ILMU JARHI WA TA’DIL
(Mencatat dan mengadilkan rawi)
A. Definisi
Lafadz “jarhi” menurut muhadditsin ialah sifat yang dapat mencacatkan keadilan
dan kedhabitanya.
Menjarhi atau mentarjih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat
yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkan nya.
Menta’dil seorang rowi berarti memberikan sifat-sifat terpuji kepada seorang
rawi hingga apa yang diriwayatkanya dapat diterima .
Ilmu jarhi wa
ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang pemberian
kritik adanya aib (cacat) atau memberikan pujian pujian adil kepda
seorang rawi
B. Faidah
Ilmu jarhi wa ta’dil
Faedah mengetahui ilmu jarhi ma ta’dil ialah untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang rawi diterima atauka ditolak. Apabilah seorang rowi sudah
di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah
seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima.
·
Macam-macam kecacatan Rowi
Cacatnya rowi itu banyak tapi yang paling umum nerkisar pada 5 kecacatan yaitu
1) Bid’ah
yaitu rawi yang melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan Syara’
Rawi
yang disifati dengan bid’ah adakalnya tergolong orang-orang yang di anggap
kafir yaitu golongan Rafidhoh
yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup atau
bersatu pada sayyidina ‘Ali dan pada imam-imam yang lain , dan
mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat dan
adakalnya juga dianggap fasiq seperti golongan yang mempunyai I’tikad
bertentangan dengan dasar syari’at.
2) Mukholafah
yaitu rowi yang meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rowi yang
lebih tsiqoh.
Maksudnya
adalah periwayatan dari perowi ini menimbulkan kejanggalan dan kemunkaran dan
tidak bisa di kompromikan lagi dengan periwayatan yang rawi yang lebih tsiqoh.
3) Ghalath
yaitu rawi yang periwayatanya banyak
terdapat kekeliruan
Jika
ada rowi yang disifati banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya
diadakan tinjauan kembali terhadap periwayatanya akan tetapi jika periwayatnya
tadi juga terdapat dalam periwatan rowi yang disifati tidak banyak kesalahan
maka haditsnya itu dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila
tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan.
4) Jahalatul
hal yaitu rawi yang tidak dikenal
identitasnya
Jika
terdapat perselisihan pendapat tentang diterima tidaknya hadits rawi macam ini
maka yang diutamakan adalah pendapat orang yang lebih mengenalnya
5) Da’wal inqitho’ yaitu rawi yang di
da’wah sanadnya terputus
·
Jalan-jalan untuk
mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Untuk
mengetahui keadilan rawi ada 2 jalan yaitu:
a.
Bi-Syuhroh (karena terkenal keadilanya) di
kalangan ahli ilmu seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah
bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya.
b.
Pujian dari orang yang adil (tazkiyah)
terhadap orang yang tidak diketahui keadilanya sebelumnya.
1. Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih
(jarih)
a)
Berilmu pengetahuan
b)
Takwa
c)
Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan
maksiat, syubhat, dosa kecil, dan makruhat)
d)
Jujur
e)
Menjauhi fanatik golongan
f)
Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan
mentajrih. (Mufassar)
2. Bolehkah menta’dil dan mentajriih tanpa menyebutkan
sebab-sebabnya (Mubham).
Disini
terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti
Bukhari Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta’dil tanpa menyebutkan
sebab-sebabnya itu boleh karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika
disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi kalau dalam hal tajrih tidak boleh
kerena setiap pentarjih mempunyai keyakinan yang berbeda-beda dan agar lebih
jelas cacat seorang rawi.
3. Jumlah orang yang di pandang cukup untuk menta’dil dan
mentarjih rawi-rawi
Terdapat
perselisihan pendapat:
a)
Pedapat fuqoha’ minimal 2 orang baik dalm
syahadah maupun riwayah
b)
Cukup 1 orang dalam riwayah dan untuk syahadah
tidak dibatasi bilangan karena bilangan tidak jadi syarat dalam penerimaan
hadits.
4. Pertentangan antara jarhi dan ta’dil
Maksudnya
jika ada pertentangan sebagian ulama’ menta’dil dan sebagian yang lain
mentakhrij maka ada 4 pendapat:
i.
Jarhi harus didahulukan secara mutlak
Walau
jumlah mu’addil lebih banyak karena rojih lebih banyak pengetahuanya tentang
sisi batin dari rowi sedangkan mu’addil pengetahuanya hanya
berkisar terbatas pada lahir rawi. ( dianut oleh Jumhur ulama’)
ii.
Ta’dil harus didahulukan dari jarhi
Karena
rojih bisa salah dalam mencacatkan rowi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti
sebab pentarjihanya bersifat sebyektif berbeda dengan mu’addil dalm menilai
rowi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau byektif
iii.
Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rojih
maka didahulukan ta’dil
Karena
jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka
iv.
Masih tetap dalam pertentangan
5. Susunan lafadz-lafadz untuk menta’dil dan mentarjih rawi
Untuk
menta’dil ada 6 tingkatan lafad yang digunakan ( Ibnu Hajar):
1)
Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain
yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil.
Contoh
:
أوثق
الناس
(Orang yang paling tsiqoh)
أثبت الناس حفظا
وعدالة
(orang yang
paling mantap hafalan dan keadilanya)
إليه المنتهي فى الثبت
(orang yang
paling top keteguhan hati dan lidahnya)
ثقة فوق الثقة
(orang yang
tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)
2) Berbentuk
pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja
Contoh:
ثبت ثبت
(Orang yang
teguh lagi teguh)
ثقة ثقة
(orang yang tsiqoh lagi tsiqoh)
حجة حجة
(orang yang
ahli lagi peta lidahnya)
ثبة
ثقة
(orana yang teguh lagi tsiqoh)
حافظ
حجة
(orang yang
hafidz lagi peta lidahnya)
ضابط
متقن
(orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )
3) Menggunakan
Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan
Contoh:
ثبت
(orang yang teguh hati dan lidahnya )
متقن
(orang yang meyakinkan ilmunya)
ثقة
(orang yang
tsiqoh)
حافظ
(orang yang
kuat hafalanya)
حجة
(orang yang
petah lidahnya)
4) Menggunakan
Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil Contoh:
صدوق
(orang yang
sangat jujur)
مأمون
(orang yang dapat memegang amanat)
لابأس به
(orang yang
tidak cacat)
5) Menggunakan
lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn
Contoh:
محله الصدق
(orang yang berstatus jujur)
جيد
الحديث
(orang yang
baik haditsnya)
حسن
الحديث
(orang yang bagus haditsnya)
مقارب
الحديث
(orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh)
6) Menggunakan
lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat diatas yang
diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan
dengan pengharapan .
Contoh:
صدوق إن شاءالله
(orang yang
jujur, kalau Allh menghendaki)
فلان أرجوا بأن لابأس
به
(orang yang
diharapkan tsiqoh)
فلان
صويلح
(orang yang
sedikit kesalehanya)
فلان مقبول حديثه
(orang yang
diterima haditsnya)
Untuk
mentajrih hadits ada 6 tingkatan lafadz yang digunakan:
1) Menggunakan
lafadz –lafadz af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa denganya
menunjukkan amat cacatnya rowi.
Contoh:
أوضع
الناس
(orang yang
paling dusta)
أكذب
الناس
(orang yang paling bohong)
إليه المنتهى فى
الوضع
(orang yang
paling top kebohonganya)
2) Menggunakan
lafadz –lafadz sighot mubalaghoh menunjukkan amat cacatnya rowi.
Contoh:
كذاب
(orang yang pembohong)
وضاع
(orang yang pendusta)
دجال
(orang yang
penipu)
3) Menunjukkan
tuduhan dusta, bohong atau yang lainya
Contoh:
فلان متهم
بالكذل
(orang yang
dituduh bohong)
أو متهم بالوضع
(orang yang
dituduh dusta)
فلان فيه
النظر
(orang yang perlu diteliti)
فلان
ساقط
(orang yang gugur)
فلان ذاهب
الحديث
(orang yang
hadtsnya telah hilang)
فلان متروك
الحديث
(orang yang ditinggal haditsnya)
4) Menunjukkan
amat lemahnya rowi
Contoh:
مطرح
الحديث
(orang yang dilempar haditsnya)
فلان
ضعيف
(orang yang lemah)
فلان مردود
الحديث
(orang yang ditolak hadtsnya)
5) Menunjukkan
kacaunya hafalan rowi
Contoh:
فلان لايحتج
به
(orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)
فلان
مجهول
(orang yang tidak dikenal identitasnya)
فلان منكر
الحديث
(orang yang
munkar haditsnya)
فلان مضطرب
الحديث
(orang yang kacau haditsnya)
فلان
واه
(orang yang
banyak menduga-duga)
6) Menggunakan
lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya.
Contoh:
ضعف
حديثه
(orang yang didho’ifkan haditsnya)
فلان مقال
فيه
(orang yang diperbincangkan)
فلان فيه
خلف
(orang yang disingkiri)
فلان لين
(orang yang
lunak)
فلان ليس با لحجة
(orang yang
tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)
فلان ليس با لقوى
(orang yang
tidak kuat)
v
Catatan penting
Kita
harus ingat bahwa tidak semua para jarih hadits harus kita pecayai kerena
kadang –kadang ada jarih ta’dil terlalu dalam dalam mentarjrih rawi padahal
setelah di tajrih oleh beberpa ahli tajrih ternyata tidak sesuai. Diantara para jarih yang dianggap keterlaluan
adalah: Abu Hatim, An-Nasa’iy, Yahya bin Ma’in, Yahya
bin Khaththan dan Ibnu Hibban.
C. Kitab-kitab ilmu jarhi wa ta’dil
1.
Ma’rifatur rijal,
karya Yahya Ibni Ma’in, merupakan kitab pertama yang sampai pada kita, juz I
buku tersebut berupa manuskrip ( tulisan tangan) berada di Darul Kutub
Adh-Dhahiriyah
2.
Ad-Dhu’afa’,
karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhpri . Dicetak di Hindia tahun 320 H
3.
At-Tsiqat,
karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Ingat bahwa beliau ini
sangat muda menta’dil rawi jadi hati-hati atas pendapatnya. Naskah asli kitab
ini ditemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap.
4.
Al-jarhu wa ta’dil,
karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini merupakan kitab
yang terbesar dan mempunyai banyak faidah bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang
memuat 18.055 rawi, sering di setak berkali-kali dan terakhir dicetak di
India pada tahun 1373 H menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan
jilid yang lainya dijadikan 2.
5.
Mizanul I’tidad,
karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3 jilid, sudah
dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup
10.907oran rijalus sanad.
6.
Lisanul Mizan,
karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus sanad,
dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.
Cara Mengetahui Keadilan (‘Adalah) Seorang Perawi Hadits
2009 June 17
by ardianz87
Cara mengetahui keadilan (‘adalah) seorang perawi dapat diketahui dengan
kemasyhuran perawi tersebut atas sifat keadilannya; atau penegasan dari seorang
imam mu’tabar atas keadilannya; dan yang demikian ini dengan syarat perawi
tersebut tidak memiliki suatu hal yang dapat menghilangkan sifat
keadilannyanya.Namun apabila tidak diketahui kemasyhuran sifat keadilannya atau tidak ada tautsiq (pengakuan terpercaya) dari para imam atas keadilannya, maka dalam hal ini ada beberapa keadaan :
1. Meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqaat dan tidak ada pengingkaran atas riwayat yang datang darinya, maka ia adalah perawi tsiqah. Dan hal ini diperkuat apabila ia merupakan golongan thabaqah tabi’in senior atau pertengahan [أن يروي عنه جمع من الثقات ولم يأت بما ينكر عليه فهو ثقة ، ويتأكد ذلك إذا كان من طبقة كبار التابعين وأواسطهم.].
2. Merupakan riwayat Al-Bukhari dan Muslim atas seorang perawi merupakan isyarat keadilannya [رواية البخاري ومسلم للراوي تعديل له .].
3. Terangkatnya status majhul ‘ain dengan riwayat seorang atau dua orang perawi tsiqah darinya [ترتفع جهالة العين برواية ثقة أو راويين عنه]. [1]
4. Apabila diriwayatkan oleh seorang perawi majhul (tidak diketahui identitasnya) sebuah hadits maudlu’ atau munkar dan tidak ditemui dalam sanadnya penyerta yang mengkonfrontasikannya, maka perawi ini tertuduh majhul dengan kelemahannya (majhul bi’uhdatihi) [إذا روى المجهول حديثاً موضوعاً أو منكراً ولا يوجد في سنده من تحمل عليه التبعة فيتهم هذا الراوي المجهول بعهدته]. [2]
5. Apabila telah diriwayatkan seorang imam – yang diketahui bahwasannya tidaklah ia meriwayatkan kecuali dari seorang yang tsiqah – dari seorang rawi, maka hal ini merupakan tautsiq atas rawi dan penghukuman keadilan perawi dari imam tersebut [إذا روى إمام –عرف أنه لا يروي إلا عن ثقة- عن راو فهو توثيق للراوي وحكم بعدالته عند ذلك الإمام .].
6. Penshahihan seorang imam mu’tabar terhadap sanad hadits dihitung sebagai pen-tautsiq-an atas seluruh riwayatnya [تصحيح إمام معتبر لإسناد حديث يعد توثيقاً لجميع رواته].
Diambil dari : Matan kitab : [القَوَاعِدُ الذَّهَبِيَّةُ لِمَعْرِفَةِ الصَّحِيحِ والضَّعِيفِ مِنَ المَرْوِيَّاتِ الحَدِيثِيَّةِ] karya Abu ‘Umar Usamah bin ‘Athaayaa bin ‘Utsman Al-‘Utaibi hafidhahullah (diunduh dari : www.sahab.org/books – sekarang situs tersebut tidak bisa diakses/down).
Catatan kaki :
[1] Dan demikianlah terangkatnya majhul ‘ain-nya dengan tautsiq (pengakuan terpercaya) dari ulama yang mu’tabar atau ta’dil dari imam yang mu’tabar [وكذلك ترتفع جهالة عينه بتوثيق معتبر أو بتعديل إمام (معتبر) .].
0 komentar:
Posting Komentar