DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Banyak orang
yang beranggapan bahwa filsafat bukanlah hal yang penting dan signifikan untuk
diketahui dan didalami. Kebanyakan mungkin berpendapat demikian karena filsafat
seakan tidak pernah menemukan titik akhir dalam proses dialognya dan terkesan
“rewel” karena selalu bertanya hal-hal yang menurut sebagian orang bukanlah
sesuatu yang penting untuk ditanyakan. Ilmu pengetahuan bagi mereka adalah hal
yang paling penting karena, tidak seperti filsafat, ilmu pengetahuan selalu
memberikan jawaban pasti terhadap berbagai pertanyaan dan terkadang dapat
membawa mereka kepada sebuah situasi mapan.
Mungkin tidak
disadari bahwa sebenarnya justru filsafat-lah yang membuat ilmu pengetahuan
bisa muncul dan berkembang hingga mendapat tempatnya seperti sekarang. Filsafat
tidak hanya sebagai sebuah proses bertanya dan menjawab, namun di dalamnya juga
ada semangat dan hasrat yang begitu besar untuk memahami hakikat, keberadaan,
dan semua hal di sekitar di sekitar manusia. Sejarah pemikiran manusia telah
membuktikan bahwa melalui sebuah pemikiran filosofis yang sangat sederhana,
namun tidak sesuai mainstream pada saat itu, telah membuka jalan bagi
tradisi berfilsafat dan ruang bagi berkembangnya ilmu pengetahuan.
Pada awalnya manusia melihat benda-benda di
sekitarnya. Keanekaragaman dan karakteristik yang berbeda dari benda-benda
tersebut telah membuat para filsuf awal tertarik untuk mengamati sembari
bertanya tentang hakikat benda-benda tersebut. Mereka akhirnya menyadari bahwa
benda yang mereka kaji tersebut merupakan sebuah kebenaran berdasarkan hasil
penginderaan mereka. Kemudian mereka membuat sebuah formulasi tentang hakikat
benda tersebut, sehingga lahirlah sebuah pemikiran filosofis awal tentang
keberadaan benda-benda. Pemikiran tersebut kemudian dikenal sebagai
filsafat materialisme.
BAB II
Pembahasan
Pramaterialistik
Menurut Anthony Giddens, kapitalisme dan teori sosial modern yaitu : suatu analisis karya
tulis Marc, Durkheim dan Max Weber, tentang "MATERIALISME
SEJARAH", secara garis besar, dapat di bagi menjadi dua bagi an, yaitu:
Bagian pertama adalah pembahasan tnengenai pendekatan materialisme sejarah mane.
Bagian ke dua adalah pembahasan mengenai" HASIL
PENERAPAN" pendekatan tersebut oleh Marx kedalam sdejarah masyarakat dunia, muali dari
masyarakat primitif
sampai kepada asal-muasal kapitalisme.
A. MATERIALISME SEJARAH
Menurut Giddens, materialisme Marx tidak berangkat dari suatu "Posisi Ontologi apapun juga
yang di pikirkan secara logis". Materialisme Max hanya berangkat dari suatu
bentuk pemahaman bahwa kesadaran manusia merupakan produk interaksi antara
manusai dengan dunia secant dialektis, di mana
di dalam interaksi tersebut dunia juga memberikan bentuk kepada manusia.
Di dalam hal ini nampak berseberangan dengan Feuer Bach
dan para
ahli Filsafat materialisme lainnya yang terlebih dahulu, yang memahami hubungan
kesadaran dengan dunia, sebagai suatu hubungan yang bersi&t "Sejarah" dari dunia
menuju kesadaran, sehingga manusia akhimya seperti hanya menjadi "Robot" yang
di keadalikan oleh lingtamgan materinya. la mengkritik mereka, dan mengatakan
bahwa dunia yang di scrap oleh panca indera kita sebenamya" sudah di persiapkan"
oleh masyarakat lewat "kegiatan". , .
ahli Filsafat materialisme lainnya yang terlebih dahulu, yang memahami hubungan
kesadaran dengan dunia, sebagai suatu hubungan yang bersi&t "Sejarah" dari dunia
menuju kesadaran, sehingga manusia akhimya seperti hanya menjadi "Robot" yang
di keadalikan oleh lingtamgan materinya. la mengkritik mereka, dan mengatakan
bahwa dunia yang di scrap oleh panca indera kita sebenamya" sudah di persiapkan"
oleh masyarakat lewat "kegiatan". , .
Menurut Giddens, Marx menafsirkar. sejarah sebagai "suatu-peneiptaan dan pemuasan serta
penciptaan ulang dau keoutuhan-kebutuhan manusia yang terus menerus." Disini
konsep "kerja" ii.tpraksi kreatif antara msnusia dengan alam, menjadi penting, karena
menjadi landasan dari masyarakat Dengan demikian, di
periukan "suatu ihnu pengetahuan mengenai masyarakat yang akan
berlandaskan pada penelitian tentang hubungan yang kreatif dan dinamis antara manusia dan
alam. "inilah
prinsip umum dan materialisme sejarah Marx manurut Giddens, yaitu : Interaksi kreatif dan
dinamis antara manusia dan alam, dan Giddens berpendapat bahwa marx tidak
pernah mengatakan adanya suatu "hukum-hukum umum yang tetap" di hal
interaksi manusia dengan alam tersebut.
"Logika" perkembangan masing-masing masyarakat memiliki ciri-ciri
khas tertentu yang
bersifat intern, sehingga" kita hams bertolak dari suatu pengkajian
empiris terhadap proses-proses kehidupan sosial yang konkrit dan yang mudak
bagi keberadaan
manusia." Didalama hal ini marx juga menolak suatu penafsiran yang bersifat teleologis
terhadap sejarah. Adapun menurut Giddens, marx menggunakqn perbedaan-perbedaan
pembagian kerja sebagai dasar atas tipologi masyarakat
1. Sistem-sistem Pra-Kelas
Sistem-sistem pra-kelas ini melibatkan dua macam
masyarakat yaitu:
a. Masyarakat Suku
Sistem kepemilikan di dalam masyarakat suku masih bersifat komunaL Ketika
mereka sudah mulai tinggal menetap, muncul pertambahan peaduduk yang
menghasilkan pembagian kerja yang lebih beragam, yang pada gilirannya,
tnenghasilkan produk-produk yang berbeda-beda. Kontak antara satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya menimbulkan baik perang atau penaklukan rnaupun pertukaran produk (niaga).
Perang dan penaklukan menghasilkan sistem perbudakan,
«*«<«t«gif««i pertukaran produk menghasitkan suatu bentuk pembagian
kerja yang lebih komleki dan mulai
menyajikan produksi komuditi (produksi barang-barang untuk di tukarkan di
pasar). Dari perkembangan hubungan tukar-menukar inilah kemudian muncul suatu bentuk uang.
b. Masyarakat Timur
Ada satu fmornena mecarik yang merupakan crh khas dari
masyarakat timur, yaitu ketah&mcya tertadv pcrubafaZL atau sifzt
stagnasima.
Pertama, karena adanya sifat swasembada yang internal
dari masyarakat desa, di mana sifat swasembada pertanian tersebut tidak menimbulkan
pembagian kerja lebih lanjut dan membatasi pertumbuhan kota-kota, karena tidak adanya
pertumbuhan urbanisasi.
Kedua, stagnasi itu juga dapat dilihat dari tidak adanya kepemiiikan atas tanah, sehingga adanya
pertumbuhan penduddc tidak memiliki pengaruh apa-apa pada masyarakat timur.
Masyarakat timur ini masih
di kategorikan oleh Giddens ke dalam sistem-sistem
pra-kelas, karena menurut marx, walaopun sudah ada suatu bentuk organisasi negara di dalam masyarakat timur,
tetapi ia tidak pernah melibatkan suatu sistem kelas yang maju,. Karena
kepemilikannya di tmgfcatkan Iokal masih bersifat komunal.
2. Masyarakat kuno
Menurut Giddens, analisa
marx terhadap masyarakat kuno di pusatkan pada
kasus Roma. Walaupun di Roma kota memainkan peran yang sangat penting di dalam
perekonomian, tetapi Roma terlepas dari pengaruh kepemiiikan tanah. Adapun periuasan wilayah
semakin memperluas perbudakan dan memusatkan kepemiiikan tanah.
Perkembangan dari sistem perbudakan ini berjalan seiring dengan tumbuhnya
perusahaan-perusahaan pertanian besar. Tetapi kegagalan dari perdagangan dan
industri untuk mencapai titik tertentu, dan semakin parahnya kondisi sebagian besar
dari penduduk, malah mengakibarkan penisahaan-penisahaan pertanian tersebu:
mcnjadi tidak ekooomis lagi.
Perdagangan dan kota-kota juga megalami kemunduran dan kerentuhan, sehingga akhirnya
perbudakan mulai di hapuskan dan perusahaan-iperusahaan pertanian yang besar di
pecan-pecan dan di sewakan dalam bentuk pertanian kecil. Sistem ekooomi dollar,
demikian kembali lagi kepada pertanian dengan skala kecil. Romawi akhirnya menjadi
hancur karena situasi intemalnya sendiri
kekayaan yang
sebenamya dapat di
kemhangkan menjadi tenaga-tenaga produktif yang bagus.
C. FEODALISME DAN TRANSISIMENUJU KAPITALISME
Tahap dini feodalisme di mulai dari seranga kaum barbar
atas Roma yang memang sudah hancur dari dalam. Pemerintahan di dominasi oleh panglima
militer, yang pada
perkembangan selanjutnya di kelilingi oleh para bangsawan dan kaum elite terpelajar.
Peperangan dan kekacauan yang terajdi selama beberapa abad di eropa barat,
mengakibatkan kemiskinan dan penghambaan yang meluas. Sehingga dengan demikian terjadinya
tranformasi menuju sistem feodalisme. Berbeda dengan masyarakat kuno, maka
pada feodalisme, pusat perekonomian ada di pedesaan.
Ada dua tabap kemajuan
sejarah yang terdapat di d^l"m transisi dari
masa
feodalisme menuju kapitalisme, yaitu:•
Pertama, adalah gerakan kelas pedagang dari perdagangan mumi ke dalam produksi. Hal ini
terjadi pada abad ke dua kelas (XII), ketika kota-kota berkembang menjadi pusat
perdagangan. Berkembang perdagangan ini mengakibatkan pemakaian uang makin luas
dan terajdinya pertukaran komoditi di dalam sistem ekonomi feodal.
Walaupun begitu perkembangan kapitalisme menuliki keterbatasannya sendiri.
Ada beberapa sebab dari keterbatasan itu, yang pertama adalah karena kota-kota di kuasai oleh
serikat-serikat sekerja yaug "sangat membatasi jumlah magang dan luhisan permagangan
yang boleh di pekerjakan oleh sang majikan.
Sebab yang kedua adalah bahwa mayoritas Penduduk nada saat itu masih terdiri dari kaum
tani yang merdeka. Tahapan sejarah yang kedua di dalam masa transisi menuju kapitalisme
adalah para produsen yang bergerak sendiri dari
produksi untuk
memperluas bidang-bidang kegiatan mereka, agar bisa meliputi perdagangan.
Menurut Marx, peristiwa-peristiwa belum merupakan
memenuhi syarat-syarat bagi munculriya kapitalisme. Penstiwa yang juga sama pentingnya
dengan proses pengambil alihan itu adalah perluasan perdagangan lewat lautan yang
jauh, sebagai
akibat dari penemuan-penemuan di lapangaa geografis (penemuan benua Amerika dan tanjung
h^rapan). Perdagangan lewat lautan ini menimbulkan pemasukan kapital yang
cepat, serta di tambah lagi dengan penemuan emas dac perak yang
mengakibatkan terjadinya banjir logam mulia di Inggris.
D. materialisme dan idealisme
Masalah
fundamental yang besar dari semua filsafat, teristimewa dari filsafat yang
akhir-akhir ini, ialah masalah mengenai hubungan
antara pikiran dengan keadaan. Sejak zaman purbakala, ketika manusia, yang
masih sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah
rangsang khayal-khayal impian mulai
percaya bahwa pikiran dan perasaan mereka bukanlah aktivitas-aktivitas tubuh
mereka, tetapi, aktivitas-aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami
tubuhnya dan meninggalkan tubuh itu ketika mati - sejak waktu itu manusia
didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika
pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa itu meninggalkan tubuh dan hidup
terus, maka tidak ada alasan untuk mereka-reka kematian lain yang tersendiri
baginya. Maka itu timbul ide tentang kekekal-abadian, yang pada tingkat.
perkembangan waktu itu sama sekali tidak nampak sebagai penghibur tetapi
sebagai takdir yang terhadapnya tiada berguna mengadakan perlawanan, dan sering
sekali, seperti dikalangan orang-orang Yunani, sebagai malapetaka yang
sesungguhnya. Bukannya hasrat keagamaan akan suatu penghibur, tetapi
kebingungan yang timbul dari ketidaktahuan umum yang lazim tentang apa yang
harus diperbuat dengan nyawa itu, sekali adanya nyawa itu diakui, sesudah tubuh
mati, menuju secara umum kepada paham tentang kekekal-abadian perorangan. Dengan cara
yang persis sama, lahirlah dewa-dewa pertama, lewat personifikasi
kekuatan-kekuatan alam. Dan dalam perkembangan agama-agama selanjutnya
dewa-dewa itu makin lama makin mengambil bentuk-bentuk diluar-keduniawian,
sehingga akhirnya lewat proses abstraksi saja hampir bisa mengatakan proses
penyulingan, yang terjadi secara wajar dalam proses perkembangan intelek
manusia, dari dewa-dewa yang banyak jumlahnya itu, yang banyak sedikitnya
terbatas dan saling-membatasi, muncul di dalam pikiran-pikiran manusia ide
tentang satu tuhan yang eksklusif dari agama-agama monoteis.
Jadi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan,
hubungan antara jiwa dengan alam - masalah yang terpenting dari seluruh
filsafat - mempunyai, tidak kurang daripada semua agama, akar-akarnya di dalam
paham-paham kebiadaban yang berpikiran-sempit dan tiada berpengetahuan. Tetapi
masalah itu untuk pertama kalinya dapat diajukan dengan seluruh ketajamannya,
dapat mencapai arti pentingnya yang sepenuhnya, hanya setelah umat manusia di
Eropa bangun dari kenyenyakan tidur yang lama dalam Zaman Tengah Nasrani.
Masalah kedudukan pikiran dalam hubungan dengan keadaan, suatu masalah yang,
sepintas lalu, telah memainkan peranan besar juga dalam skolastisisme Zaman
Tengah, masalah: yang mana yang primer, jiwa atau alam - masalah itu, dalam
hubungan dengan gereja, dipertajam menjadi : Apakah Tuhan menciptakan dunia
ataukah dunia sudah ada sejak dulu dan akan tetap ada di kemudian hari?
Jawaban-jawaban
yang diberikan oleh para ahli filsafat ke masalah ini membagi mereka ke dalam
dua kubu besar. Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika
dibandingkan dengan alam, dan karenanya, akhirnya, menganggap adanya penciptaan
dunia dalam satu atau lain bentuk - dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel,
misalnya, penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam
agama Nasrani - merupakan kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam
sebagai yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.
Dua pernyataan
ini, idealisme,dan materialisme, mula-mula tidak mempunyai arti lain daripada
itu; dan disinipun kedua pernyataan itu tidak digunakan dalam arti lain apapun.
Kekacauan apa yang timbul bila sesuatu arti lain diberikan kepada kedua
pernyataan itu akan kita lihat di bawah ini.
Tetapi masalah
hubungan antara pikiran dengan keadaan mempunyai segi lain lagi - bagaimana
hubungan pikiran kita tentang dunia di sekitar kita dengan dunia itu sendiri ?
Dapatkah pikiran kita mengenal dunia yang sebenarnya? Dapatkah kita
menghasilkan pencerminan tepat dari realitas di dalam ide-ide dan
pengertian-pengertian kita tentang dunia yang sebenarnya itu? Dalam bahasa
filsafat masalah ini dinamakan masalah identitas pikiran dengan keadaan, dan
jumlah yang sangat besar dari para ahli filsafat memberikan jawaban yang
mengiyakan atas pertanyaan ini. Hegel, misalnya, pengiyaanya sudah jelas dengan
sendirinya; sebab apa yang kita kenal di dalam dunia nyata adalah justru
isi-pikirannya - yang menjadikan dunia berangsur-angsur suatu realisasi dari
ide absolut yang sudah ada di sesuatu tempat sejak dahulukala, lepas dari dunia
dan sebelum dunia. Tetapi adalah jelas, tanpa bukti lebih lanjut, bahwa pikiran
dapat mengetahui isi yang sejak semula adalah isi-pikiran. Adalah sama jelasnya
bahwa apa yang harus dibuktikan disini sudah dengan sendirinya terkandung di
dalam premis-premisnya. Tetapi hal itu sekali-kali tidak merintangi Hegel
menarik kesimpulan lebih lanjut dari pembuktiannya tentang identitas pikiran
dengan keadaan yaitu bahwa filsafatnya, karena tepat bagi pemikirannya, adalah
satu-satunya yang tepat, dan bahwa identitas pikiran dengan keadaan mesti
membuktikan keabsahannya dengan jalan umat manusia segera menerjemahkan
filsafatnya dari teori ke dalam praktek dan mengubah seleruh dunia sesuai
dengan prinsip-prinsip Hegel. Ini adalah suatu khayalan yang sama-sama terdapat
pada Hegel dan pada hampir semua ahli filsafat.
Di samping itu
masih ada segolongan ahli filsafat lainnya - mereka yang meragukan kemungkinan
pengenalan apapun, atau sekurang-kurangnya pengenalan yang
selengkap-lengkapnya, tentang dunia. Di dalam golongan ini, diantara para ahli
filsafat yang lebih modern, termasuk Hume dan Kant, dan mereka telah memainkan
peranan yang sangat penting dalam perkembangan filsafat. Apa yang menentukan
dalam menyangkal pandangan ini sudah dikatakan oleh Hegel, sejauh ini mungkin
dari pendirian idealis. Tambahan-tambahan materialis yang diajukan oleh
Feuerbach, adalah lebih bersifat cerdik daripada mendalam. Penyangkalan yang paling
kena terhadap pikiran aneh ini seperti terhadap semua pikiran filsafat yang
aneh lainnya ialah praktek, yaitu eksperimen dan industri. Jika kita dapat
membuktikan ketepatan konsepsi kita tentang suatu proses alam dengan
membikinnya sendiri, dengan menciptakannya dari syarat-syaratnya dan malahan
membuatnya berguna untuk maksud-maksud kita sendiri, maka berakhirlah sudah
“konsepsi” Kant yang tak terpahami itu tentang “benda-dalam-dirinya” Zat-zat
kimia yang dihasilkan di dalam tumbuh-tumbuhan dan di dalam tubuh binatang
tetap merupakan “benda-dalam-dirinya” itu sampai ilmu kimia organik mulai
menghasilkan zat-zat itu satu per satu; sesudah itu “benda-dalam-dirinya”
menjadi benda untuk kita, seperti, misalnya, alizarin, zat warna dari
tumbuh-tumbuhan Rubiantinetorum, yang kita tidak susah-susah lagi
menghasilkannya di dalam akar-akar tumbuh-tumbuhan itu di ladang, tetapi
membuatnya jauh lebih murah dan sederhana dari tir batubara. Selama 300 tahun
sistim tata surya Copernikus merupakan hipotesa dengan kemungkinan benarnya
seratus, seribu atau sepuluh ribu lawan satu, meskipun masih tetap suatu
hipotesa. Tetapi ketika Leverrier, dengan bahan-bahan yang diberikan oleh
sistim itu, bukan hanya menarik kesimpulan tentang keharusan adanya suatu
planet yang tidak diketahui, tetapi juga menghitung kedudukan yang mesti
ditempati oleh planet itu di langit, dean ketika Gallilei benar-benar menemukan
planet itu, maka terbuktilah kebenaran sistim Copernikus itu. Jika, sekalipuni
demikian, kaum Kantian Baru sedang mencoba menghidupkan kembali paham Kant di
Jerman dan kaum agnostik menghidupkan kembali paham Hume di Inggris (dimana
paham itu sesungguhnya belum pernah lenyap), maka, mengingat bahwa secara teori
dan praktek bantahan terhadap paham-paham itu sudah lama dicapai, hal ini
secara ilmiah merupakan kemunduran dan secara praktis hanya merupakan cara
kemalu-maluan dalam menerima materialisme dengan diam-dima, sambil
mengingkarinya di depan dunia.
Tetapi selama
periode yang Panjang ini, yaitu sejak Descartes sampai Hegel dan sejak Hobbes
sampai Feuerbach, para ahli filsafat sekali-kali tidak didorong, seperti yang
mereka pikirkan, oleh kekuatan akal murni semata. Sebaliknya, yang betul-betul
sangat mendorong mereka maju ialah kemajuan yang perkasa dan semakin cepat dari
ilmu-ilmu alam dan industri. Di kalangan kaum materialis hal ini
terang-benderang terlihat dipermukaan, tetapi sistim-sistim idealis juga
semakin banyak mengisi diri dengan isi materialis dan mencoba secara panteis
mendamaikan pertentangan antara pikiran dengan materi. Jadi, akhirnya, mengenai
metode dan isi sistim Hegelian hanyalah mewakili materialisme yang
dijungkirbalikkan secara idealis.
Oleh sebab itu
dapat dipahami bahwa Starcke dalam karakterisasinya tentang Feuerbach
pertama-tama menyelidiki pendirian Feuerbach dalam hubungan dengan masalah
fundamental ini, yaitu hubungan pikiran dengan keadaan. Sesudah mengajukan
suatu pengantar singkat, dalam mana pendirian-pendirian ahli filsafat yang
terdahulu, terutama sejak Kant, dilukiskan dalam bahasa filsafat yang secara
tidak semestinya berat, dan dalam mana Hegel, oleh karena terlalu formalistis
berpegang teguh pada bagian-bagian tertentu dari karya-karyanya, pendapat jauh
lebih sedikit daripada yang patut baginya, menyusul suatu penguraian mendetail
tentang jalan perkembangan “metafisika” Feuerbach itu sendiri, sebagaimana
jalan ini berturut-turut dicerminkan di dalam tulisan-tulisan filsuf itu yang
ada sangkut pautnya disini. Penguraian itu disusun dengan rajin dan terang;
hanya, seperti halnya seluruh buku itu, penguraian itu diisi dengan beban
fraseologi filsafat yang disana-sini bukannya sama sekali tidak dapat dihindari
dan yang pengaruhnya lebih mengganggu semakin kurang pengarangnya berpegang
pada cara pengungkapan mazhab yang itu-itu juga, atau bahkan cara pengungkapan
Feuerbach sendiri, dan sernakin banyak dia menyisipkan ungkapan-ungkapan
aliran-aliran yang sangat berbeda-beda, terutama aliran-aliran yang kini
merajalela dan, menamakan dirinya aliran filsafat.
Jalan evolusi
Feuerbach ialah jalan evolusi seorang Hegelian - memang, tidak pernah seorang
ortodoks Hegelian yang sempurna - menjadi seorang materialis; suatu evolusi
yang pada tingkat tertentu mengharuskan adanya pemutusan hubungan seluruhnya
dengan sistim idealis dari pendahulunya. Dengan kekuatan yang tak tertahan,
Feuerbach akhirnya didorong menginsafi, bahwa adanya “ide absolut” pra-dunia
dari Hegel, “adanya terlebih dulu kategori logis” sebelum dunia ada, adalah
tidak lain daripada sisa khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar-dunia;
bahwa dunia materiil yang dapat dirasa dengan panca indera, yang kita sendiri
termasuk di dalamnya, adalah satunya realitas; dan bahwa kesadaran serta
pemikiran kita, betapa diatas-panca-inderapun nampaknya, adalah hasil organ
tubuh yang materiil, yaitu otak. Materi bukanlah hasil jiwa, tetapi jiwa itu
sendiri hanyalah hasil tertinggi dari materi. Ini sudah tentu adalah
materialisme semurni-murninya. Tetapi setelah sampai sedemikian jauh, Feuerbach
tiba berhenti. Dia tidak dapat mengatasi
purbasangka filsafat yang lazim, purbasangka bukan terhadap barangnya tetapi
terhadap nama materialisme. Dia berkata: “Bagi saya materialisme adalah dasar
dari bangunan hakekat dan pengetahuan manusia; tetapi bagi saya materialisme
bukanlah seperti bagi ahli fisiologi, seperti bagi sarjana ilmu2 alam dalam
arti yang lebih sempit, misalnya, bagi Moleskhott, dan memang suatu keharusan
menurut pendirian dan pekerjaan mereka, yaitu bangunan itu sendiri. Ke belakang
saya setuju sepenuhnya dengan kaum materialis; tetapi ke depan tidak.”
Disini
Feuerbach mencampurbaurkan materialisme yang merupakan pandangan-dunia umum
yang bersandar pada pengertian tertentu tentang hubungan antara materi dengan
pikiran. dengan bentuk khusus dalam mana pandangan-dunia ini dinyatakan pada
tingkat sejarah tertentu, yaitu dalam abad ke-18. Lebih daripada itu, dia
mencampurbaurkannya dengan bentuk yang dangkal, yang divulgarkan, dalam mana
materialisme abad ke-18 hidup terus hingga hari ini di dalam kepala para ahli
ilmu alam dan fisika, bentuk yang dikhotbahkan oleh Bükhner, Vogt dan
Moleskhott pada tahun limapuluhan dalam perjalanan keliling mereka. Tetapi.
sebagaimana idealisme mengalami sederet tingkat perkembangan, begitu juga
materialisme. Dengan setiap penemuan yang membuat zaman, sekalipun di bidang
ilmu alam, materialisme harus mengubah bentuknya, dan setelah sejarah juga
dikenakan perlakuan materialis, maka disinipun terbuka jalan raya perkembangan
yang baru.
Materialisme
abad yang lampau adalah terutama mekanis, sebab pada waktu itu, di antara semua
ilmu alam hanya ilmu mekanika, dan memang hanya ilmu mekanika benda padat
langit dan bumi pendek kata, ilmu mekanika gravitasi telah mencapai titik akhir
tertentu. Ilmu kimia pada waktu itu baru berada dalam masa kanaknya, dalam
bentuk phlogistis. Biologi masih berlampin; organisme tumbuh-tumbuhan dan hewan
baru saja diperiksa secara kasar dan dijelaskan sebagai akibat sebab mekanik
semata. Seperti hewan bagi Descartes, begitu juga manusia bagi kaum materialis
abad ke-18 adalah suatu mesin. Penerapan secara eksklusif norma2 mekanika ini
pada proses2 yang bersifat kimiawi dan organik - yang di dalamnya hukum2
mekanika memang berlaku tetapi didesak kebelakang oleh hukum2 lain yang lebih
tinggi - merupakan keterbatasan khusus yang pertama tapi yang pada waktu itu
tak terhindarkan dari materialisme klasik Perancis.
Keterbatasan
khusus yang kedua dari materialisme ini terletak dalam ketidakmampuannya
memahami alam semesta sebagai suatu proses, sebagai materi yang mengalami
perkembangan sejarah yang tak putus2nya. Ini sesuai dengan tingkat ilmu2 alam
pada waktu itu, dan dengan cara berfilsafat secara metafisik, yaitu
antidialektik, yang bertalian dengan tingkat ilmu2 itu. Alam, sejauh yang sudah
diketahui, berada dalam gerak yang kekal-abadi. Tetapi menurut ide2 pada waktu
itu, gerak itu berlangsung, juga dengan kekal-abadi, dalam lingkaran dan
karenanya tidak pernah berpindah dari tempatnya: gerak itu berulang-ulang
menghasilkan hasil yang itu2 juga. Pandangan itu pada waktu itu tidak dapat
dielakkan. Teori Kant tentang asal-usul tata surya baru saja dikemukakan dan
masih dianggap sebagai suatu barang ajaib belaka. Sejarah perkembangan bumi,
geologi, masih sama sekali belum diketahui, dan konsepsi bahwa makhluk2 alam
yang bernyawa di hari ini adalah hasil guatu rentetan perkembangan yang panjang
dari yang sederhana ke yang rumit, pada waktu itu sama sekali tidak dapat
dikemukakan secara ilmiah. Oleh sebab itu pendirian yang tidak historis
terhadap alam tidak dapat dielakkan. Semakin kuranglah alasan kita untuk
mencela para ahli filsafat abad ke-18 tentang hal itu, karena hal yang sama
terdapat pada Hegel. Menurut Hegel, alam, sebagai “penjelmaan” semata diri ide,
tidak mampu berkembang dalam waktu hanya mampu memperbesar kelipatgandaannya
dalam ruang, sehingga alam bersamaan dan berdampingan satusamalain
memperlihatkan semua tingkat perkembangan yang terkandung di dalamnya, dan
ditakdirkan mengalami pengulangan yang kekal-abadi dari proses-proses yang itu2
juga. Hal yang tak masuk akal ini, yaitu perkembangan dalam ruang, tetapi yang
lepas dari waktu - syarat fundamental bagi semua perkembangan - dipaksakan oleh
Hegel pada alam justru ketika geologi, embriologi, fisiologi tumbuh2an dan
hewan, serta ilmu kimia organik sedang dibangun, dan ketika dimana-mana
berdasarkan ilmu2 baru ini sedang tampil ramalan2 gemilang dari teori evolusi
yang datang kemudian (misalnya; Goethe dan Lamarck). Tetapi sistim menuntutnya;
maka itu metode, demi kepentingan sistim, harus menjadi tidak jujur terhadap
dirinya sendiri.
Konsepsi
tidak-historis yang sama berkuasa juga di bidang sejarah. Di bidang itu
perjuangan melawan sisa-sisa Zaman Tengah memburemkan pandangan. Zaman Tengah
dianggap sebagai interupsi sejarah belaka selama seribu tahun kebiadaban umum.
Kemajuan besar yang dibuat dalam Zaman Tengah - peluasan wilayah kebudayaan
Eropa, bangsa-bangsa besar yang berdayahidup sedang terbentuk di wilayah itu
damping-mendampingi, dan akhirnya kemajuan teknik yang luar biasa pada abad
ke-14 dan ke-15 semua ini tidak dilihat. Jadi tidak dimungkinkan adanya
pengertian rasionil tentang saling-hubungan kesejarahan yang besar, dan sejarah
paling banyak menjadi suatu kumpulan contoh-contoh dan ilustrasi2 untuk
digunakan oleh para ahli filsafat.
Penjajah yang
melakukan pemvulgaran, yang di Jerman pada tahun limapuluhan berkecimpung dalam
materialisme, sama sekali tidak mengatasi keterbatasan guru-guru mereka itu.
Seluruh kemajuan ilmu-ilmu alam yang sementara itu telah dicapai bagi mereka
hanyalah bukti-bukti baru saja yang
dapat digunakan untuk menentang adanya pencipta dunia; dan memang,mereka
samasekali tidak menjadikan pengembangan teori itu lebih jauh sebagai usaha
mereka. Walaupun idealisme sudah tidak bisa berkembang lagi dan mendapat
pukulan yang mematikan dari Revolusi 1848, ia mempunyai kepuasan melihat bahwa
materialisme untuk waktu itu sudah tenggelam lebih dalam lagi. Tidak dapat
disangkal bahwa Feuerbach adalah benar ketika dia menolak memikul tanggungjawab
atas materialisme itu; hanya dia semestinya tidak mencampurbaurkan ajaran-ajaran
pengkhotbah berkelilling itu dengan materialisme pada umumnya.
Tetapi, disini,
ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, semasa hidup Feuerbachpun,
ilmu-ilmu alam masih berada dalam proses pergolakan yang hebat, pergolakan yang
baru selama lima belas tahun yang akhir-akhir ini mencapai kesimpulan relatif
yang membawa kejelasan. Bahan ilmiah baru telah diperoleh dalam ukuran yang
belum pernah terdengar hingga kini, tetapi penetapan saling-hubungan, dan
dengan demikian soal membawa ketertiban ke dalam kekacauan penemuan yang dengan cepatnya susul-menyusul, baru
akhir ini menjadi mungkin. Memang benar bahwa Feuerbach semasa hidupnya masih
sempat menyaksikan ketiga penemuan yang menentukan penemuan sel, transformasi
energi dan teori evolusi, yang diberi nama menurut Darwin. Tetapi bagaimana
seorang ahli filsafat yang kesepian, yang hidup dalam kesunyian desa, dapat
secara memuaskan mengikuti perkembangan ilmiah guna menghargai menurut sepenuh
nilainya penemuan yang sarjana ilmu alam sendiri pada waktu itu masih
membantahnya atau tidak tahu bagaimana menggunakannya sebaik-baiknya? Kesalahan
tentang ini semata-mata terletak pada syarat yang menyedihkan yang terdapat di
Jerman, yang mengakibatkan tukang tindas-kutu eklektis yang melamun telah
menempati mimbar filsafat, sedangkan Feuerbach yang menjulang tinggi diatas
mereka semua, harus tinggal diudik dan membusuk disuatu desa kecil. Maka itu
bukanlah salah Feuerbach bahwa konsepsi historis tentang alam, yang kini sudah
mungkin dan yang menyingkirkan segala keberatsebelahan materialisme Perancis,
tetap tak tercapai olehnya.
Kedua,
Feuerbach memang tepat dalam menyatakan bahwa materialisme alam-ilmiah yang
eksklusif adalah sesungguhnya dasar dari bangunan pengetahuan manusia, tetapi
bukan bangunan itu sendiri. Karena kita tidak hanya hidup di dalam alam, tetapi
juga di dalam masyarakat manusia, dan inipun, tidak kurang daripada alam,
mempunyai sejarah perkembangannya dan ilmunya. Oleh sebab itu soalnya ialah
membikin ilmu tentang masyarakat, yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang
dinamakan ilmu-ilmu sejarah dan filsafat, selaras dengan dasar materialis, dan
membangunnya kembali di atas dasar itu. Tetapi tidak ditakdirkan bahwa
Feuerbachlah yang melakukan hal yang demikian itu. Meskipun ada “dasar”nya, dia
disini tetap terikat oleh belenggul idealis yang tradisionil, suatu kenyataan
yang dia akui dengan kata-kata berikut ini : “Kebelakang saya setuju dengan
kaum materialis, tetapi kedepan tidak!” Tetapi disini Feuerbach sendirilah yang
tidak maju “kedepan”, ke lapangan sosial, yang tidak dapat melampaui
pendiriannya tahun 1840 atau 1844. Dan lagi ini terutama disebabkan oleh
pengasingan diri yang memaksa dia, yang, diantara semua filsuf, adalah yang
paling cenderung kepada pergaulan, kemasyarakatan, untuk menghasilkan pikiran
dari kepalanya yang kesepian itu dan bukan sebaliknya, yaitu dari pertemuan
yang bersahabat dan bermusuhan dengan orang lain yang sekaliber dengan dia.
Kelak akan kita lihat secara mendetail seberapa banyak dia tetap seorang
idealis di dalam bidang itu.
. “Feuerbach
adalah seorang idealis; dia percaya akan kemajuan umat manusia.” . “Dasar,
bangunan bawah dari keseluruhannya, bagaimanapun tetap idealisme. Realisme bagi
kami tidaklah lain daripada suatu perlindungan terhadap penyelewengan, sementara
kami mengikuiti kecenderungan ideal kami. Bukankah kasih, cinta dan kegairahan
akan kebenaran dan keadilan merupakan kekuatan ideal?”
Pertama,
idealisme disini tidak mengandung arti lain daripada pengejaran tujuan ideal.
Tetapi, ini seharusnya paling menyangkut idealisme Kant dan “imperatif
kategoris”nya, sebaliknya, Kant sendiri menyebut filsafatnya “idealisme
transcendental”; dan sekali-kali bukan karena dia di dalamnya juga
mempersoalkan cita-cita etika, tetapi karena alasan yang lain samasekali, sebagaimana Starcke
akan ingat. Takhayul bahwa idealisme filsafat bersendikan kepercayaan akan
cita-cita etika, yaitu cita-cita sosial, timbul diluar filsafat, dikalangan
kaum filistin Jerman, yang mengapalkan diluar kepala beberapa bagian kebudayaan
filsafat yang mereka perlukan dari syair Skhiller. Tidak seorangpun yang lebih
keras mengecam “imperatif kategoris” Kant yang impoten, impoten karena dia
menuntut hal yang tidak mungkin, dan karenanya tidak pernah menjadi kenyataan -
tidak seorangpun yang lebih kejam mencemoohkan kegairahan filistin yang
sentimental akan cita2 yang tak dapat direalisasi yang diajukan oleh Skhiller
daripada justru Hegel, orang idealis yang sempurna itu. (Lihat misalnya,
bukunya Fenomenologi).
Kedua, kita sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari
kenyataan bahwa segala sesuatu yang membikin manusia bertindak harus melalui
otak mereka - bahkan makan dan minum, yang mulai sebagai akibat dari rasa lapar
atau rasa haus hanya disampaikan melalui otak dan berakhir sebagai hasil rasa
puas yang juga disampaikan melalui otak. Pengaruh2 dunia luar terhadap manusia
menyatakan dirinya di dalam otaknya, dicerminkan di dalamnya sebagai perasaan,
pikiran, rangsang, kemauan - pendek kata, sebagai “kecenderungan2 ideal”, dan
dalam bentuk ini menjadi “kekuatan2 ideal”. Maka itu, jika seseorang harus
dianggap idealis karena dia mengikuti “kecenderungan2 ideal” dan mengakui bahwa
“kekuatan2 ideal” mempunyai pengaruh terhadap dia, maka sietiap orang yang agak
normal perkembangannya adalah seoreang idealis sejak lahirmya dan jika demikian
apakah masih bisa ada seorang materialis?
Ketiga,
keyakinan bahwa kemanusiaan, sekurang-kurangnya pada saat sekarang ini, dalam
keseluruhannya bergerak menurut arah yang maju tidak mempuniai sangkut paut
apapun dengan antagonisme antara materialisme dan idealisme. Kaum materialis
Perancis, tidak kurang daripada orang
deis seperti Voltaire dan Rousseau menganut keyakinan itu dalam derajat
yang hampir fanatik, dan kerapkali telah membuat pengorbanan perorangan yang paling
besar untuk keyakinan itu. Jika pernah ada orang yang mengabdikan seluruh
hidupnya kepada “kegairahan akan kebenaran dan keadilan” - menggunakan kata2
itu dalam arti yang baik - maka orang itu adalah Diderot, misalnya. Oleh sebab
itu, jika Starcke menyatakan bahwa semua itu adalah idealisme, maka ini hanya
membuktikan bahwa bagi dia kata materialisme, dan seluruh antagonisme antara
kedua aliran itu telah hilang segala artinya.
Kenyataannya
ialah bahwa Starcke, walaupun barangkali secara tidak sadar, dalam hal ini
memberi konsesi yang tidak dapat diampuni kepada prasangka filistin yang
tradisionil mengenai perkataan materialisme, yang diakibatkan oleh pemfitnahan
kata itu dalam waktu lama oleh pendeta2. Perkataan materialisme oleh si
filistin diartikan kerakusan, kemabukan, mata-keranjang, nafsu berahi,
kesombongan, kelobaan, kekikiran, ketamakan, pengejaran laba dan penipuan bursa
- pendeknya, segala kejahatan busuk yang dia sendiri lakukan secara sembunyi2.
Perkataan idealisme diartikannya kepercayaan akan kebajikan, filantropi
universal dan secara umum suatu “dunia yang lebih baik,” yang dia sendiri
banggakan dimuka orang lain, tetapi yang dia sendiri hanya percaya selama dia
berada dalam kesusahan atau sedang mengalami kebangkrutan sebagai akibat dari
ekses “materialis”nya yang biasa. Waktu itulah dia menjanjikan lagu
kesayangannya: Manusia itu apa ? - Setengah binatang, setengah malaikat.
Adapun tentang hal lainnya, Starcke dengan bersusah payah
membela Feuerbach terhadap serangan dan ajaran para asisten profesor yang
berteriak, yang kini di Jerman memakai nama ahli filsafat. Bagi orang yang
berminat akan tembuni dari filsafat klasik Jerman, ini sudah tentu merupakan
soal yang penting; bagi Starcke sendiri mungkin nampaknya peritu. Tetapi, kami tak akan menyusahkan
pembaca dengan itu.
[2-1] Di kalangan orang liar dan orang biadab yang tingkat
perkembangannya lebih rendah masih umum terdapat ide bahwa bentuk manusia yang
tampil di dalam mimpi adalah nyawa yang untuk sementara waktu meninggalkgn
tubuh2 manusia itu; oleh sebab itu, orang yang sesungguhnya yang
bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh wujudnya di dalam mimpi
terhadap orang yang mimpi. Imthurn menemukan kepercayaan yang seperti itu
misalnya dikalangan orang Indian di Guicma dalam tahun 1884. (Keterangan
Engels).
[2-2]
Planet yang dimaksud ialah Neptunus, ditemukan pada tahun 1846 oleh Johann
Gaililei, seorang ahli astronomi di Observatorium Berlin. - red.
[2-3]
Teori phlogistis: teori yang berlaku di bidang ilmu kimia dalam abad2 ke-17 dan
ke-18 dan yang menyatakan bahwa pembakaran terjadi karena di dalam badan
tertentu terdapat zat khusus yang bernama phlogiston. - red.
[2-4] Teori yang menyatakan bahwa matahari dari planet2
berasal dari gumpalan kabut pijar yang berputar. - red.
BAB III
Kesimpulan
. “Feuerbach
adalah seorang idealis; dia percaya akan kemajuan umat manusia.” . “Dasar,
bangunan bawah dari keseluruhannya, bagaimanapun tetap idealisme. Realisme bagi
kami tidaklah lain daripada suatu perlindungan terhadap penyelewengan,
sementara kami mengikuiti kecenderungan ideal kami. Bukankah kasih, cinta dan
kegairahan akan kebenaran dan keadilan merupakan kekuatan ideal?”
Menurut Anthony Giddens, kapitalisme dan teori sosial modern yaitu : suatu analisis karya
tulis Marc, Durkheim dan Max Weber, tentang "MATERIALISME
SEJARAH", secara garis besar, dapat di bagi menjadi dua bagi an, yaitu:
Bagian pertama adalah pembahasan tnengenai pendekatan materialisme sejarah mane.
Bagian ke dua adalah pembahasan mengenai" HASIL
PENERAPAN" pendekatan tersebut oleh Marx kedalam sdejarah masyarakat dunia, muali dari
masyarakat primitif
sampai kepada asal-muasal kapitalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad hatta.1960.alam pikiran yunani, I, II. Jakarta :
Tinta mas.
The Liang Gie.1991. Pengantar filsafat ilmu. Yogyakarta ;
Liberti.
0 komentar:
Posting Komentar