihimpun seluruh Hadits yang diterimanya, dengan bentuk susunan berdasar nama perawi perta­ma. Urutan nama perawi pertama, ada yang berdasarkan menurut tertib kabilah, misalnya dengan mendahulukan Bani Hasyim, ada yang berda­sar nama Sahabat menurut urutan waktu dalam memeluk agama Islam, ada yang dalam bentuk urutan lain.
Hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Musnad, tidak dijelaskan kua­litasnya.
Contoh:
1. Musnad, susunan Imam Ahmad bin Hambal:
2. Musnad, susunan Imam Abul Qasim Al-Baghawy.
3. Musnad, susunan Imam Utsman bin Abi Syaibah.
C. KITAB-KITAB STANDAR
Karena demikian banyaknya kitab-kitab H.adits yang disusun oleh Ulama sejak permulaan pendewaan Hadits sampai pada abad III ini, dan pula dengan mempertimbangkan kualitas, serta banyaknya Ulama Hadits yang memberikan perhatian khusus kepada kitab-kitab Hadits tertentu, maka Ulama Muta’akhirin lalu -menetapkan beberapa kitab Hadits sebagai kitab-kitab pokok atau kitab standar.
1. Kitab Standar yang Lima (AI-Kutubul Khamsah)
Ulama sepakat, ada lima buah kitab Hadits yang dinyatakan sebagai kitab standar (kitab pokok) yang biasa disebut dengan Al-Kutubul Khamsah atau Al-Ushulul Khamsah. Yakni:
1. Kitab Shahih Bukhari.
2. Kitab Shahih Muslim.
3. Kitab Sunan Abi Daud.
4. KitabSunanTurmudzi.
5. Kitab Sunan Nasa’iy.
2. Kitab Standar yang Enam (Al-Kutubus Sittah)
Ada sebuah kitab Hadits lagi yang oleh Ulama dimasukkan juga seba­gai kitab standar dalam urutan yang keenam. Dengan demikian, seluruh kitab standar itu ada enam buah. Yakni, lima kitab standar sebagaimana tersebut dalam AI-Kutubul Khamsah kemudian ditambah satu kitab lagi sehingga menjadi Al-Kutubus Sittah.
Ulama tidak sependapat tentang nama kitab standar yang menempati urutan yang keenam ini.
a. Menurut pendapat Ibnu Thahir Al-Maqdisy adalah: Sunan Ibnu Majah susunan Imam Ibnu Majah.
b. Menurut pendapat Ibnu Atsir dan lain-lain, adalah: Al-Muwattha’, susunan Imam Malik.
c. Menurut pendapat Ibnu Hajar Al-Asqallany adalah: Sunan Ad­Darimy, susunan Imam Ad-Darimy.
d. Menurut Ahmad Muhammad Syakir, adalah: AI-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud.
3. Kitab Standar yang Tujuh (AI-Kutubus Sab’ah)
Di antara Ulama ada yang menambah lagi sebuah nama kitab Hadits sebagai kitab pokok (standar). Sehingga dengan demikian, kitab standar tersebut jumlahnya menjadi tujuh buah. Dan oleh karenanya, dinyata­kan dengan nama AI-Kutubus Sab’ah (Kitab Pokok/Standar yang tujuh).
Kitab Hadits yang ditetapkan sebagai nomor urut yang ketujuh dalam kitab standar tersebut, menurut sebagian Ulama adalah: Musnad Ahmad, susunan Ahmad bin Hambal.

3.14     Penulisan dan Pembukuan Hadits pada abad 3

Abad III H merupakan abad di dalam periode kelima. Di mana, pada periode ini merupakan periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan (ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-5 Hijriyah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiyah dipegang oleh khalifah al-Makmun sampai al-Mu’tadir. Pada awal abad III H, adalah masa dimulainya pembukuan hadits yang semata-mata hadits saja, tidak dicampuri dengan fatwa sahabat dan fatwa Tabi’in. Akan tetapi mereka tidak memisahkan hadits-hadits yakni mencampurkan hadits sahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dha’if. Segala hadits yang mereka terima, mereka bukukan dengan tidak menerangkan kesahihannya, atau kehasanannya, atau kedha’ifannya. Mereka menyusun kitab-kitab hadits berdasarkan nama-nama orang yang pertama meriwayatkan hadits itu (Musnad) yaitu Abdullah Ibn Musa al-Abasy al-Kufy, Musaddad Ibn Musarhad al-Bashry, As’ad Ibn Musa al-Amawy, Nu’aim Ibn Hammad al-Khuza’y, Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq Ibn Rahawaih, Usman Ibn Abi Syaibah.

3.15     Meluasnya Lawatan, Penyusunan Kaidah dan Pentashhihan Hadits

Dalam abad ke-3 Hijrah usaha pembukuan hadits memuncak. Sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan Al-Muwaththa’ Malik tersebar dalam masyarakat serta disambut dengan gembira, maka timbullah kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya, dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat, dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Hal ini kian hari kian bertambah maju.
Pada mulanya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota masing-masing. Sebahagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Pada pertengahan abad ke-3, keadaan ini dipecahkan al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluahkan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabury, Rey, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan dan Himsah.
Ringkasnya, al-Bukhary membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. 16 tahun lamanya beliau terus-menerus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahih-nya.
Pada mulanya ulama menerima hadits dari perawi, lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam mengumpulkan hadits pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadits yaitu dengan menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudhu’.
Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka, maka ulama hadits bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta memisahkan hadits-hadits yang shahih dari yang dha’if yakni menshahihkan hadits.
Pembahasan mengenai diri pribadi perawi menghasilkan ilmu Qawa’id at-Tahdits (kaidah-kaidah tahdits), ‘Illat-‘illat hadits dan Tarjamah (riwayat) perawi-perawi hadits.
Ringkasnya, lahirlah tunas Ilmu Dirayah (Ilmu Dirayah al-Hadits) yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadits).
Upaya pentashhihan dan penyaringan hadits, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if dengan mempergunakan syarat-syarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’, melahirkan kitab-kitab shahih dan sunan.

3.16     Imam yang Mula-mula Membukukan Hadits yang Dipandang Shahih saja

Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang besar, terdorong untuk memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
Pekerjaan yang mulia ini, kemudian disempurnakan ole imam al-Bukhary. Al-Bukhry menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami’ ash-shahih yang membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha al-Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim. Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih.
Sesudah shahih al-Bukhary dan shahih Muslim tersusun, muncul pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (sunan At-Tirmidzy) dan AnNasa’y (sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (al-Ushul al-Khamsah).
Di samping itu Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab sunan yakni Sunan Ibnu Majah. Kitab ini oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal dengan nama al-Kutub as-Sittah. Di bawah kitab yang enam ini ulama menempatkan Musnad al-Imam Ahmad.

3.17     Dasar -dasar Pentashhihan Hadits

Untuk mentashhihkan hadits, dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang Tarikh Rijal al-hadits - sejarah perawi hadits -, tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat diketahui, apakah dia bertemu dengan orang ia riwayatkan haditsnya atau tidak. Dengan pengetahuan yang mendalam tentang parawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman al-Bukhary (umpamanya), dapat diketahui bagaimana tingkat kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercaya, siapa yang tertutup keadaan, siapa yang dusta, siapa yang lalai.
Al-Bukhary mempunyai dua keistemewaan, yaitu pertama, hafalan yang sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, khususnya dalam bidang hadits. Kedua, keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang dapat kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disususn untuk menerangkan keadaan perawi-perawi hadits. al-Bukhary dalam menghadapi perawi-perawi yang lemah dan tercela, mempergunakan kata-kata yang sopan sekali.
Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti az-Zuhry, tentu tidak sama semuanya. Ada yang erat dengan az-Zuhry, ada yang tidak. al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang erat hubungannya. Muslim menerima perawi-perawi yang tidak erat hubungannya, sama dengan menerima perawi-perawi yang erat hubungannya. Mengenai orang-orang yang bukan tokoh, maka baik Al-Bukhary maupun muslim menerimah riwayatnya asal saja perawi itu terpercaya, adil tidak banyak khilaf atau keliru.
Al-allamah muhammad zahijd al-kutsary mengatakan bahwa diantara yang menarik perhatian adalah al-Bukhary dan Muslim tidak menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal al-Bukhary dan muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan menerimah hadits dari mereka. Juga al-Bukhary dan muslim tidak mentakhrijkan hadits imam Asy-Syafi’y padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian ashabnya. Juga al-Bukhary tidak mentakhrijkan hadits-hadits ahmad selain dari dua hadits, satu secara ta’liq, satu lagi secara nasil dengan perantaraan, padahal al-Bukhary mendapati ahmad dan bergaul dengannya. Muslim tidak mentakhrijkan dalam shahinya barang satu hadits dari hadits al-Bukhary, padahal muslim bergaul dengannya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits ahmad selain dari 30 hadits, ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari malik dari nafi melalui jalan Asy-Syafi’y padahal sanad inni dipandang paling sah, selain dari empat hadits.

3.18     Langkah-Langkah yang Diambil untuk Memelihara Hadits

Ulama di samping membukukan hadits dan memisakan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, atau memisahkan yang shahih dari yang dha’if, mereka memberikan pula kesungguhan yang mengagumkan untuk menyusun kaedah-kaedah tahdits, ushul-ushulnya, syarat-syarat menerimah riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat shahih dan dha’if, serta kaidah-kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadits-hadits maudhu (palsu).
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah Rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dha’if, khususnya antara hadits-hadits yang ada asalnya dengan hadits yang semata-mata maudhu.
Adapun langkah-langkah yang telah mereka ambil dalam mengkritik jalan-jalan menerimah hadits sehingga mereka dapat melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersikan dari segala lumpur yang mengotorinya ialah mengisnadkan hadits, memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima kepada para ahli, mengkritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajat hadits, menyusun kaidah-kaidah untuk menentukan kaidah-kaidah maudhu’.
1. Mengisnadkan Hadits
Para sahabat sesudah Nabi saw. Wafat, saling mempercayai. Para tabi’in dengan tidak tertugun-tegun menerima hadits yang diriwayatkan kepadanya oleh seorang shahaby. Keadaan tersebut berjalan sampai timbulnya fitnah yang digerakan oleh Abdullah Ibnu Saba, seorang yahudi yang bermaksud jahat terhadap Islam. Dia menggerakan ummat untuk menganut paham tasyayyu’ (paham memihak kepada Ali dan mempertahan kekhalifaan di tangan Ali dan keturunannya). Mereka ada yang mengaku keturunan Ali. Sejak itu, timbulnya penyisipan ke dalam hadits, penyisipan itu kian hari kian bertambah.
Berkenaan dengan hal itu, mulailah ulama baik dari kalangan sahabat, maupun tabi’in berhati-hati menerima riwayat yang diberikan kepada mereka. Mereka mulai tidak lagi menerima hadits kecuali yang mereka ketahui jalan datangnya dan keadaan perawi-perawinya dan keadilan mereka. Ibnu sirin berkata (menurut riwayat Muslim dalam muqaddimah shahihnya), “para sahabat dan tabi’in tidak menanyakan tentang hal isnad. Namun, ketika mulai terjadi fitnah, maka ketika menerima suatu hadits bertanya, siapa yang memberikan hadits itu? sesudah diketahui sanad, diperiksalah apa sanad itu terjadi dari Ahlus Sunnah. Kalau benar, diambillah hadits itu. Kalau perawi itu dari golongan ahli bid’ah, ditolaklah hadits itu.” Keadaan ini mulai berlaku di zaman sahabat kecil, yang meninggal sesudah terjadi fitnah.
Diriwayatkan Muslim dari Mujahid, bahwa Busyair al-adawy datang kepada Ibnu Abbas, lalu menceritakan hadits kepadanya. Ibnu Abbas tidak memperhatikan hadits-hadits yang di riwayatkan itu. Maka Busyair bertanya, “apakah sebabnya anda tijdak mendengarkan hadits-hadits yang saya riwayatkan?” Ibnu Abbas menjawab, “Dahulu, apabila mendengar hadits, kami memperhatikannya dengan sebaik-baiknya. Ketika manusia telah mengendarai binatang jinak dan liar, tidaklah kami menerima selain dari yang kami ketahui.” Berkenaan dengan ini pula, ketika telah berkecamuknya kedustaan para tabi’in memintakan isnad.
Abu Aliyah berkata, “kami mendengar hadits-hadits dari seorang sahabat. Kami tidak senang kalau kami tidak berpayah-payah datang kepada sahabat itu untuk mendengar hadits.”
2. Memeriksa Benar tidaknya Hadist yang Diterima
Seseorang yang menerima hadits, berusaha pergi bertanya kepada sahabat dan tabi’in dan imam-imam hadits. Dengan inayah Allah SWT, banyak para sahabat yang hidup lama. Maka ketika timbul kedustaan dalam hal hadits, seseorang yang menerima hadits pergi kepada para sahabat untuk menanyakan hadist yang diterimanya.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya dari Ibnu Abi Mulaikah:
“Saya menulis surat kepada Ibnu Abbas supaya beliau menulis untuk saya sebuah kitab dan menyembunyikan (yang tidak ada) pada saya. Ibnu Abbas berkata, “Seorang anak yang jujur, saya akan memilih untuknya beberapa hal dan menyembunyikannya (hal-hal yang tidak benar). Ibnu Mulaikah berkata, maka Ibnu Abbas meminta orang membawakan kepadanya kitab hukum Ali. Lalu beliau menyalin beberapa urusan dan terkadang-kadang apabila didapatinya yang tidak benar, berkata, “demi Allah, Ali tidak menghukum begini, terkecuali dia sesat.”
Untuk memenuhi maksud ini para sahabat dan para tabi’in membuat perlawatan dari kota ke kota, untuk mendengar hadits-hadits dari orang terpercaya.
Basyir Ibnu Abdillah al-Hadhramy berkata, “saya berkendaraan dari sebuah kota ke beberapa kota hanya untuk mencari sebuah hadits.”
3. Mengkritik Perawi dan Menerangkan Keadaan-keadaan Mereka, tentang kebenarannya ataupun Kedustaannya
Inilah sebuah usaha besar yang dilaksanakan ulama untuk membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang tidak dan yang kuat dari yang lemah. Dalam hal ini ulama mengalami kesulitan yang besar sekali. Mereka mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang tersembunyi bagi umum dari keaadaan-keadaan para perawi-perawi itu. Mereka dengan tidak segan–segan menerangkan cacat seorang perawi dan memberitakannya kepada umum.
Pernah dikatakan orang kepada Yahya Ibn Said al-Qaththan, “Apakah anda tidak takut pada hari kiamat mereka menjadi seteru anda di hadapan Allah?” Yahya menjawab, “Saya lebih suka menjadi seteru mereka daripada menjadi seteru Rasul saw. Rasul akan bertanya,” mengapa kamu tidak membela sunnahku?”
Untuk ini ulama telah membuat undang-undang atau kaidah umum untuk menetapkan orang-orang boleh diterima riwayatnya dan yang tidak. Mereka juga menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali diterima haditsnya. Walhasil, lahirlah Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil atau Ilmu Mizan ar-Rijal.
4. Membuat Kaidah Umum untuk Membedakan Derajat-derajat Hadits
Ulama membagi hadits dalam beberapa derajat. Masing-masing derajat ditetapkan kaidah-kaidah untuk membedakannya dengan derajat yang lain. Mereka membagi hadits menjadi shahih dan dha’if. Mereka membuat kaidah- kaidah untuk mensahihkan suatu hadits dan untuk men-dha’if-kannya. Dengan perkataan lain, mereka melahirkan ilmu mustalahul hadits, yaitu ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah ilmiah untuk menshahihkan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk mengkritik, mengoreksi khabar dan riwayat.
Ringkasnya, ulama hadits menyusun qawaid (kaidah-kaidah) tahdits dan ushulnya, syarat-syarat menerima riwayat dan menolaknya, syarat-syarat shahih, dha’if.
5. Menetapkan Kriteria Hadits-hadits Maudhu’
Untuk menyaring hadits, menapis dan memisahkan hadits-hadits yang sahih, hasan dan dha’if dari maudhu’, yang dipandang seburuk-buruk hadist dha’if, mereka menetapkan dasar-dasar yang harus kita pegang dalam menentukan hadits-hadits maudhu’ itu.
Dengan memahami tanda-tanda tersebut, dapatlah dengan mudah kita mengetahui tanda-tanda hadits maudhu’ yang sudah banyak tersebar dalam masyarakat yang awam oleh golongan yang mempunyai suatu maksud kemuslihatan.

PERIODE KEENAM (ABAD IV SAMPAI PERTENGAHAN , ABAD VII HIJRY)

Periode ini disebut:: ~,Masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan. ~Periode keenam ini, terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah angkatan ~ua (Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al-Mu’tashim).

3.19      KEADAAN POLITIK DALAM PERIODE INI

            Sejak abad IV, daulah Islamiyah mengalami kemunduran. Lahirlah 6erapa daulah Islamiyah kecil yang tak berdaya. Di kawasan barat, hi Umayyah di Andalusia dipimpin oleh Abdur Rahman An-Nashir hyatakan diri memisahkan dari Daulah Abbasiyah dan mengatakan iagai Amirul Mukminin juga. Di Afrika Utara, golongan Syi’ah Ismai­th di bawah pimpinan Ubaidillah Al-Mahdi Al-Fathimi mendirikan ~lah Fathimiyah. Ubaidillah juga menyatakan diri sebagai Amirul ikminin. Di Yaman, golongan Syi’ah Zaidiyah juga mendirikan daulah adiri, terpisah dari Daulah Abbasiyah yang ada Di Baghdad. Sedang di ghdad sendiri, walaupun yang berkuasa secara format dari Bani Abba­~h, tetapi secara praktis kekuasaan dipegang oleh Bani Ad-Dailamy pg dikenal juga dengan Bani Buwaih. Di Mosul clan Halb, Bani ‘tndan mengaku juga sebagai Bani Abbasiyah dan berkuasa di kedua ~rah itu.
            Antar daulah Islamiyah tersebut, timbul keinginan sating menguasai. xeka saling menyerang dan saling mengaku sebagai penguasa tertinggi ~adap daulah Islamiyah yang ada.
            Demikian gambaran kecil tentang keadaan dunia Islam pada masa ; Dengan gambaran ini telah dapat dibayangkan betapa lemahnya dau­IIslamiyah. Sehingga pada waktu tentara Tartar (dari bangsa Mongol) )awah pimpinan Jengis Khan datang menyerbu daulah-daulah Isla­~ah, para penguasa Islam sama sekali tidak berdaya lagi. Dan tatkala
            Holako Khan, cucu Jengis Khan menyerbu Baghdad dan membunuh Khalifah dari Bani Abbas, maka sempurnalah keruntuhan kekuasaan Islam yang pernah cermerlang di bumi ini. Masa yang sangat memilukan ini, terjadi pada pertengahan abad VII Hijry, yang oleh ahli Sejarah, ditetapkan sebagai pemisah antara masa sejarah Islam kuno dengan masa sejarah Islam pertengahan.

3.20     KEGIATAN ULAMA HADITS PADA PERIODE INI

          Walaupun pada periode ini daulah Islamiyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi kegiatan Ulama dalam melestarikan Hadits tidaklah terlalu terpengaruh. Sebab kenyataannya, tidak sedikit Ulama yang tetap menekuni dan bersungguh-sungguh memelihara dan mengem­bangkan pembinaan Hadits, sekalipun caranya tidak lagi sama dengan Ulama pada periode sebelumnya.
          Sebagaimana telah dibahas dalam bab yang lalu, pada abad III hampir seluruh Hadits Nabi telah berhasil didewankan (dibukukan) oleh para Ulama. Oleh karena itu, pada abad IV tinggal sedikit lagi Hadits-hadits Shahih yang masih dikumpulkan clan dibukukan. Kitab-kitab Hadits yang telah berhasil disusun pada abad IV dan dari padanya dapat dijum­pai Hadits-hadits Shahih di luar dari kitab-kitab Hadits abad III, antara lain adalah:
1. As-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah (313 H).
2. Al-Anwa’ wat-Taqsim, susunan Ibnu Hibban (354 H).
3. Al-Musnad, susunan Abu Awanah (316 H).
4. Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud.
5. Al-Mukhtarah, susunan Muhammad bin Abdul Wahid Al-Maqdisy.
            Dengan melihat bahwa para Ulama Hadits pada abad IV tidak lagi banyak yang mengadakan perlawatan ke daerah-daerah seperti yang telah dilakukan oleh Ulama pada abad III, maka Adz-Dzahaby menjadi penghujung tahun 300 H sebagai batas yang memisahkan antara masa Ulama Mutaqaddimin dengan Ulama Muta’akhkhirin.
            Pada periode keenam ini; Ulama Hadits pada umumnya hanya mem­perpegangi kitab-kitab Hadits yang telah ada, sebab seluruh Hadits pada abad IV (awal periode keenam ini), telah terhimpun dalam kitab-kitab Hadits tersebut. Kegiatan Ulama yang menonjol dalam memelihara dan mengembangkan Hadits Nabi yang telah terhimpun dalam kitab-kitab Hadits tersebut, adalah: -
a. Mempelajarinya
b. Menghafalnya
c. Memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya
d. Menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab­kitab yang telah ada tersebut.

3.21     CIRI-CIRI SISTEM PEMBUKUAN HADITS PADA PERIODE INI

            Ulama Hadits pada periode ini, selain menyusun kitab-kitab Hadits seperti yang telah ditempuh oleh Ulama pada periode sebelumnya, misal­nya dengan sistem mushannaf dan musnad, juga menyusun kitab dengan sistem baru. Yakni yang dikenal dengan istilah:
1. Kitab Athraf
Yakni kitab Hadits yang hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan-matan Hadits tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab Hadits yang dikutip matan­nya itu maupun dari kitab-kitab lainnya. Misalnya:
1. Athrafus Shahihaini, susunan Ibrahim Ad-Dimasyqy (wafat th. 400 H)
2. Athrafus Shahihaini, susunan Abu Muhammad Khalaf Ibnu Muhammad Al-Wasithy (401 H)
3. Athrafus Sunanil Arba’ah, susunan Ibnu Asakir Ad-Dimasyqy (571 H)
4. Athraful Kutubis Sittah, susunan Muhammad Ibnu T’hahir Al-Maq­disy (507 H).
2. Kitab Mustakhraj
Yakni kitab Hadits yang memuat matan-matan Hadits yang diri­wayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau kedua-duanya atau lainnya, kemudian si penyusun meriwayatkan matan-matan Hadits tersebut dengan sanad sendiri yang berbeda. Misalnya:
a.       Mustakhraj Shahih Bukhari, susunan Jurjany
b.      Mustakhraj Shahih Muslim, susunan Abu Awanah (316 H)
c.       Mustakhraj Bukhari-Muslim, susunan Abu Bakar Ibnu Abdan As­Sirazy (388 H).
3. Kitab Mustadrak
           Yakni kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. Misalnya:
            1. Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim (321- 405 H)
            2. Al-Ilzamat, susunan Ad-Daraquthny (306 - 385 H). 4. Kitab Jami’
            Yakni kitab Hadits yang menghimpun Hadits-hadits Nabi yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada. Misalnya:
a. Yang menghimpun Hadits-hadits Shahih l3ukhari dan Muslim:
1) Al-Jami’ bainas Shahihaini, susunan Ibnul Furat (Ismail Ibnu Muhammad) - (414 H).
2) Al-Jami’ bainas Shahihaini, susunan Muhammad Ibnu Nashr AI­Humaidy (488 H).
            3) Al-Jami’ bainas Shahihaini, susunan Al-Baghawy (516 H).
b. Yang mengh’impun Hadits-hadits Nabi dari Al-Kutubus Sittah:
1) Tajridus Shihah, susunan Razim Mu’awiyah, kemudian disem­purnakan oleh Ibnul Atsir AI-Jazary pada kitab yang diberinya judul: Al-Jami’ul Ushul li Ahadit5ir Rasul.
     2) Al-Jami’, susunan Ibnu Kharrat (582 H).
c. Yang menghimpun Hadits-hadits Nabi dari berbagai Kitab Hadits:
     1) Mashabihus Sunnah, susunan Al-Baghawy (516 H), kemudian disaring oleh Al-Khatib At-Tabrizy dengan judul: Misykatul Mashabih.
     2) Jami’ul Masanid wal Alqab, susunan Abdur Rahman Ibnu Ali AI-Jauzy (597 H).           Kemudian kitab ini ditertibkan oleh Ath-Tha­bary (964 H).
     3) Bahrul Asanid, susunan Al-Hasan Ibnu Ahmad As-Samarqandy (491 H).
KITAB BERDASAR POKOK MASALAH
Adapun kitab-kitab Hadits yang menghimpun Hadit5-hadits Nabi berdasarkan masalah-masalah tertentu dari kitab-kitab Hadits yang ada, antara lain ialah:
a. Yang menghimpun Hadits-hadits Ahkam:
     1) Muntaqal Akhbar fil Ahkam, susunan Majduddin Abdus Salam Ibnu Abdillah (652      H).
            2). As-Sunanul Kubra, susunan Al-Baihaqy (458 H).
            3). AI-Ahkamus Sughra, susunan Ibnu Kharrat (582 H).
            4) Umdatul Ahkam, susunan Abdul Ghany Al-Maqdisy (600 H).
b. Yang menghimpun Hadits-hadits Targhib wat Tarhib (Hadits yang menerangkan keutamaan amal, menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang/dibenci). At-Targhib wat Tarhib, susunan Al-Mundziry (656 H).
PERIODE KETUJUH ( MULAI PERTENGAHAN ABAD VII SAMPAI SEKARANG )
Periode ini disebut : Masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan dan pembahasan.
A. KEADAAN UMMAT ISLAM PADA PERIODE INI
            melanjutkan penyerangannya ke Haleb, Damaskus, dan lain-lain (658 H). Daulah Ayubiyah di Mesir yang pernah jaya di bawah pahlawan Islam dalam perang salib, telah nintuh dan dikuasai oleh Baulah Mamalik. Melihat mengganasnya penyerangan ten­tara Tartar, maka orang-orang Mesir bertekad melawan tentara Tartar dan akhirnya tentara yang dikuasai oleh cucu Jengis Khan ini, berhasil dihancurkan. Daulah Mamalik, ingin diakui sebagai penguasa dunia Islam. Secara politis, Bani Abbasiyah masih diperlukan namanya untuk kewibawaan daerah-daerah Islam di luar Mesir. Oleh karena itu tatkala salah seorang dari Bani Abbasiyah datang ke Mesir, maka dilantiklah menjadi khalifah oleh raja Adh-Dhahir Baibaras. Sejak tahun pem­baiatan ini, kota Kairo merupakan kota khilafah Bani Abbasiyah, tetapi kekuasaan pemerintahan tetap dipegang oleh Bani Mamalik (dari ketu­runan Bangsa Turki): Tegasnya, khalifah dari Bani Abbasiyah sekedar simbol semata, agar daerah-daerah Islam dapat mengakui Mesir sebagai pusat Pemerintahan Islam.
            Pada permulaan abad VIII, muncullah seorang,tokoh di Turki, ber­nama Utsman Kajuk. la membina kerajaan di Turki dari puing-puing peninggalan Bani Saljuk yang masih ada di Asia Tengah. Utsman ber sama keturunannya berusaha menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya, sehingga dengan demikian Utsman berhasil mem­bangun Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. DaulahLltsmaniyah akhirnya berhasil menaklukkan Konstantinopel dan Mesir, sekahgus
menghilangkan khilafah Abbasiyah. Dan mulai saat itu, berpindahlah khilafah Islamiyah dari Mesir ke Konstantinopel. Daulah Utsmaniyah makin jaya dan besar. Tetapi di balik itu, cahaya Islam di Andalusia yang telah bersinar sekitar delapan abad itu, makin redup dan pudar.
Pada permulaan abad ketiga belas, Mesir di bawah pimpinan Muham­mad Ali, mulai bangkit memulihkan kekuatannya dan berusaha me­ngembaGkan kejayaan Mesir pada masa silam. Bertepatan dengan masa itu pula, kerajaan-kerajaan Eropa telah makin kuat dan ingin menguasai dunia. Kerajaan-kerajaan Eropa yang disemangati oleh perang salib itu, senantiasa berusaha untuk menumbangkan daulah Islamiyah dan meng­uasai kaum muslimin. Akhirnya daulah Utsmaniyah runtuh lalu mereka taklukkan dan cahaya Islam makin meredup karena tekanan para penja­jah. Sulitlah hubungan dari Mesir ke I4ijaz atau ke Syam dan lain-lain, sehingga praktis hilanglah perlawatan para Ulama untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam akibat penjajahan bangsa Eropa terhadap daerah­daerah Islam tersebut.
Ulama-ulama Islam barulah mampu mengadakan kontak antarmere­ka, setelah semangat kebangkitan Islam mulai tumbuh dan mendobrak belenggu penjajahan bangsa Eropa di negara-negara yang penduduknya mayorifas beragama Islam.
B. KEGIATAN ULAMA HADITS PADA PERIODE INI
Dengan latar belakang keadaan politik dunia Islam seperti dikemuka­kan di atas, maka praktis kegiatan periwayatan Hadits yang pada masa sebelumnya banyak dilakukan secara syifahiyah (penyampaian dan pene­rimaan riwayat secara lisan; jadi secara hafalan), sudah tidak lagi banyak dijumpai. Karenanya, penyampaian dan penerimaan riwayat/Hadits banyak dilakukan dengan jalan ijazah dan mukatabah. (Yang dimaksud dengan ijazah dalam hal ini adalah pemberian izin dari seorang syaikh (guru) kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadits yang berasal dari padanya, baik yang tertulis ataupun yang hafalan, beserta kekurangan­’ kekurangan dari riwayat tersebut. Yang dimaksud dengan mukatabah adalah pemberian catatan Hadits dari seorang syaikh/guru kepada orang yang ada di dekatnya atau orang yang jauh, baik catatan itu ditulis sendiri , oleh guru tersebut ataupun dengan cara disuruh orang lain untuk menu­liskannya).
Hanya sedikit sekali Ulama Hadits yang masih mampu menyampai­kan periwayatan Hadits beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna seperti yang telah dilakukan oleh Ulama mutaqaddimin.
Kegiatan yang terbanyak yang dilakukan oleh para Ulama pada pe­riode ini, pada umumnya adalah mempelajari kitab-kitab Hadits yang telah ada, kemudian mengembangkannya, antara lain dengan penyu­sunan kitab-kitab baru yang selain dalam ber tuk seperti yang telah ditempuh oleh Ulama sebelumnya (seperti kitab Jami’, mustakhraj, mus­tadrak clan athraf), juga berupa:
1. Kitab Syarah.Yakni, kitab Hadits yang di dalamnya dimuat uraian dan penjelasan kandungan Hadits dan kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil­dalil yang lain, baik dari Al-Qur’an, dari Hadits maupun dari kaidah­kaidah syara’ lainnya.
2. Kitab Mukhtashar. Yakni kitab Hadits yang berisi ringkasan dari suatu kitab Hadits.
3. Kitab Zaqa’id. Yakni kitab yang di dalamnya dihimpun Hadits-hadits yang terdapat pada suatu kitab tertentu dan Hadits tersebut tidak termaktub dalam kitab-kitab tertentu lainnya.
4. Kitab Penunjuk (kode indeks) Hadits. Yakni kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis, biasanya berupa kode-kode huruf dan angka tertentu, untuk mempermudah menda­patkan/mencari matan Hadits di kitab-kitab tertentu.
5. Kitab Terjemah Hadits. Yakni kitab/buku pengalih bahasa kitab-kitab Hadits dari bahasa Arab ke bahasa lain, atau sebaliknya. Sejak akhir abad XIV H di Indonesia telah mulai kegiatan penerjemahan kitab-kitab Hadits ke dalam bahasa Indonesia, baik kitab jami’, kitab Hadits Ahkam, mau­pun kitab syarah.
C. MACAM-MACAM KITAB HADITS PADA PERIODE INI
Kitab-kitab Hadits yang telah disusun pada periode ini, di antaranya yang berupa:
a. Kitab jami’ antara lain:
1) Jami’ul Masanid was Sunan, oleh Ibnu Katsir (774 H). Kitab ini merupakan himpunan dari Hadits-hadits yang terdapat di kitab­nya Bukhari, Muslim, Abu Daud At Turmudzi, An-Nasa’iy, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Bazzar, Abu Ya’la dan At-Thabary.
2) Jami’ul Jawami’,.oleh As-Suyuthy (911 H).Kitab ini menghimpun Hadits-hadits dari AI-Kutubus Sittah.
3) At-Taj Al-Jami’ lil Ushul li Ahaditsir Rasul, oleh Syekh Man­shur Ali Nashif (Ulama “Al-Azhar” Mesir; diterbitkan pertama kali tahun 1351 H/1932 M).
4) Zadul Muslim fi mat Tafaqa ‘alaihil Bukhari wa Muslim, oleh Habibuilah As-Syanqithy. Kitab ini memuat 1200 Hadits yang disepakati Bukhari-Muslim, disusun secara alfabetis.
5) Al-Lu’lu’u wal Marjan, oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy. Kitab yang menghimpun Hadits-hadits Bukhari-Muslim.
b. Kitab yang membahas masalah tertentu, antara lain:
- Yang membahas masalah hukum:
            1) Al-Imam fi Ahaditsil Ahkam, oleh Ibnu Daqiqil Id (702 H).
     2) Taqribul Asanid wa Tartibul Masanid, oleh Al-Iraqy (806 H).
     3) Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, oleh Ibnu Hajar Al­Asqalany (852 H).
     4) Koleksi Hadits-hadits Hukum, oleh Prof. Dr. TM. Hasbi As­Shiddieqy.
- Yang berisi Targhib dan Tarhib, antara lain:
            1) Riyadush Shalihin, oleh Imam Nawawy (676 H).
- Yang berisi Dzikir dan Do’a, antara lain:
            1) Al-Qaulul Badi’, oleh As-Sakhawy (902 H).
            2) AI-Hishnul Hashin, oleh Ivluhammad Al-Jazary (833 H).

Kitab syarah, antara lain:
- Syarah untuk Shahih Bukhari, antara lain:
            1) Fathul Bary, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalany.
            2) Irsyadus Sary, oleh Muhammad Al-Qasthalany (923 Hijry).

            Miftah Kunuzis Sunnah, oleh Prof. Dr. A.J. Winsink. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqy. Kitab ini memberi petunjuk untuk mencari matan­matan Hadits yang terdapat dalam 14 kitab Hadits (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Jami’ At-Turmudzi, Sunan An-Nasa’iy, Sunan Ibnu Majah, Sunan Ad-Darimy, Muwaththa’ Malik, Musnad Zaid bin Ali, Musnad Abu Daud At-Thayalisy, Musnad Ahmad, Thabaqah Ibnu Saad, Sirah Ibnu Hisyam dan AI-Maghazy Al-Waqidy).

1) AI-It-hafatus Saniyyah, oleh Al-Mannawy.
2) Al-Kalimatut Tayyibah, oleh Ibnu Taimiyah.
3) Adabul Ahaditsil Qudsiyah, oleh Dr. Ahmad As-Syarbashy.



Nama-nama kitab hadist dan biografi pengarangnya.

3.22 KITAB-KITAB HADIST PADA ABAD ke I H


1. Ash-Shahifah oleh Imam Ali bin Abi Thalib.
2. Ash-Shadiqah oleh Imam Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
3. Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim ( 50 – 124 H ).
4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin.

Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan keterangan sejarah saja.

3.23 Biografi singkat pengarang.

BIOGRAFI RINGKAS IMAM ALI BIN ABI THALIB


            Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib as, bergelar Amirul Mukminin, sementara julukannya adalah Abu Al-Hasan atau Abu Turab. Imam Ali dilahirkan dari pasangan suami istri yang taqwa dan beriman kepada Allah dan rasulnya yang bernama Abu Thalib [as] paman Rasululullah saww, sementara ibunya bernama Fatimah binti Asad. Beliau dilahirkan di kota Makkah tepat pada Hari, Jum'at 13 Rajab. Ahli sejarah mengatakan bahwa umur beliau 63 Tahun, dan wafat beliau bertepatan pada hari Malam Jum' at, 21 Ramadhan 40 H. Beliau syahid di tangan si durjana Abdurrahman ibnu Muljam dengan cara menikam dari belakang dengan pedang disaat beliau tengah berdoa dihadapan tuhannya pada shalat subuh. Beliau dimakamkan di kota Najaf As-syarif [Iraq].

            Sejarah mencatat bahwa jumlah anak Imam Ali bin Abi Thalib berjumlah 36 orang, 18 laki-laki dan 18 perempuan. Anak laki-laki beliau adalah 1. Hasan Mujtaba, 2. Husein, 3. Muhammad Hanafiah, 4. Abbas al-Akbar, yang dijuluki Abu Fadl, 5. Abdullah al-Akbar, 6. Ja’far al-Akbar, 7. Utsman al- Akbar, 8. Muhammad al-Ashghar, 9. Abdullah al-Ashghar, 10. Abdullah, yang dijuluki Abu Ali, 11. ‘Aun, 12. Yahya, 13. Muhammad al Ausath, 14. Utsman al Ashghar 15.Abbas al-Ashghar, 16. Ja’far al-Ashghar, 17. Umar al-Ashghar, 18. Umar al-Akbar. Sementara anak perempuan beliau adalah 1. Zainab al-Kubra, 2. Zainab al-Sughra, 3.Ummu al-Hasan, 4. Ramlah al-Kubra, 4. Ramlah al-Sughra, 5. Ummu al-Hasan, 6. Nafisah, 7. Ruqoiyah al-Sughra, 8. Ruqoiyah al-Kubra, 9. Maimunah, 10. Zainab al-Sughra, 11. Ummu Hani, 12. Fathimah al-Sughra, 13.Umamah, 14.Khodijah al-Sughra, 15 Ummu Kaltsum, 16. Ummu Salamah, 17. Hamamah, 18. Ummu Kiram. Putra dan putri imam Ali as di atas mencakup juga anak-anak dari nasab Sayyidah fatimah as.
            Imam Ali bin Abi Thalib a.s. adalah sepupu Rasulullah saww. Dikisahkan bahwa pada saat ibunya. Fatimah hinti Asad, dalam keadaan hamil, beliau masih ikut bertawaf disekitar Ka'bah. Karena keletihan yang dialaminya lalu si ibu tadi duduk di depan pintu Ka'bah seraya memohon kepada Tuhannya agar memberinya kekuatan. Tiba-tiba tembok Ka'bah tersebut bergetar dan terbukalah dindingnya. Seketika itu pula Fatimah binti Asad masuk ke dalamnya dan terlahirlah di sana seorang bayi mungil yang kelak kemudian menjadi manusia besar, Imam Alibin Abi Thalib.a.s.
            Membicarakan tentang Imam Ali bin Abi Thalib maka, kita tidak dapat memisahkannya dengan Rasulullah saww. Sebab sejak kecil beliau telah berada dalam didikan madrasah Rasulullah saww, sebagaimana dikatakannya sendiri: "Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku menyertai beliau kemanapun beliau pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru dari karakternya yang mulia dan aku menerima serta mengikutinya sebagai suatu perintah".
            Setelah Rasulullah saww mengumumkan tentang kenabiannya, beliau menerima dan mengimaninya dan termasuk orang yang masuk islam pertama kali dari kaum laki-laki. Apapun yang dikerjakan dan diajarkan Rasulullah kepadanya, selalu diamalkan dan ditirunya. Sehingga beliau tidak pernah terkotori oleh kesyirikan atau tercemari oleh karakter, hina dan jahat dan tidak juga tidak ternodai oleh kemaksiatan sama sekali. Kepribadian beliau telah menyatu dengan kepribadian Rasululullah saww, baik dalam karakternya, pengetahuannya, pengorbanan diri, kesabaran, keberanian, kebaikan, kemurahan hati, kefasihan dalam berbicara dan berpidato.

            Sejak masa kecilnya beliau selalu menolong Rasulullah saww dan terpaksa harus menggunakan kepalan tangannya dalam mengusir anak-anak kecil serta para gelandangan yang diperintah kaum kafir Qurays untuk mengganggu dan melempari batu kepada diri Rasulullah saw.

            Sejarah juga telah menjadi saksi nyata atas keberaniannya. Di setiap peperangan, beliau selalu saja menjadi orang yang terkemuka. Di perang Badar, hampir separuh dari jumlah musuh yang mati, tewas di ujung pedang Imam Ali a.s. Di perang Uhud, dimana musuh Islam lagi-lagi dipimpin oleh Abu Sofyan dan keluarga Umayyah yang sangat memusuhi Nabi saww, Imam Ali a.s kembali memerankan peran yang sangat penting yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi mendengarkan wasiat Rasulullah agar tidak turun dari atas gunung, namun mereka tetap turun sehingga orang kafir Qurays mengambil posisi mereka, lmam Alibin Abi Thalib a.s. segera datang untuk menyelamatkan diri nabi dan sekaligus menghalau serangan itu.

            Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Imam Ali bin Abi Thalib a.s. ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Demikian pula halnya dengan perang Khaibar, di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saww ber-sabda: "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya". Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Imam Ali bin Abi Thalib a.s. yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya hingga terbelah menjadi dua bagian.
            Begitulah kegagahan yang ditampakkan oleh Imam Ali dalam menghadapi musuh islam serta dalam membela Allah dan Rasul-Nya. Tidak syak lagi bahwa seluruh kebidupan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dipersembahkan untuk Rasulnya demi keberhasilan proyek dan keinginan Allah. Kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah benar-benar terbukti lewat perjuangannya. Penderitaan dan kesedihan dalam medan perjuangan mewarnai kehidupannya. Namun, penderitaan dan kesedihan yang paling dirasakan adalah saat ditinggalkan Rasulullah saww. Tidak cukup itu, 75 hari kemudian istrinya, Fatimah Zahra as, juga meninggal dunia.

            Kepergian Rasululullah saw telah membawa angin lain dalam kehidupan Imam Ali a.s. Pagelaran sandiwara atas nama demokrasi di Saqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama, baru didengarnya setelah pulang dari kuburan Rasulullah saww. Sebab, pemilihan khalifah itu menurut sejarah memang terjadi saat Rasulullah belum di makamkan. Pada tahun ke-13 H, khalifah pertama, Abu Bakar as-Shiddiq, meninggal dunia dan menunjuk khalifah ke-2, Umar bin Khaththab sebagai penggantinya. Sepuluh tahun lamanya khalifah ke-2 meimpin dan pada tahun ke-23 H, beliau juga wafat. Namun, sebelum wafatnya, khalifah pertama telah menunjuk 6 orang calon pengganti dan Imam Ali a.s. termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terpilihlah khalifah Utsman bin Affan. Sedang Imam Ali bin Abi Thahb a.s. tidak terpilih karena menolak syarat yang diajukan Abdurrahman bin Auf yaitu agar mengikuti apa yang diperbuat khalifah pertama dan kedua dan mengatakan akan mengikuti apa yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

            Pada tahun 35 H, khalifah Utsman terbunuh dan kaum muslimin secara aklamatis menunjuk Imam Ali sebagai khalifah dan pengganti Rasululullah saww dan sejak itu beliau memimpin negara Islam tersebut. Selama masa kekhalifahannya yang hampir 4 tahun 9 bulan, Imam Ali mengikuti cara Nabi dan mulai menyusun sistim yang islami dengan membentuk gerakan spiritual dan pembaharuan.
            Dalam merealisasikan usahanya, beliau menghadapi banyak tantangan dan peperangan, sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan pembaharuan yang dicanangkannya dapat merongrong dan menghancurkan keuntungan-keuntungan pribadi dan beberapa kelompok yang merasa dirugikan. Akhirnya, terjadilah perang Jamal dekat Bashrah antara beliau dengan Talhah dan Zubair yang didukung oleh Mua'wiyah, yang di dalamnya Aisyah "Ummul Mukminin" ikut keluar untuk memerangi Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Peperangan pun tak dapat dihindari, dan akhirnya pasukan Imam Ali a.s berhasil memenangkan peperangan itu sementara Aisyah "Ummul Mu'rninin" dipulangkan secara terhormat kerumahnya.
            Kemudian terjadi "perang Siffin" yaitu peperangan antara beliau a.s. melawan kelompok Mu'awiyah, sebagai kelompok oposisi untuk kepentingan pribadi yang merongrong negara yang sah. Peperangan itu terjadi di perbatasan Iraq dan Syiria dan berlangsung selama setengah tahun. Beliau juga memerangi Khawarij (orang yang keluar dan lingkup Islam) di Nahrawan, yang dikenal dengan nama "perang Nahrawan". Oleh karena itu, hampir sebagian besar hari-hari pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib a.s digunakan untuk peperangan interen melawan pihak- pihak oposisi yang sangat merongrong dan merugikan keabsahan negara Islam dan kedudukan Imam Ali.
            Akhirnya, menjelang subuh, 19 Ramadhan 40 H, ketika sedang salat di masjid Kufah, kepala beliau ditebas dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam. Menjelang wafatnya, pria sejati ini masih sempat memberi makan kepada pembunuhnya. Singa Allah, yang dilahirkan di rumah Allah "Ka'bah" dan dibunuh di rumah Allah "Mesjid Kufah", yang mempunyai hati paling berani, yang selalu berada dalam didikan Rasulullah saww sejak kecilnya serta selalu berjalan dalam ketaatan pada Allah hingga hari wafatnya, kini telah mengakhiri kehidupan dan pengabdiannya untuk Islam[8].

3.23.1  Riwayat Hidup ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash

            ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash bin Wail bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’d bin Sahm bin Amr bin Hushaish bin Ka’b bin Luay bin Ghalib. Ada lagi yang mengatakan, bahwa namanya adalah Al-’Ash. Ketika masuk Islam maka Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam merubahnya dengan nama ‘Abdullah. (Siyar III/180).
            ‘Abdullah bin ‘Amr diberi kun-yah (panggilan kehormatan) dengan nama Abu Muhammad, ada yang mengatakan ‘Abdurrahman, ada yang mengatakan Abu Nushair Al-Quraisy As-Sahmi. Ibunya bernama Raithah binti Munabbah bin Al-Hajaj bin ‘Amr bin Hudzaifah bin Sa’d bin Sahm bin ‘Amr bin Hushaish bin Ka’b bin Luay.[9]

3.24 KITAB-KITAB HADITS PADA PERIODE IV (ABAD II HIJRY)

            Di antara kitab-kitab/dewan Hadits yang disusun pada abad II Hijry, periode IV ini, yang sangat mendapat perhatian dari kalangan Ulama, ialah:
1.      Al-Muwattha’, disusun oleh Imam Malik bin Anas, atas permintaan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur.
2.      Musnad Asy-Syafi’i, susunan Imam Syafi’i. Dewan Hadits ini, meru­pakan kumpulan Hadits-hadits yang terdapat dalam kitab beliau yang bernama “Al-Um”.
3.      Mukhtaliful Hadits, disusun oleh Imam Syafi’i. Di dalamnya, dibahas tentang cara.-cara menerima Hadits sebagai hujjah clan cara-cara mengkompromikan Hadits yang nampak kontradiksi satu sama lain.
4.              As-Siratun Nabawiyah, disusun oleh Ibnu Ishaq. Berisi, antara lain tentang perjalanan hidup Nabi dan peperangan-peperangan zaman Nabi. j.   Al Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
5.              Al Musnad, susunan Zaid ibn All
6.              Al Musnad, susunan Al Imam Asy Syafi'y (204 H)
7.              Al Masghazy wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (ISO H).
8.              Al Jami1, susunan Abdur Razzaq As San'any (211 H)
9.              Al Mushannaf, susunan Syu'bah Ibn Hajjaj (160 H)
10.       Al Mushannaf, susunan Sufyan ibn TJyainah (198 H).
11.       Al Mushannaf, susunan AlLaits ibn Sa'ad( 175 H)
12.       Al Mushannaf, susunan Al Auza'y (150 H)  
13.       Al Mushannaf, susunan Al Humaidy (219 H)[10]

3.25              Biografi singkat pengarang

3.25.1  Biografi singkat Al Imam Asyafi’i

            Kelahiran

            Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

             Nasab

            Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
            Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
            Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
            Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.
—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66

            Masa belajar

            Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

            Belajar di Makkah

            Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
            Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
            Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

            Belajar di Madinah

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
            Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
            Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
            Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.[11]

Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 Hijrah.

1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari (194-256 H).
2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204-261 H).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi (209-279 H).
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'at (202-275 H).
5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya'ab an-Nasai (215-303 H).
6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri
(181-255 H).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209 - 273 H).
8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H).
12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa'id bin Manshur (wafat 227 H).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H).
15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
16. Al-Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa (wafat 213 H).
17. Al-Musnad oleh Abdibni ibn Humaid (wafat 249 H).
18. Al-Musnad oleh Imam Abu Ya'la (wafat 307 H).
19. Al-Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi (282 H).
20. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim Ahmad bin Amr asy-Syaibani (wafat 287 H).
21. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Abi'amrin Muhammad bin Yahya Aladani (wafat 243 H).
22. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin al-Askari (wafat 282 H).
23. Al-Musnad oleh Imam bin Ahmad bin Syu'aib an-Nasai (wafat 303 H).
24. Al-Musnad oleh Imam Ibrahim bin Ismail at-Tusi al-Anbari (wafat 280 H).
25. Al-Musnad oleh Imam Musaddad bin Musarhadin (wafat 228).

3.26 Tokoh-tokoh Hadits pada Abad 3

            Di antara tokoh-tokoh hadits yang lahir dalam masa ini ialah Ali Ibn al-Madiny, Abu Hatim ar-Razy, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabary, Muhmmad Ibn Sa’ad, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, al-Bukhary, Muslim, An-Nasa’y, Abu Daud, At-Tarmidzy, Ibnu Majah, Ibnu Qutaibah, Ad-Dainury.

3.26.1  Biografi Imam bin Ahmad bin Hambal

         Setiap kali membaca biografi Ahmad bin Hambal, kita akan bertemu dengan sosok
yang gigih dalam membela sifat-sifat Allah yang haq, meskipun beliau disiksa bertahun
-tahun lamanya. Tidak gentar, tidak berpaling, dan tidak mengerahkan murid-muridnya
untuk melawan penguasa, tetapi malah selalu mendoakan pemimpin (meski mereka
amat sangat zalim sekali)
, sebagaimana beliau pernah berkata, “Sekiranya saya memiliki
doa yang pasti terkabul, tentu doa itu kutujukan untuk pemimpin”.

            Nasab dan Kelahirannya
            Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Nasab beliau bertemu
dengan nasab RasuluLlah
sholaLlahu a’laihi wasallam pada diri Nizar bin Ma’d bin
‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
            Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa-tempat
tinggal sang ayah-, ke kota Baghdad. Di kota itulah beliau dilahirkan, tepatnya pada
bulan Rabi’ul Awwal 164H. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30
tahun, ketika beliau baru berumur 3 tahun.
            Masa Menuntut Ilmu
            Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang
ayah meninggalkan dua rumah untuk mereka: satu ditempati sendiri, dan satunya
disewakan dengan harga sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan
keadaan syaikhnya, Imam Syafi’i,
yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai
semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka
kepada kemajuan dan kemuliaan.
            Beliau mendapatkan pendidikan pertamanya di Baghdad.Setamatnya menghafal
AlQuran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttan saat berusia 14 tahun,
beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Perhatian beliau saat itu tengah tertuju
pada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Orang pertama tempat
mengambil hadits adalah Al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah. Pada
usia 16 tahun, Imam Ahmad mulai tertarik untuk menulis hadits. Beliau melakukan
mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim Al-Wasithy hingga
syaikhnya wafat, dan telah belajar lebih dari 300.000 hadits.
            Pada umur 23 tahun, beliau mulai mencari hadits ke Bashrah, Hijaz, Yaman, dan kota
lain. Selama di Hijaz, beliau banyak mengambil hadits dan faidah dari Imam Syafi’i,
bahkan Imam Syafi’i sendiri amat memuliakan Imam Ahmad dan menjadikan beliau
sebagai rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Demikianlah ketekunan
beliau, sampai-sampai beliau baru menikah di usia 40 tahun. Seseorang pernah berkata
kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah menjadi imam kaum muslimin”.
Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah(kubur). Aku
akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur”. Beliau senantiasa seperti itu:
menekuni hadits, memberi fatwa, dsb. Banyak ulama yang pernah belajar kepada
beliau, semisal kedua putranya, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zur’ah, dan lain-
lain.
            Kitab-kitab beliau
            Kitabnya yang terkenal, al-Musnad, beliau susun dalam waktu 60 tahun sejak beliau
pertama kali tertarik menulis hadits. Beliau juga menyusun kitab Al-Manasik ash-
Shaghir dan Al-Kabir, kitab Az-Zuhud, Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah wa az-Zindiqiyyah,
kitab as-Sholah, as-Sunnah, al-Wara’ wa al-Iman, al-’Ilal wa ar-Rijal,Fadhail ash-
Shahabah, dan lain-lain[12]

3.26.2  Biografi Imam Bukhari

            Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
            Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
            Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
            Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
            Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
            Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
            Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
            Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
            Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

Adapun kitab-kitab hadits yang termasyhur pada abad ke 4 diantaranya adalah :

  1. Al Mu’jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  2. Al Mu’jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  3. Al Mu’jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
  5. Ash-Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
  6. At Taqasim wal Anwa’ oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
  7. As-Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (w. 354 H/ 965 M)
  8. Ash-Shahih oleh Imam Abu ‘Awanah Ya’qub bin Ishaq (w. 316 H).
  9. Al Muntaqa` oleh Imam Ibnu Saqni Sa’id bin ‘Usman al-Baqhdadi (w. 353 H / 964 M)
  10. As-Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  11. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
  12. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (w. 301 H / 913 M)

3.27 Biografi Ibnu Khuzaimah (223-311 H)

            Ibnu Khuzaimah (223-311 H)

           Ibnu Khuzaimah nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Naisaburi. Ia lahir pada bulan Safar 223 H (838 M) di Naisabur (Nisapur), sebuah kota kecil di Khurasan, yang sekarang terletak di bagian timur negara Iran.

            Sejak kecil ia telah mempelajari al-Qur’an, setelah itu konon ia sangat ingin untuk melawat menemui Ibn Qutaibah (wafat tahun 240 H) guna mencari dan mempelajari hadits. Lantas ia meminta izin kepada ayahnya namun ayahnya meminta agar puteranya terlebih dahulu mempelajari al-Qur’an hingga benar-benarn memahaminya. Setelah dianggap mampu memahami al-Qur’an barulah ia diizinkan oleh ayahnya mencari dan mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan melawat ke Marwa dan menemui Muhammad bin Hisyam serta Ibnu Qutaibah.

            Sejak itulah, yakni sekitar tahun 240 H, ketika Ibnu Khuzaimah berusia tujuh belas tahun, ia giat mengadakan lawatan intelektual ke berbagai kawasan Islam. Di Naisabur ia belajar kepada Muhammad bin Humaid (wafat tahun 230 H), Ishaq bin Rahawaih (wafat 238 H) dan lain-lain. Di Marwa kepada ‘Ali bin Muhammad, di Ray kepada Muhammad bin Maran dan lain-lain, di Syam kepada Musa bin Sahl al-Ramli dan lain-lain, di Jazirah kepada ‘Abdul Jabbar bin al-A’la dan lain-lain, di Mesir kepada Yunus bin ‘Abdul al-A’la dan lain-lain, di Wasit kepada Muhammad bin Harb dan lain-lain, di Baghdad kepada Muhammad bin Ishaq al-Sagani dan lain-lain, di Basrah kepada Nashr bin ‘Ali al-Azadi al-Jahdimi dan lain-lain, dan di Kufah kepada Abu Kuraib Muhammad bin al-A’la al-Hamdani dan lain-lain.

            Selain itu ia pun banyak meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Mani’, Muhammad bin Rafi’, Muhammad bin Basyar, Bandar Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Muhammad bin Yahya al-Zuhali, Ahmad bin Sayar al-Marwazi dan sebagainya. Iapun menerima hadits dari imam al-Bukhari, Muslim dan Khalaq. Guru-guru imam Ibnu Khuzaimah memang sangat banyak jumlahnya. Dalam periwayatan hadits ia tidak mau menyampaikan hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah ia terima dari guru-gurunya sebelum betul-betul memahaminya, dan seringkali ia memperlihatkan cacatan-cacatannya kepada guru-gurunya.
Demikian juga dengan orang-orang atau murid-murid yang pernah meriwayatkan hadits dari Ibnu Khuzaimah jumlahnya sangat banyak, sejumlah guru pun ada yang menerima hadits darinya, seperti al-Bukhari, Muslim dan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam. Diantara murid-murid Ibnu Khuzaimah ialah Yahya bin Muhammad bin Sa’id, Abu ‘Ali an-Naisaburi dan Khala’iq. Yang paling akhir meriwayatkan hadits darinya di Naisabur ialah cucunya sendiri yaitu Abu Thahir Muhammad bin al-Fadl.

            Hadits-haditsnya pun banyak diriwayatkan oleh ulama-ulama terkemuka pada zamannya. Diantara yang meriwayatkan hadits darinya ialah Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub at-Tabra’i, Abu Hatim, Muhammad bin Hibban al-Busyti, Abu Ahmad, Abdullah ibn Abdul Jurjani, Abu Ishaq Ibrahim bin Abdullah bin al-Albihani, Abu Bakar Muhammad bin Ismail as-Sasi, al-Qafal al-Kabir dan lain-lain.

            Berkat kecerdasan dan keuletannya dalam mencari ilmu pengetahuan, akhirnya beliau menjadi seorang imam besar di Khurasan. Iapun banyak menggeluti hadits dengan mempelajari dan mendiskusikannya. Karena itulah ia terkenal sebagai seorang hafizh dan digelari Imam al-A’immah (pemimpin diantara para pemimpin).

            Dari segi kepribadiannya pun Ibnu Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat baik. Banyak orang yang memberikan kesaksian dan komentar tentang hal ini. Ia dikenal sebagai orang yang berani menyampaikan kebenaran, kritik dan koreksi sekalipun terhadap penguasa, terutama jika berkaitan dengan penyampaian hadits yang keliru. Hal ini, misalnya ia lakukan ketika mengkritik Ismail bin Ahmad, salah seorang penguasa pada saat itu, yang menyampaikan hadits yang didalam sanadnya terdapat periwayatan yang tidak jelas yaitu Abu Zar al-Qadhi. Demikian lah kesaksian yang diberikan oleh Abu Bakar bin Baluih.
Iapun dikenal sangat dermawan dan suka bersedaqah. Abu Tahir Muhammad bin al-Fadl (wafat tahun 387 H), cucu Ibnu Khuzaimah menyatakan bahwa kakeknya suka bekerja keras dan suka memberi urang dan pakaian kepada pecinta ilmu meskipun sesungguhnya yang dimilikinya itu sangat terbatas. Sementara al-Hakim menyatakan bahwa Ibnu Khuzaimah sering melakukan dakwah secara besar-besaran di Bustan. Acara tersebut dihadiri oleh banyak orang, baik kaya maupun miskin.

            Selain itu, iapun dikenal memiliki kecerdasan atau daya hafal yang luar biasa. Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Hafiz an-Naisaburi berkata, “Aku belum pernah menemukan orang sehebat Muhammad bin Ishaq (Ibnu Khuzaimah). Beliau sangat mampu menghafal hukum-hukum fiqih dari hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dari hafalan al-Qur’an”. Hal senada juga juga dikemukakan oleh ad-Daraquthni yang menyatakan bahwa ia adalah seorang pakar hadits yang sangat terpercaya dan sulit mencari bandingannya. Sementara itu, Ibnu Abi Hatim memberikan komentar bahwa Ibnu Khuzaimah adalah orang yang sangat mumpuni. Ar-Rabi’, salah seorang guru Ibnu Khuzaimah dalam bidang fiqih, disamping Ibnu Rahawaih dan al-Muzani, juga menuturkan secara tulus bahwa iapun banyak memperoleh manfaat dari Ibnu Khuzaimah.

            Selama masa hayatnya, Ibnu Khuzaimah banyak menghasilkan karya tulis. Abu Abdullah al-Hakim menyebutkan bahwa karya Ibnu Khuzaimah mencapai lebih dari 140 buah. Sayangnya sebagian besar karya-karya beliau tidak sampai ke tangan kita, meskipun sekedar nama ataupun judulnya. Karyanya yang masih dapat dijumpai sampai saat ini hanya dua, yaitu kitab at-Tauhid dan Kitab Shahih (Mukhtashar)-nya (yang lebih populer dengan nama Shahih Ibnu Khuzaimah-red). Namun berdasarkan penyelusuran M.M. Azhami terhadap kedua kitab tersebut di dalamnya beliau menemukan ada 35 buah nama “kitab” yang pernah disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah. Nama-nama kitab yang disebutkan itu ialah: 1) al-Asyribah, 2) al-Imamah, 3) al-Ahwal, 4) al-Iman, 5) al-Iman wa al-Nuzur, 6) al-Birr wa al-Silah, 7) al-Buyu, al-Tafsir, 9) at-Taubah, 10) al-Tawakkal, 11) al-Jana’iz, 12) al-Jihad, 13) al-Du’a, 14) al-Da’awat, 15) Zikr Na’im al-Jannah, 16) Zikr Na’im al-Jannah, 17) al-Sadaqat, 18) al-Sadaqat min Kitabihi al-Kabir, 19) Sifat Nuzul al-Qur’an, 20) al-Mukhtashar min Kitab al-Salah, 21) al-Salat al-Kabir, 22) al-Salah, 23) al-Siyam, 24) al-Tibb wa al-Raqa, 25) al-Zihar, 26) al-Fitan, 27) Fadl Ali bin Abi Thalib, 28) al-Qadr, 29) al-Kabir, 30) al-Libas, 31) Ma’ani al-Qur’an, 32) al-Manasik, 33) al-Wara’, 34) al-Wasaya, dan 35) al-Qira’ah Khalfa al-Imam.

            Dari penyebutan 35 nama kitab diatas, menurut M.M. Azhami termasuk-termasuk “Kitab” terdapat dapat memiliki tiga kemungkinan: (1) merupakan judul atau nama buku tersendiri, (2) hanya merupakan bagian atau bab dari satu buku, dan (3) dapat pula berarti kedua-duanya, yakni terkadang sebagai judul atau nama buku tersendiri, dan terkadang sebagai bagian atau bab dari suatu buku. M.M. Azhami berpendapat bahwa kemungkinan yang terakhirlah yang lebih kuat. Ia mengakui bahwa para ulama hadits seringkali menyusun kitab atau bukunya terdiri dari beberapa “kitab”. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam Kitab Shahih al-Bukhari yang terdiri dari beberapa kitab yaitu (1) Kitab al-Iman, (2) Kitab al-Ilmi, (3) Kitab al-Wudlu, dan seterusnya.
            Setelah mengisi masa hidupnya dengan berbagai perjuangan dan pengabdian, akhirnya pada malam sabtu tanggal 2 Zulqai’dah 311 H, Ibnu Khuzaimah wafat dalam usia kurang lebih 89 tahun. Jenazahnya dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan di bekas kamarnya yang kemudian dijadikan makam[13].





BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN


1. Perkembangan hadits pada masa Rasulullah bercorak antar lisan dan mengalami pelarangan penulisan dengan alasan di antaranya; khawatir tercampur dengan al-Qur'an.
2. Pada masa Khulafa' al-Rasyidin, hadits mengalami pasang surut dengan adanya pembatasan periwayatan pada masa Khalifah Abu Bakar – Umar r.a dan perluasan periwayatan pada masa Khalifah Utsman – Ali r.a
3. Pada masa tabi'in, hadits lebih banyak diriwayatkan oleh perawi. Namun, pada masa itu, banyak bermunculan hadits-hadits palsu yang bernuansa kepentingan politik golongan.



DAFTAR PUSTAKA



Dr. H. Moh. Amin, Dkk. 1996, QUR`AN HADITS II, Jakarta ; DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN DAN PELEMBAGAAN AGAMA ISLAM DAN UNIVERSITAS TERBUKA

Teungku Muhammah Hasbi Ash Shiddieqy. 1999, SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU HADITS, Semarang ; PT. Pustaka Rizki Putra.

Drs. Munzier suparta, M.A. 2001, ILMU HADITS. Jakarta ; PT. Rajagrafindo Persada.







[1] Drs. Munzier Suparta M. A, Ilmu Hadist, (Jakarta : P.T Rajagrafindo Persada . 2001)  halaman : 74
[2].Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang : PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 32.
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang : PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 34
[4] Drs. Munzier Suparta M. A, Ilmu Hadist, (Jakarta : P.T Rajagrafindo Persada . 2001)  halaman : 82.
[5] [5].Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang : PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 51
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang : PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 58.
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang : PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 62.
[8]http://forum.cintarasul.co.id/viewtopic.php?t=2440&start=0&postdays=0&postorder=asc&highlight=&sid=f871a986913fdbd205d34af55a5dd174
[9] http://ririact.ngeblogs.com/2009/11/10/kehidupan-abdullah-bin-amr-bin-ash/
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejaraah dan pengantar ilmu hadist(Semarang : PT Pustaka Riski Putra, cetakan keempat, 1999) halaman : 62.
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi%27i#Kelahiran_dan_kehidupan_keluarga
[12] http://hambawang.blogspot.com/
[13] http://hambawang.blogspot.com/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

RiswandArt mengatakan...

izin save artikelnya mas

Posting Komentar