1. Jelaskan
pengetian ulumul hadist, tujuan ulumul hadist ?
Pembahasan
:
Ulumul Hadis adalah
istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist).
‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum
dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”;
sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.”
dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu
yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”. Sedangkan pengertian hadist
adalah berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun
persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam
agama. Tujuan mempelajari ilmu hadis
adalah untuk membedakan antara hadis sahih dan dha’if.
2. Jelaskan
pengertian sunnah dan atsar ?
Pembahasan :
Sunnah menurut
bahasa adalah (jalan yang terpuji atau tercela) sedangkan menurut istilah,
sunnah adalah segala yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik perkataan,
perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya, baik sebelum
diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya. Atsar menurut bahasa adalah bekasan
sesuatu atau sisa sesuatu dan berarti nukitan atau yang dinukitkan. Sedangkan
menurut itstilah atsar ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw, Sahabat dan Tabi’in.
3.
Jelaskan pengertian Sanad, matan dan rawy dan
jelaskan perbedaannya ?
Pembahasan:
Kata sanad secara
etimologis, berakar dari kata sanada-yasnudu, yang
berarti ”sandaran”, atau sesuatu yang dijadikan sandaran (mu’tamad)
sedangkan menurut istilah sanad adalah “silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada
matan hadits”. Kata matan atau al- matnu. Menurut bahasa berarti Sesuatu yang keras dan
tinggi (terangkat) dari bumi (tanah). Sedangkan menurut istilah adalah
“Beberapa lafadz hadist yang membentuk beberapa makna”. Kata “rawi” atau
“al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (naqil
al-hadits).
Antara sanad dan rawi itu
merupakan dua isilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad hadits pada tiap-tiap
tabaqahnya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang
meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan etapi yang memnbedakan rawi dan sanad
adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits. Orang yang menerima
hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan
perawi. Dengan demikian, maka perawi juga disebut mudawwin atau (orang yang membukukan
dan menghimpun hadits).
4.
Sebutkan salah satu contoh hadist yang lengkap
dengan sanad, matan dan rawinya?
Pembahasan
:
Artinya : Telah menceritakan kepada kami
al-Humaidi, Abdullah bin az-Zubair, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan,
ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id al-Anshari, ia
berkata; Telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin Ibrahim at-Taimi
bahwasannya ia mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laitsi berkata; Aku mendengar
Umar bin Khaththab ra berkata di atas mimbar; Rasulullah saw bersabda;
Sesungguhnya semua perbuatan itu disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap
orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya
(diniatkan) kepada dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya (dibalas) kepada apa yang ia niatkan.
Yang dinamakan Sanad pada hadis di atas adalah
Sedangkan matan pada hadis di atas adalah
5. Jelaskan
apa yang dimaksud dengan Al-Tahamul Wa al- ada’, dan sebutkan Metode penerimaan
sebuah hadits dan juga penyampaianya ?
Pembahasan :
v Al-Sima’
(mendengar)
Yaitu mendengar langsung dari sang
guru. Sima’ mencakup imlak (pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi
informasi). Menurut mayoritas ahli hadits simak merupakan shigat riwayat yang
paling tinggi.
v Al-Qira’ah
(membacakan hadits pada syeikh).
Al-Qira’ah disebut juga
al-‘Ardlu memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada
syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang
ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan
syeikh berada pada posisi mendengarkan.
v
Al-Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Salah satu bentuk menerima hadits dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
v
Al-Munawalah
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah.
Tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah.
v Al-Mukatabah
(menulis).
Yang dimaksud dengan menulis di
sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau
menyuruh orang lain- untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di
hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana
halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan
ijazah dan tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan
kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah
satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari
sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي
فلان.
v Al-I’lam
as-Syaikh (memberitahukan seorang guru).
Al-I’lam as-Syaikh adalah tindakan
seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini
adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan
pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang
murid berkata kepada gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya
menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
v
Al-Washiyat.
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara washiyat.
Al-Washiyat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu washiyat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara washiyat.
v
Al-Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya.
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya.
6. Jelaskan
yang dimaksud dengan hadist Riwayah ?
Pembahasan :
Menurut bahasa riwayah berasal dari kata
rawa-yarwi-riwayatan yang berarti annaql = memindahkan dan penukilan. Sedangkan
ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi Asshalih
adalah :" ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang
periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat
serta segala segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in ".
Jadi jelaslah, dari definisi diatas kita dapat menarik beberapa point , yaitu :
·
Objek Ilmu Hadits Riwayah adalah matan atau isi
hadits yang disandarkan kepada Nabi, Sahabat dan Tabiin.
·
Ilmu Hadits Riwayah mempelajari periwayatan
yang mengakumulasikan apa, siapa dan dari siapa suatu riwayat.
·
Fokus kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Matan
Hadits. Namun tidak mungkin ada matan tanpa disertai Sanad Hadits.
7. Jelaskan
yang dimaksud dengan Hadist Dirayah ?
Pembahasan
:
Dirayah, menurut bahasa
dirayah berasal dari kata dara-yadri-daryan yang berarti pengetahuan. Maka
seringkali kita mendengar Ilmu Hadits Dirayah Disebut-sebut sebagai pengetahuan
tentang ilmu Hadits atau pengantar ilmu hadits.
Menurut
imam Assyuthi, Ilmu Hadits Dirayah adalah " ilmu yang mempelajari tentang
hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya,
keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal
yang berkaitan dengannya".
- Hakikat periwayatan, maksudnya adalah apa, siapa dan dari siapa riwayat itu.
- Syarat-syarat periwayatan, maksudnya ketika menerima (tahamul) periwayatan hadist. Dengan kata lain memakai metode macam apa rawi tersebut.
- Macam-macam periwayatan, maksudnya, apakah sanadnya mutthasil atau inqitha.
- Hukum-hukum periwayatan, apakah maqbul atau mardud?
- Keadaan perawi, yakni ketika menyampaikan (tahamul) dan menerima (ada) hadits, apakah adil atau tidak? Dimana tempat tinggal, lahir dan wafatnya. Sedangkan untuk marwi, yakni rasional dan tidaknya.
- Macam-macam periwayatan, artinya hadits atau atsar. Begitu pula dalam hal pembukuannya.
8.
Jelaskan secara singkat sejarah perkembangan
Hadist hingga pembukuan Hadist ?
Pembahasan :
Para
ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu :
a.
Masa wahyu dan pembentukan hukum ( pada Zaman
Rasul : 13 SH - 11 SH ).
b.
Masa pembatasan riwayat ( masa
khulafaur-rasyidin : 12-40 H ).
c.
Masa pencarian hadits ( pada masa generasi
tabi'in dan sahabat-sahabat muda : 41 H - akhir abad 1 H ).
d.
Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ).
e.
Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad
III H ) sampai selesai.
f.
Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad
IV H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H ).
g.
Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab
tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum ( 656 H dan
seterusnya ).
9. Jelaskan
secara singkat bagaimana perkembangan Hadist pada masa Rasulullah SAW, hadist
pada masa Khulafaur Rasyidin dan Perkembangan Hadist pada masa Khalifah Umar
bin Abdul Aziz ?
Pembahasan
:
v
Hadist Pada Masa Rasulullah SAW
Hadis atau sunah adalah sumber
hukum Islam yang kedua yang merupakan landasan dan pedoman dalam kehidupan umat
Islam setelah Al Qur'an, Karena itu perhatian kepada hadis yang diterima dari
Muhammad SAW dilakukan dengan cara memahami dan menyampaikannya kepada orang
yang belum mengetahuinya. Perhatian semacam ini sudah ada sejak Nabi Muhammad
SAW masih hidup. Namun pada saat itu para perawi hadis sangat berhati-hati
dalam menerima maupun meriwayatkan hadis dan menjaga kemurniannya. Pada zaman Rasulullah
para sahabatlah yang meriwayatkan hadis yang pertama. Para sahabat adalah
penerima hadis langsung dari Muhammad SAW baik yang sifatnya pelajaran maupun
jawaban atas masalah yang dihadapi. Pada masa ini para sahabat umumnya tidak
melakukan penulisan terhadap hadis yang diterima. Kalaupun ada, jumlahnya
sangat tidak berarti. Hal ini di sebabkan antara lain :
v
Khawatir tulisan hadis itu bercampur dengan
tulisan .Al-Qur'an.
v
Menghindarkan umat menyandarkan ajaran Islam
kepada hadis saja.
v
Khawatir dalam meriwayatkan hadis salah, dan
tidak sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW.
v
Hadis pada masa Khutafaur Rasyidin
Setelah Rasulullah SAW wafat para
sahabat mulai menebarkan hadis kepada kaum muslimin melalui tabligh. Nabi
Muhammad SAW bersadba;Artinya; Sampaikanlah dari padaku, walaupun hanya satu
ayat.' Di samping itu Rasulullah berpesan kepada para sahabat agar
berhati-hati dan memeriksa suatu kebenaran hadis yang hendak disampaikan kepada
kaum muslimin. Ketika itu para sahabat tidak lagi berdiam hanya di Madinah.
Tetapi meyebar ke kota-kota lain. Pada masa Abu Bakar dan Umar, hadis belum
meluas kepada masyarakat. Karena para sahabat lebih mengutamakan mengembangkan
A1 Qur'an. Ada dua cara meriwayatkan hadis pada masa sahabat:
Dengan
lafal aslinya, sesuai dengan yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dengan
maknanya, bukan lafalnya karena mereka tidak hafal lafalnya.
Cara
yang kedua ini rnenimbulkan bermacam-macam lafal (matan), tetapi maksud dan
isinya tetap sama. Hal ini mmbuka kesempatan kepada sahabat-sahabat yang dekat
dengan Rasulullah SAW untuk mengembangkan hadis, walaupun mereka tersebar ke
kota-kota lain.
v
Masa pembukuan hadist (Umar bin Abdul Aziz).
Ide pembukuan hadis pertama-tama
dicetuskan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz pada awal abad ke 2 hijriyah.
Sebagai Khalifah pada masa itu beliau memandang perlu untuk membukukan hadis.
Karena ia meyadari bahwa para perawi hadis makin lama semakin banyak yang
meninggal. Apabil hadis-hadis tersebut tidak dibukukan maka di khawatirkan akan
lenyap dari permukaan bumi. Di samping itu, timbulnya berbagai golongan yang
bertikai daIam persoalan kekhalifahan menyebabkan adanya kelompok yang membuat
hadis palsu untuk memperkuat pendapatnya. Sebagai penulis hadis yang pertama
dan terkenal pada saat itu ialah Abu Bakar Muhammad ibnu MusIimin Ibnu Syihab
Az Zuhry.
Pentingnya pembukuan hadis
tersebut mengundang para ulama untuk ikut serta berperan dalam meneliti dan
menyeleksi dengan cermatl kebenaran hadis-hadis. Dan penulisan hadis pada abad
II H ini belum ada pemisahan antara hadis Nabi dengan ucapan sahabat maupun
fatwa ulama. Kitab yang terkenal pada masa itu ialalah Al Muwatta
karya imam Malik.
Pada abad III H, penulisan
dilakukan dengan mulai memisahkan antara hadis, ucapan rnaupun fatwa bahkan ada
pula yang memisahkan antara hadis shahih dan bukan shahih. Pada abad IV H, yang
merupakan akhir penulisan hadis, kebanyakan bukti hadis itu hanya merupakan
penjelasan ringkas dan pengelompokan hadis-hadis sebelumnya.
Demikianlah
usaha penulisan hadis pada masa khaIifah Umar bin Abdui Aziz yang selanjutnya
disempurnakan oleh utama dari masa dan ke masa dan mencapai puncaknya pada
akhir abad IV H.
10. Apa yang
di maksud dengan istilah istilah hadist Marfu’, Mauquf,dan Magthu ?
Pembahasan :
v
Hadits Marfu' adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat beliau disebut
dengan hadits Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh jadi Sahabat, atau
selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadits Marfu' ini bisa Muthasil,
bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.
v
Hadist Mauquf adalah segala sesuatu yang
diriwayatkan atau dihubungkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, disebut hadist mauquf, dan sanad hadits
mauquf tersebut boleh jadi muttashil atau munqathi
v
Hadist Maghtu’ adalah Sesuatu yang
disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan
atau perbuatan. Hadits Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah
sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementar
munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.
11. Jelaskan
apa yang dimaksud dengan Hadist Shahih, Hasan, Dha’if dan maudhu’ ?
Pembahasan :
v
Hadist Shahih adalah Kata “shahih”
berasal dari bahasa Arab, as-shahih, bentuk jamaknya asshiha’ dan berakar pada
kata shahaha, dari segi bahasa kata ini memiliki beberapa arti, diantaranya
yaitu selamat dari penyakit, bebas dari a’ib atau cacat. Sedangkan secara
istilah yaitu : " Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang
adil, dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan
tanpa syadz dan tidak pula cacat".
v
Hadist Hasan adalah sifat yang menyerupai dari
kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang
dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu: “Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak
pula cacat”.
v
Hadist Dha’if adalah kebalikan
dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu “ Apa yang sifat dari
hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat
dari syarat-syarat hadits hasan”.
v Hadist
Maudhu’ adalah yang secara bahasa berarti menyimpan, mengada-ngada atau
membuat-buat. Menurut istilah hadist maudhu’ adalah Apa-apa
yang disandarkan kepada Rasulullah secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau
tidak mengatakan dan memperbuatnya.
12. Sebutkan
dan jelaskan syarat-syarat hadist shahih dan berikan salah satu contoh hadist
shahih, hadist hasan, dan hadist dha’if ?
Pembahasan :
Syarat-syarat hadist shahih yaitu :
v
Sanadnya bersambung, maksudya adalah setiap
rawi dari suatu riwayat hadits berajar atau bertemu langsung dari mulai awal sanad
sampai akhir.
v
Rawinya adil, maksudnya adalah setiap rawi dari
suatu riwayat hadits disifati sebagai muslim, baligh, berakal (sehat), bukan
orang fasiq dan bukan pula Makhrumul Muruah.
v
Rawinya dhobit, maksudnya adalah setiap rawi
dari suatu periwayatan hadits itu memiliki hafalan yang kuat, baik dalam
hafalan berupa penalaran dan tulisan.
v
Tidak Syadz, maksudnya adalah suatu hadits yang
tsiqat menyelisihi hadits yang lebih tsiqat dariya.
v
Tidak ada 'Illat (cacat), maksudnya
adalah suatu hadits yang samar yang meyebutkan cacat terhadap keshahihan hadits
tersebut bersamaan secara dzohir itu bebas dari cacat.
contoh
hadits shahih adalah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ
يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ
بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي
الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)
"
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin
math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca
dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا
جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ
أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ
العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ
تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ..... الحديث "
“Telah menceritakan kepada kamu
qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron
al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar
ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu
syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil
jihadi).
Contoh
hadits dhaif adalah sebagai berikut ;
مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ
طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : " مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ
اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى
مُحَمِّدٍ "
Apa yang
diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah
al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang
menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini
maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi
Muhammad saw”
13. Jelaskan
apa yang di maksud dengan hadist mutawatir dan hadist Ahad ?
Pembahasan
:
v
Hadist mutawatir Secara bahasa, mutawatir
adalah isim fa’il dari at-tawaatur
yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang
diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar
dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut
akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan
hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.
v
Hadist Ahad menurut bahasa mempunyai arti
“satu”. Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah
adalah “hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir”.
14. Sebutkan
dan jelaskan pembagian (macam-macam) hadist Mutawatir ?
Pembahasan
:
1. Mutawatir Lafdhy adalah
apabila lafadh dan maknanya mutawatir. Misalnya hadits : {من كذب علي متعمدا فليتبوأ
مقعده من النار} ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”.
Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka
termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
2. Mutawatir Ma’nawy adalah
maknanya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits
tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari
Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya
dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir.
Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara
hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
15. Sebutkan
syarat-syarat hadist yang di katakan sebagai hadist mutawatir ?
Pembahasan :
v
Diriwayatkan oleh banyak orang, ada beberpa
perbedaan pendapat tentang jumlah terkecil dari periwayat hadits mutawatir,
namun menurut qoul mukhtar, jumlah terkecil untuk periwayat hadits ini
adalah sepuluh orang.
v
Syarat
banyaknya periwayat ini harus ditemukan dalam setiap tingkatan, maksudnya, di
setiap tingkat periwayatannya harus diriwayatkan minimal oleh sepuluh orang
perawi (sebagai bilangan terkecil ).
v
Dapat dipastikan para perawi hadits atau khabar
tersebut mustahil mengadakan suatu kebohongan.
v
Sandaran penyampaian mereka adalah panca indera
bukan akal, seperti ucapan mereka, “kami telah mendengar, kami telah melihat,
kami telah menyentuh”, adapaun jika hadits mereka tersandar pada akal, seperti
ucapan tentang bahrunya alam, maka hadits atau khabar tersebut tidak dapat
dikatakan mutawatir.
16. Jelaskan
kedudukan Hadist(Al-sunnah) terhadap Tasyri’ ?
Pembahasan
:
Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hokum
kedua setelah al-Qur`an. Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh
tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama,
dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasul Saw
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS. 16:44). Karena itu apa
yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus
diteladani oleh kaum muslimin. Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama
telah bersepakat dalam penetapan hokum didasarkan juga kepada sunnah Nabi,
terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai
sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan
garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian
lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu,
keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.
Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa hadits merupakan sumber hokum dalam Islam adalah sebagai berikut :
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ … (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”
Dari
beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya
berpedoman pada al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib
berpedoman kepada hadits Rasulullah Saw. Hal ini juga ditegaskan oleh Syaikh
al-Albani bahwa syari’at Islam bukan hanya al-Qur’an saja, melainkan juga
as-Sunnah. Barangsiapa hanya berpegang pada salah satunya, maka berarti sama
dengan tidak berpegang dengan keduanya, karena Al-Qur’an memerintahkan untuk
berpegang dengan as-Sunnah demikian pula sebaliknya.
17. Jelaskan
kedudukan dan fungsi Al-sunnah (hadist) Hadist terhadap Al-Qur’an ?
Pembahasan :
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang
diturunkan Allah. Kitab al-Qur’an adalah sebagai penyempurna dari kitab-kitab
Allah yang pernah diturunkan sebelumnya. Dalam al-Qur’an terkandung petunjuk
dan aturan berbagai aspek kehidupan manusia. Ayat-ayat Makkiyyah
misalnya
banyak berbicara tentang persoalan tauhid, keimanan, kisah para nabi dan rasul
terdahulu, dan lain sebagainya. Sementara ayat-ayat Madaniayah
banyak
menjelaskan tentang ibadah, muamalah, hudud, jihad, dan lain sebagainya. Secara
umum kandungan al-Qur’an dapat dibagi kepada tiga hal pokok, yaitu
prinsip-prinsip akidah, seperti beriman kepada Allah Swt, rasul-rasulnya dan
lain-lain, prinsip-prinsip ibadah, seperti sholat, puasa dan lain-lain,
prinsip-prinsip syariat, seperti hukum perkawinan, kewarisan dan lain-lain.
Fungsi hadis terhadap al qur’an adalah sebagai berikut :
1.
Bayan al-Tafshil
Merinci ke-mujmal-an (global)n al-Qur’an,
sehingga dapat dipahami umat islam. Contoh : perintah melaksanakan sholat,
berzakat, haji dll. Yang mana teknik oprasionalnya tidak ada dalam al-Qur’an.
2.
Bayan al-Ta’kid
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan
dalam al-Qur’an. Jadi hadis mengulangi apa yang dikatakan al-Qur’an sebagai
penguat.Contoh : dalam QS. an-Nisa’: 29 “Hai orang yang beriman, janganlah kamu
memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan bathil yang juga di jelaskan
sebagai penguat oleh Nabi ,Tidak halal harta seorang muslim, kecuali (hasil
dari pekerjaan) yang baik dari dirinya sendiri”. (HR. Ahmad)
3.
Bayan al-Muthlaq atau Bayan al-Taqyid
Memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat yang
disebutkan secara muthlak. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Nisa’: 7 yang
secara umum menjelaskan bahwa anak laki-laki dan perempuan adalah ahli waris
bagi dari orang tua nya yang telah meninggal dunia. Ayat tersebut bersifat
muthlak (umum), yang kemudian Nabi memberikan qayyid (batasan), bahwa hak waris
itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang menjadi penyebab kematian orang
tuanya.
4.
Bayan al-Takhsis
Mengkhususkan
lafadz-lafadz di dalam al-Qur’;an yang masih bersifat umum (amm). Contoh :
firman Allah dalam QS. Al-Nisa’:24 yang menjelaskan tentang keharaman menikahi
wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang dimiliki, dan kehalalan
pernikahan dari yang tertera dalam QS. Al-Nisa’:24 tersebut. Nabi mentakhsis
dengan mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah.
5.
Bayan al-Tasyri’
Menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan
dalam al-Qur’an secara jelas. Contoh : dalam QS. Al-Maidah: 3 tentang keharaman
bangkai, darah, daging babi dan sesuatu yang disembelih tidak dengan menyebut
nama Allah. Kemudia Nabi menambahkan penjelas dari ayat tersebut, bahwa
binatang buas yang bertaring dan burung yang kukunya mencengkram karena saking
tajamnya.
6.
Bayan al-Naskh
Menghapuskan hukum-hukum yang terdapat dalam
al-Qur’an. Fungsi yang demikian ini adalah bagi mereka yang berpendapat bahwa
hadis dapat me-nasakh al-Qur’an, walaupun pendapat seperti ini agak berlebihan.
Contoh : “La wasiyaata li waritsin” dalah me-nasakh hukum bolehnya wasiat kepada
kedua orang tua dan kerabat sebagaimana QS. al-Baqarah: 180
18. Coba
anda jelaskan langkah-langkah memahami hadist di lihat dari segi risalah
(Esensi Sunnah)?
Pembahasan :
Esensi
berasal dari kata esse yang berarti "adalah" atau "ada"
persamaan maksudnya lebih dekat dengan kata makna, arti atau menafikan tradisi
dengan lebih menekankan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.Jadi, yang
dimaksud dengan esensi hadits adalah mengambil hikmah, nilai-nilai filosofis
sangat dalam yang terkandung dari suatu hadits Nabi Muhammad SAW tidak hanya
terikat pada teksnya . Maka salah satu caranya ialah memahami hadits
berdasarkan asbabul wurud maksudnya mengkaji hadits melihat keadaan Nabi
Muhammad SAW pada saat mengeluarkan hadits tersebut dan kondisi masyarakat
secara umum termasuk juga dalam pembahasan ini meliputi sebab-sebab munculnya
hadits (asbabul wurud) . Jadi, ketika kita memahmi sebuah hadits tidak terlepas
dari teksnya saja, tetapi lebih jauh dari itu semua melihat sisi makna lafadz,
kondisi masyarakat, latar belakang pada saat Rasulullah SAW mengungkapkan
hadits ini serta meneliti keshohehan perjalan periwayatan hadits dari masa
Rasulullah SAW sampai kepada kita masa kini.
19. Coba
anda jelaskan cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah ?
Pembahasan :
1. Al-Jam’u
wa al-Taufiq
Ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus
ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut,
sekalipun dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqh yang
dikemukakan Hanafiyyah di atas yaitu “mengamalkan kedua dalil itu lebih baik
daripada meninggalkan salah satu di antaranya.” Mengamalkan kedua dalil,
sekalipun dari satu segi, menurut mereka ada tiga cara, yaitu:
a. Apabila
kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka dilakukan cara pembagian
yang sebaik-baiknya. Apabila dua orang saling menyatakan bahwa rumah “A” adalah
miliknya, maka kedua pernyataan itu jelas bertentangan yang sulit untuk
diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan
tetapi, karena barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi,
maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.
b.
Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, seperti sabda
Rasulullah saw, yang menyatakan:
لا صلاة
لجار المسجدالا فى المسجد (رواه أبو داود و أحمد بن حنبل)
Tidak
(dinamakan) shalat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid. (H.R.
Abu Daud dan Ahmad Ibn Hanbal)
Dalam hadits ini ada kata “la” yang
dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak, yaitu bisa berarti “tidak sah”,
bisa berarti “tidak sempurna” dan bisa berarti “tidak utama.” Oleh karena itu,
seorang mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja, asal didukung
oleh dalil lain.
c.
Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti
kasus ‘iddah bagi wanita hamil, atau kasus persaksian yang terdapat dalam
hadits. Surat al-Baqarah, 2:234 bersifat umum dan surat al-Thalaq, 65:4
bersifat khusus, maka dari satu sisi ‘iddah wanita hamil ditentukan hukumnya
berdasarkan kandungan surat al-Thalaq, 65:4. Ulama Hanafiyyah menempuh
cara ini dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.
2. Tarjih
Apabila
pengkompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka seorang mujtahid
boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata
cara tarjih yang dikemukakan para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan
berbagai cara. Umpamanya, dengan men-tarjih dalil yang lebih banyak
diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sedikit, bisa juga melalui pen-tarjih-an
sanad (para penutur hadits), bisa melalui pen-tarjih-an dari sisi
matan (lafal hadits), atau di-tarjih berdasarkan indikasi lain di
luar nash.
3. Naskh
Apabila
dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara
ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung
kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama
kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah
yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Rasulullah saw.:
كنت
نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها ( رواه مسلم )
Adalah saya melarang kamu untuk menziarahi
kubur, tetapi sekarang ziarahlah (H.R. Muslim)
Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana
hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh
menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah dibolehkan menziarahi kubur, karena
‘illat (motivasi) larangan dilihat Nabi saw. tidak ada lagi.
4. Tasaquth
al-Dalilain
Apabila
cara ketiga, yaitu naskh pun tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid
boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya
lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut.
Menurut
ulama syafi’iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah, keempat cara tersebut harus
ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil
secara berurutan.
20. Apa yang
menyebabkan adanya perbedaan para sahabat dalam menerima hadist dan bagaimana
cara para sahabat dalam meriwayatkan Hadist ?
Pembahasan
:
Yang menyebabkan adanya perbedaan
para sahabat dalam menerima hadist yaitu :
1. As-Sabiqun
al-awalun (yang mula-mula masuk islam). Seperti Abubakar, Umar Bin Khatab,
Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud. Mereka banyak menerima
hadis dari nabi Muhammad Rasulullaah SAW, karena lebih awal masuk dari
sahabat-sahabat lain.
2. Ummahad
Al-Mukminin (isteri-isteri rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Mereka lebih dekat denga Rasulullah SAW dari pada isteri lainnya.
Hadits-hadits yang diterima kebanyakan berkaitan dengan soal-soal keluarga dan
pergaulan suami-isteri.
3. Para
sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW dan juga menuliskan
hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Bin Amr Al-As.
4. Sahabat
yang tidak lama bersama Rasulullah SAW, tetapi banyak bertanya kepada sahabat
lainnya dengan sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah.
5. Para
sahabat yang sungguh-sungguh mengikuti majelis Rasulullah SAW dan banyak
bertanya kepada lain dan dari sudut usia mereka hidup lebih lama dari wafatnya
Rasulullah SAW.
Ada dua jalan yang ditempuh
oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Pertama,
dengan jalan periwayatan lafzhi, kedua adalah periwayatan maknawi.
·
Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis
yang redaksinya persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW, ini hanya
bisa dilakukan apabila mereka benar, benar aeperti lafaz hadis yang disabdakan
oleh Rasulullah SAW.
·
.Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis
yang matanya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Tetapi isi
dan maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Nabi
Muhammad SAW.
2 komentar:
sukaaaa..... :)
jazakallah khoiron sangat bermanfaat
Posting Komentar