Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Panasonic Scholarship 2012 for Indonesian Students, Japan

Panasonic Scholarship 2012 for Indonesian Students, Japan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sulam Sembilan


Artist: Siti Nurhaliza

Hendak ku sulam, sulam sembilan
Paras, sejengkal hatinya
Langkah mu tuan, permata intan
Cahaya, tumpang cahayanya

Kalau tahu coraknya beranggi
Corak kasih, sujiku emaskan
Kalau mahu rasaku nak pergi
Rindu kelemasan

Semarak... sulaman sembilan
Pancaran memancar... sulaman sembilan
Dipuncak mahligai... sulaman sembilan
Di langit yang biru... sulaman sembilan

Bunga kembang, nan asalnya wangi
Kembang layu, tidak ku buang
Layu mekar, harumnya ke pagi
Buatmu seorang

Padaku, tegakkan tiang belayar
Padamu, kembangnya ditiup angin
Janji, ombaknya memecah pantai
Belayar menuju ke arah seribu

Pergiku bak guruh hilang suara
Pergimu bak air mengalir sepi
Janji, kata indah yang membara
Semarak kasih suci, bukannya mimpi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

makalah pramaterialistik


DAFTAR ISI


BAB I

PENDAHULUAN

Banyak orang yang beranggapan bahwa filsafat bukanlah hal yang penting dan signifikan untuk diketahui dan didalami. Kebanyakan mungkin berpendapat demikian karena filsafat seakan tidak pernah menemukan titik akhir dalam proses dialognya dan terkesan “rewel” karena selalu bertanya hal-hal yang menurut sebagian orang bukanlah sesuatu yang penting untuk ditanyakan. Ilmu pengetahuan bagi mereka adalah hal yang paling penting karena, tidak seperti filsafat, ilmu pengetahuan selalu memberikan jawaban pasti terhadap berbagai pertanyaan dan terkadang dapat membawa mereka kepada sebuah situasi mapan.
Mungkin tidak disadari bahwa sebenarnya justru filsafat-lah yang membuat ilmu pengetahuan bisa muncul dan berkembang hingga mendapat tempatnya seperti sekarang. Filsafat tidak hanya sebagai sebuah proses bertanya dan menjawab, namun di dalamnya juga ada semangat dan hasrat yang begitu besar untuk memahami hakikat, keberadaan, dan semua hal di sekitar di sekitar manusia. Sejarah pemikiran manusia telah membuktikan bahwa melalui sebuah pemikiran filosofis yang sangat sederhana, namun tidak sesuai mainstream pada saat itu, telah membuka jalan bagi tradisi berfilsafat dan ruang bagi berkembangnya ilmu pengetahuan.
Pada awalnya manusia melihat benda-benda di sekitarnya. Keanekaragaman dan karakteristik yang berbeda dari benda-benda tersebut telah membuat para filsuf awal tertarik untuk mengamati sembari bertanya tentang hakikat benda-benda tersebut. Mereka akhirnya menyadari bahwa benda yang mereka kaji tersebut merupakan sebuah kebenaran berdasarkan hasil penginderaan mereka. Kemudian mereka membuat sebuah formulasi tentang hakikat benda tersebut, sehingga lahirlah sebuah pemikiran filosofis awal tentang keberadaan benda-benda. Pemikiran tersebut kemudian dikenal sebagai filsafat materialisme.


BAB II

Pembahasan

EngelsPramaterialistik

Menurut Anthony Giddens, kapitalisme dan teori sosial modern yaitu : suatu analisis karya tulis Marc, Durkheim dan Max Weber, tentang "MATERIALISME SEJARAH", secara garis besar, dapat di bagi menjadi dua bagi an, yaitu:
Bagian pertama adalah pembahasan tnengenai pendekatan materialisme sejarah mane.
Bagian ke dua adalah pembahasan mengenai" HASIL PENERAPAN" pendekatan tersebut oleh Marx kedalam sdejarah masyarakat dunia, muali dari masyarakat primitif sampai kepada asal-muasal kapitalisme.

A. MATERIALISME SEJARAH

Menurut Giddens, materialisme Marx tidak berangkat dari suatu "Posisi Ontologi apapun juga yang di pikirkan secara logis". Materialisme Max hanya berangkat dari suatu bentuk pemahaman bahwa kesadaran manusia merupakan produk interaksi antara manusai  dengan dunia secant dialektis, di mana di dalam interaksi tersebut dunia juga memberikan bentuk kepada manusia.

Di dalam hal ini nampak berseberangan dengan Feuer Bach dan para
ahli Filsafat materialisme lainnya yang terlebih dahulu, yang memahami hubungan
kesadaran dengan dunia, sebagai suatu hubungan yang bersi&t "Sejarah" dari dunia
menuju kesadaran, sehingga manusia akhimya seperti hanya menjadi "Robot" yang
di keadalikan oleh lingtamgan materinya. la mengkritik mereka, dan mengatakan
bahwa dunia yang di scrap oleh panca indera kita sebenamya" sudah di persiapkan"
oleh masyarakat lewat "kegiatan".                                                         , .
Menurut Giddens, Marx menafsirkar. sejarah sebagai "suatu-peneiptaan dan pemuasan serta penciptaan ulang dau keoutuhan-kebutuhan manusia yang terus menerus." Disini konsep "kerja" ii.tpraksi kreatif antara msnusia dengan alam, menjadi penting, karena menjadi landasan dari masyarakat Dengan demikian, di
periukan "suatu ihnu pengetahuan mengenai masyarakat yang akan berlandaskan pada penelitian tentang hubungan yang kreatif dan dinamis antara manusia dan alam. "inilah prinsip umum dan materialisme sejarah Marx manurut Giddens, yaitu : Interaksi kreatif dan dinamis antara manusia dan alam, dan Giddens berpendapat bahwa marx tidak pernah mengatakan adanya suatu "hukum-hukum umum yang tetap" di hal interaksi manusia dengan alam tersebut.
"Logika" perkembangan masing-masing masyarakat memiliki ciri-ciri khas tertentu yang bersifat intern, sehingga" kita hams bertolak dari suatu pengkajian empiris terhadap proses-proses kehidupan sosial yang konkrit dan yang mudak bagi keberadaan manusia." Didalama hal ini marx juga menolak suatu penafsiran yang bersifat teleologis terhadap sejarah. Adapun menurut Giddens, marx menggunakqn perbedaan-perbedaan pembagian kerja sebagai dasar atas tipologi masyarakat

 1.  Sistem-sistem Pra-Kelas

Sistem-sistem pra-kelas ini melibatkan dua macam masyarakat yaitu:

 a.   Masyarakat Suku

Sistem kepemilikan di dalam masyarakat suku masih bersifat komunaL Ketika mereka sudah mulai tinggal menetap, muncul pertambahan peaduduk yang menghasilkan pembagian kerja yang lebih beragam, yang pada gilirannya, tnenghasilkan produk-produk yang berbeda-beda. Kontak antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya menimbulkan baik perang atau penaklukan rnaupun pertukaran produk (niaga).
Perang dan penaklukan menghasilkan sistem perbudakan, «*«<«t«gif««i pertukaran produk menghasitkan suatu bentuk pembagian kerja yang lebih komleki dan mulai menyajikan produksi komuditi (produksi barang-barang untuk di tukarkan di pasar). Dari perkembangan hubungan tukar-menukar inilah kemudian muncul suatu bentuk uang.

b.   Masyarakat Timur

Ada satu fmornena mecarik yang merupakan crh khas dari masyarakat timur, yaitu ketah&mcya tertadv pcrubafaZL atau sifzt stagnasima.
Pertama, karena adanya sifat swasembada yang internal dari masyarakat desa, di mana sifat swasembada pertanian tersebut tidak menimbulkan pembagian kerja lebih lanjut dan membatasi pertumbuhan kota-kota, karena tidak adanya pertumbuhan urbanisasi.
Kedua, stagnasi itu juga dapat dilihat dari tidak adanya kepemiiikan atas tanah, sehingga adanya pertumbuhan penduddc tidak memiliki pengaruh apa-apa pada masyarakat timur.
Masyarakat timur ini masih di kategorikan oleh Giddens ke dalam sistem-sistem pra-kelas, karena menurut marx, walaopun sudah ada suatu bentuk organisasi negara di dalam masyarakat timur, tetapi ia tidak pernah melibatkan suatu sistem kelas yang maju,. Karena kepemilikannya di tmgfcatkan Iokal masih bersifat komunal.

2.  Masyarakat kuno

Menurut Giddens, analisa marx terhadap masyarakat kuno di pusatkan pada kasus Roma. Walaupun di Roma kota memainkan peran yang sangat penting di dalam perekonomian, tetapi Roma terlepas dari pengaruh kepemiiikan tanah. Adapun periuasan wilayah semakin memperluas perbudakan dan memusatkan kepemiiikan tanah.
Perkembangan dari sistem perbudakan ini berjalan seiring dengan tumbuhnya perusahaan-perusahaan pertanian besar. Tetapi kegagalan dari perdagangan dan industri untuk mencapai titik tertentu, dan semakin parahnya kondisi sebagian besar dari penduduk, malah mengakibarkan penisahaan-penisahaan pertanian tersebu: mcnjadi tidak ekooomis lagi.
Perdagangan dan kota-kota juga megalami kemunduran dan kerentuhan, sehingga akhirnya perbudakan mulai di hapuskan dan perusahaan-iperusahaan pertanian yang besar di pecan-pecan dan di sewakan dalam bentuk pertanian kecil. Sistem ekooomi dollar, demikian kembali lagi kepada pertanian dengan skala kecil. Romawi akhirnya menjadi hancur karena situasi intemalnya sendiri  kekayaan yang
sebenamya dapat di kemhangkan menjadi tenaga-tenaga produktif yang bagus.

C. FEODALISME DAN TRANSISIMENUJU KAPITALISME

Tahap dini feodalisme di mulai dari seranga kaum barbar atas Roma yang memang sudah hancur dari dalam. Pemerintahan di dominasi oleh panglima militer, yang pada perkembangan selanjutnya di kelilingi oleh para bangsawan dan kaum elite terpelajar. Peperangan dan kekacauan yang terajdi selama beberapa abad di eropa barat, mengakibatkan kemiskinan dan penghambaan yang meluas. Sehingga dengan demikian terjadinya tranformasi menuju sistem feodalisme. Berbeda dengan masyarakat kuno, maka pada feodalisme, pusat perekonomian ada di pedesaan.
Ada dua tabap kemajuan sejarah yang terdapat di d^l"m transisi dari
masa feodalisme menuju kapitalisme, yaitu:
Pertama, adalah gerakan kelas pedagang dari perdagangan mumi ke dalam produksi. Hal ini terjadi pada abad ke dua kelas (XII), ketika kota-kota berkembang menjadi pusat perdagangan. Berkembang perdagangan ini mengakibatkan pemakaian uang makin luas dan terajdinya pertukaran komoditi di dalam sistem ekonomi feodal.
Walaupun begitu perkembangan kapitalisme menuliki keterbatasannya sendiri. Ada beberapa sebab dari keterbatasan itu, yang pertama adalah karena kota-kota di kuasai oleh serikat-serikat sekerja yaug "sangat membatasi jumlah magang dan luhisan permagangan yang boleh di pekerjakan oleh sang majikan.
Sebab yang kedua adalah bahwa mayoritas Penduduk nada saat itu masih terdiri dari kaum tani yang merdeka. Tahapan sejarah yang kedua di dalam masa transisi menuju kapitalisme adalah para produsen yang bergerak sendiri dari
produksi untuk memperluas bidang-bidang kegiatan mereka, agar bisa meliputi perdagangan.
Menurut Marx, peristiwa-peristiwa belum merupakan memenuhi syarat-syarat bagi munculriya kapitalisme. Penstiwa yang juga sama pentingnya dengan proses pengambil alihan itu adalah perluasan perdagangan lewat lautan yang jauh, sebagai akibat dari penemuan-penemuan di lapangaa geografis (penemuan benua Amerika dan tanjung h^rapan). Perdagangan lewat lautan ini menimbulkan pemasukan kapital yang cepat, serta di tambah lagi dengan penemuan emas dac perak yang mengakibatkan terjadinya banjir logam mulia di Inggris.


D. materialisme dan idealisme

Masalah fundamental yang besar dari semua filsafat, teristimewa dari filsafat yang akhir-akhir ini, ialah masalah mengenai hubungan antara pikiran dengan keadaan. Sejak zaman purbakala, ketika manusia, yang masih sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah rangsang khayal-khayal impian  mulai percaya bahwa pikiran dan perasaan mereka bukanlah aktivitas-aktivitas tubuh mereka, tetapi, aktivitas-aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami tubuhnya dan meninggalkan tubuh itu ketika mati - sejak waktu itu manusia didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa itu meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada alasan untuk mereka-reka kematian lain yang tersendiri baginya. Maka itu timbul ide tentang kekekal-abadian, yang pada tingkat. perkembangan waktu itu sama sekali tidak nampak sebagai penghibur tetapi sebagai takdir yang terhadapnya tiada berguna mengadakan perlawanan, dan sering sekali, seperti dikalangan orang-orang Yunani, sebagai malapetaka yang sesungguhnya. Bukannya hasrat keagamaan akan suatu penghibur, tetapi kebingungan yang timbul dari ketidaktahuan umum yang lazim tentang apa yang harus diperbuat dengan nyawa itu, sekali adanya nyawa itu diakui, sesudah tubuh mati, menuju secara umum kepada paham tentang kekekal-abadian perorangan. Dengan cara yang persis sama, lahirlah dewa-dewa pertama, lewat personifikasi kekuatan-kekuatan alam. Dan dalam perkembangan agama-agama selanjutnya dewa-dewa itu makin lama makin mengambil bentuk-bentuk diluar-keduniawian, sehingga akhirnya lewat proses abstraksi saja hampir bisa mengatakan proses penyulingan, yang terjadi secara wajar dalam proses perkembangan intelek manusia, dari dewa-dewa yang banyak jumlahnya itu, yang banyak sedikitnya terbatas dan saling-membatasi, muncul di dalam pikiran-pikiran manusia ide tentang satu tuhan yang eksklusif dari agama-agama monoteis.
Jadi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam - masalah yang terpenting dari seluruh filsafat - mempunyai, tidak kurang daripada semua agama, akar-akarnya di dalam paham-paham kebiadaban yang berpikiran-sempit dan tiada berpengetahuan. Tetapi masalah itu untuk pertama kalinya dapat diajukan dengan seluruh ketajamannya, dapat mencapai arti pentingnya yang sepenuhnya, hanya setelah umat manusia di Eropa bangun dari kenyenyakan tidur yang lama dalam Zaman Tengah Nasrani. Masalah kedudukan pikiran dalam hubungan dengan keadaan, suatu masalah yang, sepintas lalu, telah memainkan peranan besar juga dalam skolastisisme Zaman Tengah, masalah: yang mana yang primer, jiwa atau alam - masalah itu, dalam hubungan dengan gereja, dipertajam menjadi : Apakah Tuhan menciptakan dunia ataukah dunia sudah ada sejak dulu dan akan tetap ada di kemudian hari?
Jawaban-jawaban yang diberikan oleh para ahli filsafat ke masalah ini membagi mereka ke dalam dua kubu besar. Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam, dan karenanya, akhirnya, menganggap adanya penciptaan dunia dalam satu atau lain bentuk - dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya, penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama Nasrani - merupakan kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.
Dua pernyataan ini, idealisme,dan materialisme, mula-mula tidak mempunyai arti lain daripada itu; dan disinipun kedua pernyataan itu tidak digunakan dalam arti lain apapun. Kekacauan apa yang timbul bila sesuatu arti lain diberikan kepada kedua pernyataan itu akan kita lihat di bawah ini.
Tetapi masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan mempunyai segi lain lagi - bagaimana hubungan pikiran kita tentang dunia di sekitar kita dengan dunia itu sendiri ? Dapatkah pikiran kita mengenal dunia yang sebenarnya? Dapatkah kita menghasilkan pencerminan tepat dari realitas di dalam ide-ide dan pengertian-pengertian kita tentang dunia yang sebenarnya itu? Dalam bahasa filsafat masalah ini dinamakan masalah identitas pikiran dengan keadaan, dan jumlah yang sangat besar dari para ahli filsafat memberikan jawaban yang mengiyakan atas pertanyaan ini. Hegel, misalnya, pengiyaanya sudah jelas dengan sendirinya; sebab apa yang kita kenal di dalam dunia nyata adalah justru isi-pikirannya - yang menjadikan dunia berangsur-angsur suatu realisasi dari ide absolut yang sudah ada di sesuatu tempat sejak dahulukala, lepas dari dunia dan sebelum dunia. Tetapi adalah jelas, tanpa bukti lebih lanjut, bahwa pikiran dapat mengetahui isi yang sejak semula adalah isi-pikiran. Adalah sama jelasnya bahwa apa yang harus dibuktikan disini sudah dengan sendirinya terkandung di dalam premis-premisnya. Tetapi hal itu sekali-kali tidak merintangi Hegel menarik kesimpulan lebih lanjut dari pembuktiannya tentang identitas pikiran dengan keadaan yaitu bahwa filsafatnya, karena tepat bagi pemikirannya, adalah satu-satunya yang tepat, dan bahwa identitas pikiran dengan keadaan mesti membuktikan keabsahannya dengan jalan umat manusia segera menerjemahkan filsafatnya dari teori ke dalam praktek dan mengubah seleruh dunia sesuai dengan prinsip-prinsip Hegel. Ini adalah suatu khayalan yang sama-sama terdapat pada Hegel dan pada hampir semua ahli filsafat.
Di samping itu masih ada segolongan ahli filsafat lainnya - mereka yang meragukan kemungkinan pengenalan apapun, atau sekurang-kurangnya pengenalan yang selengkap-lengkapnya, tentang dunia. Di dalam golongan ini, diantara para ahli filsafat yang lebih modern, termasuk Hume dan Kant, dan mereka telah memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan filsafat. Apa yang menentukan dalam menyangkal pandangan ini sudah dikatakan oleh Hegel, sejauh ini mungkin dari pendirian idealis. Tambahan-tambahan materialis yang diajukan oleh Feuerbach, adalah lebih bersifat cerdik daripada mendalam. Penyangkalan yang paling kena terhadap pikiran aneh ini seperti terhadap semua pikiran filsafat yang aneh lainnya ialah praktek, yaitu eksperimen dan industri. Jika kita dapat membuktikan ketepatan konsepsi kita tentang suatu proses alam dengan membikinnya sendiri, dengan menciptakannya dari syarat-syaratnya dan malahan membuatnya berguna untuk maksud-maksud kita sendiri, maka berakhirlah sudah “konsepsi” Kant yang tak terpahami itu tentang “benda-dalam-dirinya” Zat-zat kimia yang dihasilkan di dalam tumbuh-tumbuhan dan di dalam tubuh binatang tetap merupakan “benda-dalam-dirinya” itu sampai ilmu kimia organik mulai menghasilkan zat-zat itu satu per satu; sesudah itu “benda-dalam-dirinya” menjadi benda untuk kita, seperti, misalnya, alizarin, zat warna dari tumbuh-tumbuhan Rubiantinetorum, yang kita tidak susah-susah lagi menghasilkannya di dalam akar-akar tumbuh-tumbuhan itu di ladang, tetapi membuatnya jauh lebih murah dan sederhana dari tir batubara. Selama 300 tahun sistim tata surya Copernikus merupakan hipotesa dengan kemungkinan benarnya seratus, seribu atau sepuluh ribu lawan satu, meskipun masih tetap suatu hipotesa. Tetapi ketika Leverrier, dengan bahan-bahan yang diberikan oleh sistim itu, bukan hanya menarik kesimpulan tentang keharusan adanya suatu planet yang tidak diketahui, tetapi juga menghitung kedudukan yang mesti ditempati oleh planet itu di langit, dean ketika Gallilei benar-benar menemukan planet itu, maka terbuktilah kebenaran sistim Copernikus itu. Jika, sekalipuni demikian, kaum Kantian Baru sedang mencoba menghidupkan kembali paham Kant di Jerman dan kaum agnostik menghidupkan kembali paham Hume di Inggris (dimana paham itu sesungguhnya belum pernah lenyap), maka, mengingat bahwa secara teori dan praktek bantahan terhadap paham-paham itu sudah lama dicapai, hal ini secara ilmiah merupakan kemunduran dan secara praktis hanya merupakan cara kemalu-maluan dalam menerima materialisme dengan diam-dima, sambil mengingkarinya di depan dunia.
Tetapi selama periode yang Panjang ini, yaitu sejak Descartes sampai Hegel dan sejak Hobbes sampai Feuerbach, para ahli filsafat sekali-kali tidak didorong, seperti yang mereka pikirkan, oleh kekuatan akal murni semata. Sebaliknya, yang betul-betul sangat mendorong mereka maju ialah kemajuan yang perkasa dan semakin cepat dari ilmu-ilmu alam dan industri. Di kalangan kaum materialis hal ini terang-benderang terlihat dipermukaan, tetapi sistim-sistim idealis juga semakin banyak mengisi diri dengan isi materialis dan mencoba secara panteis mendamaikan pertentangan antara pikiran dengan materi. Jadi, akhirnya, mengenai metode dan isi sistim Hegelian hanyalah mewakili materialisme yang dijungkirbalikkan secara idealis.
Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa Starcke dalam karakterisasinya tentang Feuerbach pertama-tama menyelidiki pendirian Feuerbach dalam hubungan dengan masalah fundamental ini, yaitu hubungan pikiran dengan keadaan. Sesudah mengajukan suatu pengantar singkat, dalam mana pendirian-pendirian ahli filsafat yang terdahulu, terutama sejak Kant, dilukiskan dalam bahasa filsafat yang secara tidak semestinya berat, dan dalam mana Hegel, oleh karena terlalu formalistis berpegang teguh pada bagian-bagian tertentu dari karya-karyanya, pendapat jauh lebih sedikit daripada yang patut baginya, menyusul suatu penguraian mendetail tentang jalan perkembangan “metafisika” Feuerbach itu sendiri, sebagaimana jalan ini berturut-turut dicerminkan di dalam tulisan-tulisan filsuf itu yang ada sangkut pautnya disini. Penguraian itu disusun dengan rajin dan terang; hanya, seperti halnya seluruh buku itu, penguraian itu diisi dengan beban fraseologi filsafat yang disana-sini bukannya sama sekali tidak dapat dihindari dan yang pengaruhnya lebih mengganggu semakin kurang pengarangnya berpegang pada cara pengungkapan mazhab yang itu-itu juga, atau bahkan cara pengungkapan Feuerbach sendiri, dan sernakin banyak dia menyisipkan ungkapan-ungkapan aliran-aliran yang sangat berbeda-beda, terutama aliran-aliran yang kini merajalela dan, menamakan dirinya aliran filsafat.
Jalan evolusi Feuerbach ialah jalan evolusi seorang Hegelian - memang, tidak pernah seorang ortodoks Hegelian yang sempurna - menjadi seorang materialis; suatu evolusi yang pada tingkat tertentu mengharuskan adanya pemutusan hubungan seluruhnya dengan sistim idealis dari pendahulunya. Dengan kekuatan yang tak tertahan, Feuerbach akhirnya didorong menginsafi, bahwa adanya “ide absolut” pra-dunia dari Hegel, “adanya terlebih dulu kategori logis” sebelum dunia ada, adalah tidak lain daripada sisa khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar-dunia; bahwa dunia materiil yang dapat dirasa dengan panca indera, yang kita sendiri termasuk di dalamnya, adalah satunya realitas; dan bahwa kesadaran serta pemikiran kita, betapa diatas-panca-inderapun nampaknya, adalah hasil organ tubuh yang materiil, yaitu otak. Materi bukanlah hasil jiwa, tetapi jiwa itu sendiri hanyalah hasil tertinggi dari materi. Ini sudah tentu adalah materialisme semurni-murninya. Tetapi setelah sampai sedemikian jauh, Feuerbach tiba  berhenti. Dia tidak dapat mengatasi purbasangka filsafat yang lazim, purbasangka bukan terhadap barangnya tetapi terhadap nama materialisme. Dia berkata: “Bagi saya materialisme adalah dasar dari bangunan hakekat dan pengetahuan manusia; tetapi bagi saya materialisme bukanlah seperti bagi ahli fisiologi, seperti bagi sarjana ilmu2 alam dalam arti yang lebih sempit, misalnya, bagi Moleskhott, dan memang suatu keharusan menurut pendirian dan pekerjaan mereka, yaitu bangunan itu sendiri. Ke belakang saya setuju sepenuhnya dengan kaum materialis; tetapi ke depan tidak.”
Disini Feuerbach mencampurbaurkan materialisme yang merupakan pandangan-dunia umum yang bersandar pada pengertian tertentu tentang hubungan antara materi dengan pikiran. dengan bentuk khusus dalam mana pandangan-dunia ini dinyatakan pada tingkat sejarah tertentu, yaitu dalam abad ke-18. Lebih daripada itu, dia mencampurbaurkannya dengan bentuk yang dangkal, yang divulgarkan, dalam mana materialisme abad ke-18 hidup terus hingga hari ini di dalam kepala para ahli ilmu alam dan fisika, bentuk yang dikhotbahkan oleh Bükhner, Vogt dan Moleskhott pada tahun limapuluhan dalam perjalanan keliling mereka. Tetapi. sebagaimana idealisme mengalami sederet tingkat perkembangan, begitu juga materialisme. Dengan setiap penemuan yang membuat zaman, sekalipun di bidang ilmu alam, materialisme harus mengubah bentuknya, dan setelah sejarah juga dikenakan perlakuan materialis, maka disinipun terbuka jalan raya perkembangan yang baru.
Materialisme abad yang lampau adalah terutama mekanis, sebab pada waktu itu, di antara semua ilmu alam hanya ilmu mekanika, dan memang hanya ilmu mekanika benda padat langit dan bumi pendek kata, ilmu mekanika gravitasi telah mencapai titik akhir tertentu. Ilmu kimia pada waktu itu baru berada dalam masa kanaknya, dalam bentuk phlogistis. Biologi masih berlampin; organisme tumbuh-tumbuhan dan hewan baru saja diperiksa secara kasar dan dijelaskan sebagai akibat sebab mekanik semata. Seperti hewan bagi Descartes, begitu juga manusia bagi kaum materialis abad ke-18 adalah suatu mesin. Penerapan secara eksklusif norma2 mekanika ini pada proses2 yang bersifat kimiawi dan organik - yang di dalamnya hukum2 mekanika memang berlaku tetapi didesak kebelakang oleh hukum2 lain yang lebih tinggi - merupakan keterbatasan khusus yang pertama tapi yang pada waktu itu tak terhindarkan dari materialisme klasik Perancis.
Keterbatasan khusus yang kedua dari materialisme ini terletak dalam ketidakmampuannya memahami alam semesta sebagai suatu proses, sebagai materi yang mengalami perkembangan sejarah yang tak putus2nya. Ini sesuai dengan tingkat ilmu2 alam pada waktu itu, dan dengan cara berfilsafat secara metafisik, yaitu antidialektik, yang bertalian dengan tingkat ilmu2 itu. Alam, sejauh yang sudah diketahui, berada dalam gerak yang kekal-abadi. Tetapi menurut ide2 pada waktu itu, gerak itu berlangsung, juga dengan kekal-abadi, dalam lingkaran dan karenanya tidak pernah berpindah dari tempatnya: gerak itu berulang-ulang menghasilkan hasil yang itu2 juga. Pandangan itu pada waktu itu tidak dapat dielakkan. Teori Kant tentang asal-usul tata surya baru saja dikemukakan dan masih dianggap sebagai suatu barang ajaib belaka. Sejarah perkembangan bumi, geologi, masih sama sekali belum diketahui, dan konsepsi bahwa makhluk2 alam yang bernyawa di hari ini adalah hasil guatu rentetan perkembangan yang panjang dari yang sederhana ke yang rumit, pada waktu itu sama sekali tidak dapat dikemukakan secara ilmiah. Oleh sebab itu pendirian yang tidak historis terhadap alam tidak dapat dielakkan. Semakin kuranglah alasan kita untuk mencela para ahli filsafat abad ke-18 tentang hal itu, karena hal yang sama terdapat pada Hegel. Menurut Hegel, alam, sebagai “penjelmaan” semata diri ide, tidak mampu berkembang dalam waktu hanya mampu memperbesar kelipatgandaannya dalam ruang, sehingga alam bersamaan dan berdampingan satusamalain memperlihatkan semua tingkat perkembangan yang terkandung di dalamnya, dan ditakdirkan mengalami pengulangan yang kekal-abadi dari proses-proses yang itu2 juga. Hal yang tak masuk akal ini, yaitu perkembangan dalam ruang, tetapi yang lepas dari waktu - syarat fundamental bagi semua perkembangan - dipaksakan oleh Hegel pada alam justru ketika geologi, embriologi, fisiologi tumbuh2an dan hewan, serta ilmu kimia organik sedang dibangun, dan ketika dimana-mana berdasarkan ilmu2 baru ini sedang tampil ramalan2 gemilang dari teori evolusi yang datang kemudian (misalnya; Goethe dan Lamarck). Tetapi sistim menuntutnya; maka itu metode, demi kepentingan sistim, harus menjadi tidak jujur terhadap dirinya sendiri.
Konsepsi tidak-historis yang sama berkuasa juga di bidang sejarah. Di bidang itu perjuangan melawan sisa-sisa Zaman Tengah memburemkan pandangan. Zaman Tengah dianggap sebagai interupsi sejarah belaka selama seribu tahun kebiadaban umum. Kemajuan besar yang dibuat dalam Zaman Tengah - peluasan wilayah kebudayaan Eropa, bangsa-bangsa besar yang berdayahidup sedang terbentuk di wilayah itu damping-mendampingi, dan akhirnya kemajuan teknik yang luar biasa pada abad ke-14 dan ke-15 semua ini tidak dilihat. Jadi tidak dimungkinkan adanya pengertian rasionil tentang saling-hubungan kesejarahan yang besar, dan sejarah paling banyak menjadi suatu kumpulan contoh-contoh dan ilustrasi2 untuk digunakan oleh para ahli filsafat.
Penjajah yang melakukan pemvulgaran, yang di Jerman pada tahun limapuluhan berkecimpung dalam materialisme, sama sekali tidak mengatasi keterbatasan guru-guru mereka itu. Seluruh kemajuan ilmu-ilmu alam yang sementara itu telah dicapai bagi mereka hanyalah bukti-bukti  baru saja yang dapat digunakan untuk menentang adanya pencipta dunia; dan memang,mereka samasekali tidak menjadikan pengembangan teori itu lebih jauh sebagai usaha mereka. Walaupun idealisme sudah tidak bisa berkembang lagi dan mendapat pukulan yang mematikan dari Revolusi 1848, ia mempunyai kepuasan melihat bahwa materialisme untuk waktu itu sudah tenggelam lebih dalam lagi. Tidak dapat disangkal bahwa Feuerbach adalah benar ketika dia menolak memikul tanggungjawab atas materialisme itu; hanya dia semestinya tidak mencampurbaurkan ajaran-ajaran pengkhotbah berkelilling itu dengan materialisme pada umumnya.
Tetapi, disini, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, semasa hidup Feuerbachpun, ilmu-ilmu alam masih berada dalam proses pergolakan yang hebat, pergolakan yang baru selama lima belas tahun yang akhir-akhir ini mencapai kesimpulan relatif yang membawa kejelasan. Bahan ilmiah baru telah diperoleh dalam ukuran yang belum pernah terdengar hingga kini, tetapi penetapan saling-hubungan, dan dengan demikian soal membawa ketertiban ke dalam kekacauan penemuan  yang dengan cepatnya susul-menyusul, baru akhir ini menjadi mungkin. Memang benar bahwa Feuerbach semasa hidupnya masih sempat menyaksikan ketiga penemuan yang menentukan penemuan sel, transformasi energi dan teori evolusi, yang diberi nama menurut Darwin. Tetapi bagaimana seorang ahli filsafat yang kesepian, yang hidup dalam kesunyian desa, dapat secara memuaskan mengikuti perkembangan ilmiah guna menghargai menurut sepenuh nilainya penemuan yang sarjana ilmu alam sendiri pada waktu itu masih membantahnya atau tidak tahu bagaimana menggunakannya sebaik-baiknya? Kesalahan tentang ini semata-mata terletak pada syarat yang menyedihkan yang terdapat di Jerman, yang mengakibatkan tukang tindas-kutu eklektis yang melamun telah menempati mimbar filsafat, sedangkan Feuerbach yang menjulang tinggi diatas mereka semua, harus tinggal diudik dan membusuk disuatu desa kecil. Maka itu bukanlah salah Feuerbach bahwa konsepsi historis tentang alam, yang kini sudah mungkin dan yang menyingkirkan segala keberatsebelahan materialisme Perancis, tetap tak tercapai olehnya.
Kedua, Feuerbach memang tepat dalam menyatakan bahwa materialisme alam-ilmiah yang eksklusif adalah sesungguhnya dasar dari bangunan pengetahuan manusia, tetapi bukan bangunan itu sendiri. Karena kita tidak hanya hidup di dalam alam, tetapi juga di dalam masyarakat manusia, dan inipun, tidak kurang daripada alam, mempunyai sejarah perkembangannya dan ilmunya. Oleh sebab itu soalnya ialah membikin ilmu tentang masyarakat, yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang dinamakan ilmu-ilmu sejarah dan filsafat, selaras dengan dasar materialis, dan membangunnya kembali di atas dasar itu. Tetapi tidak ditakdirkan bahwa Feuerbachlah yang melakukan hal yang demikian itu. Meskipun ada “dasar”nya, dia disini tetap terikat oleh belenggul idealis yang tradisionil, suatu kenyataan yang dia akui dengan kata-kata berikut ini : “Kebelakang saya setuju dengan kaum materialis, tetapi kedepan tidak!” Tetapi disini Feuerbach sendirilah yang tidak maju “kedepan”, ke lapangan sosial, yang tidak dapat melampaui pendiriannya tahun 1840 atau 1844. Dan lagi ini terutama disebabkan oleh pengasingan diri yang memaksa dia, yang, diantara semua filsuf, adalah yang paling cenderung kepada pergaulan, kemasyarakatan, untuk menghasilkan pikiran dari kepalanya yang kesepian itu dan bukan sebaliknya, yaitu dari pertemuan yang bersahabat dan bermusuhan dengan orang lain yang sekaliber dengan dia. Kelak akan kita lihat secara mendetail seberapa banyak dia tetap seorang idealis di dalam bidang itu.
. “Feuerbach adalah seorang idealis; dia percaya akan kemajuan umat manusia.” . “Dasar, bangunan bawah dari keseluruhannya, bagaimanapun tetap idealisme. Realisme bagi kami tidaklah lain daripada suatu perlindungan terhadap penyelewengan, sementara kami mengikuiti kecenderungan ideal kami. Bukankah kasih, cinta dan kegairahan akan kebenaran dan keadilan merupakan kekuatan ideal?”
Pertama, idealisme disini tidak mengandung arti lain daripada pengejaran tujuan ideal. Tetapi, ini seharusnya paling menyangkut idealisme Kant dan “imperatif kategoris”nya, sebaliknya, Kant sendiri menyebut filsafatnya “idealisme transcendental”; dan sekali-kali bukan karena dia di dalamnya juga mempersoalkan cita-cita etika, tetapi karena alasan  yang lain samasekali, sebagaimana Starcke akan ingat. Takhayul bahwa idealisme filsafat bersendikan kepercayaan akan cita-cita etika, yaitu cita-cita sosial, timbul diluar filsafat, dikalangan kaum filistin Jerman, yang mengapalkan diluar kepala beberapa bagian kebudayaan filsafat yang mereka perlukan dari syair Skhiller. Tidak seorangpun yang lebih keras mengecam “imperatif kategoris” Kant yang impoten, impoten karena dia menuntut hal yang tidak mungkin, dan karenanya tidak pernah menjadi kenyataan - tidak seorangpun yang lebih kejam mencemoohkan kegairahan filistin yang sentimental akan cita2 yang tak dapat direalisasi yang diajukan oleh Skhiller daripada justru Hegel, orang idealis yang sempurna itu. (Lihat misalnya, bukunya Fenomenologi).
Kedua, kita sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa segala sesuatu yang membikin manusia bertindak harus melalui otak mereka - bahkan makan dan minum, yang mulai sebagai akibat dari rasa lapar atau rasa haus hanya disampaikan melalui otak dan berakhir sebagai hasil rasa puas yang juga disampaikan melalui otak. Pengaruh2 dunia luar terhadap manusia menyatakan dirinya di dalam otaknya, dicerminkan di dalamnya sebagai perasaan, pikiran, rangsang, kemauan - pendek kata, sebagai “kecenderungan2 ideal”, dan dalam bentuk ini menjadi “kekuatan2 ideal”. Maka itu, jika seseorang harus dianggap idealis karena dia mengikuti “kecenderungan2 ideal” dan mengakui bahwa “kekuatan2 ideal” mempunyai pengaruh terhadap dia, maka sietiap orang yang agak normal perkembangannya adalah seoreang idealis sejak lahirmya dan jika demikian apakah masih bisa ada seorang materialis?
Ketiga, keyakinan bahwa kemanusiaan, sekurang-kurangnya pada saat sekarang ini, dalam keseluruhannya bergerak menurut arah yang maju tidak mempuniai sangkut paut apapun dengan antagonisme antara materialisme dan idealisme. Kaum materialis Perancis, tidak kurang daripada orang  deis seperti Voltaire dan Rousseau menganut keyakinan itu dalam derajat yang hampir fanatik, dan kerapkali telah membuat pengorbanan perorangan yang paling besar untuk keyakinan itu. Jika pernah ada orang yang mengabdikan seluruh hidupnya kepada “kegairahan akan kebenaran dan keadilan” - menggunakan kata2 itu dalam arti yang baik - maka orang itu adalah Diderot, misalnya. Oleh sebab itu, jika Starcke menyatakan bahwa semua itu adalah idealisme, maka ini hanya membuktikan bahwa bagi dia kata materialisme, dan seluruh antagonisme antara kedua aliran itu telah hilang segala artinya.
Kenyataannya ialah bahwa Starcke, walaupun barangkali secara tidak sadar, dalam hal ini memberi konsesi yang tidak dapat diampuni kepada prasangka filistin yang tradisionil mengenai perkataan materialisme, yang diakibatkan oleh pemfitnahan kata itu dalam waktu lama oleh pendeta2. Perkataan materialisme oleh si filistin diartikan kerakusan, kemabukan, mata-keranjang, nafsu berahi, kesombongan, kelobaan, kekikiran, ketamakan, pengejaran laba dan penipuan bursa - pendeknya, segala kejahatan busuk yang dia sendiri lakukan secara sembunyi2. Perkataan idealisme diartikannya kepercayaan akan kebajikan, filantropi universal dan secara umum suatu “dunia yang lebih baik,” yang dia sendiri banggakan dimuka orang lain, tetapi yang dia sendiri hanya percaya selama dia berada dalam kesusahan atau sedang mengalami kebangkrutan sebagai akibat dari ekses “materialis”nya yang biasa. Waktu itulah dia menjanjikan lagu kesayangannya: Manusia itu apa ? - Setengah binatang, setengah malaikat.
Adapun tentang hal lainnya, Starcke dengan bersusah payah membela Feuerbach terhadap serangan dan ajaran para asisten profesor yang berteriak, yang kini di Jerman memakai nama ahli filsafat. Bagi orang yang berminat akan tembuni dari filsafat klasik Jerman, ini sudah tentu merupakan soal yang penting; bagi Starcke sendiri mungkin nampaknya peritu. Tetapi, kami tak akan menyusahkan pembaca dengan itu.



[2-1] Di kalangan orang liar dan orang biadab yang tingkat perkembangannya lebih rendah masih umum terdapat ide bahwa bentuk manusia yang tampil di dalam mimpi adalah nyawa yang untuk sementara waktu meninggalkgn tubuh2 manusia itu; oleh sebab itu, orang yang sesungguhnya yang bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh wujudnya di dalam mimpi terhadap orang yang mimpi. Imthurn menemukan kepercayaan yang seperti itu misalnya dikalangan orang Indian di Guicma dalam tahun 1884. (Keterangan Engels).
[2-2] Planet yang dimaksud ialah Neptunus, ditemukan pada tahun 1846 oleh Johann Gaililei, seorang ahli astronomi di Observatorium Berlin. - red.
[2-3] Teori phlogistis: teori yang berlaku di bidang ilmu kimia dalam abad2 ke-17 dan ke-18 dan yang menyatakan bahwa pembakaran terjadi karena di dalam badan tertentu terdapat zat khusus yang bernama phlogiston. - red.
[2-4] Teori yang menyatakan bahwa matahari dari planet2 berasal dari gumpalan kabut pijar yang berputar. - red.


BAB III

Kesimpulan

 

. “Feuerbach adalah seorang idealis; dia percaya akan kemajuan umat manusia.” . “Dasar, bangunan bawah dari keseluruhannya, bagaimanapun tetap idealisme. Realisme bagi kami tidaklah lain daripada suatu perlindungan terhadap penyelewengan, sementara kami mengikuiti kecenderungan ideal kami. Bukankah kasih, cinta dan kegairahan akan kebenaran dan keadilan merupakan kekuatan ideal?”
Menurut Anthony Giddens, kapitalisme dan teori sosial modern yaitu : suatu analisis karya tulis Marc, Durkheim dan Max Weber, tentang "MATERIALISME SEJARAH", secara garis besar, dapat di bagi menjadi dua bagi an, yaitu:
Bagian pertama adalah pembahasan tnengenai pendekatan materialisme sejarah mane.
Bagian ke dua adalah pembahasan mengenai" HASIL PENERAPAN" pendekatan tersebut oleh Marx kedalam sdejarah masyarakat dunia, muali dari masyarakat primitif sampai kepada asal-muasal kapitalisme.


DAFTAR  PUSTAKA

 

Muhammad hatta.1960.alam pikiran yunani, I, II. Jakarta : Tinta mas.
The Liang Gie.1991. Pengantar filsafat ilmu. Yogyakarta ; Liberti.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Makalah Maslahah Mursalah


MASLAHAH MURSALAH
Pengertian Maslahah Mursalah

Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan ( yang mutlak) sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.

Macam-macam Maslahah

Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa macam maslahah yaitu :

a.  Mashlahah al-Mu'tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara'. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya terkait alat yang digunakan sebagai hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadits Rasulullah saw hukuman bagi pencuri dengankeharusan mengembalikan barang curiannya, jika masih utuh, atau mengganti dengan yang sama nilainya, apabila barang yang dicuri telah habis. Contoh lain maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sebatan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.
b.    Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara',
karena bertentangan dengan ketentuan syara'. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya. Contoh lain terkait dengan hukuman Penguasa Sepanyol yang melakukan hubungan seksual di bulan Ramadhan dengan mendahulukan berpuasa dua bulan berturut-
turut dan memberi makan fakir miskin 60 orang disbanding memerdekakan budak, oleh Al-Laits Ibn Sa'ad (94-175 H/ Ahli fiqh Maliki di Spanyol).
c.     Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara' dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara' melalui dalil yang rinci. Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :
(1).Mashlahah al-Gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara', baik secara rinci mapun secara umum. Para ulama ushul fiqh (masa itu) tidak dapat menemukan contoh pastinya. Bahkan
Imam as-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada alam teori.
(2).Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara'
atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash
(ayat atau hadist).

Para ulama tentang Maslahah Mursalah

v  Pandangan Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah menjadi dalil, ulama Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
1.      Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).
2.      Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena merupakan sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
3.      Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf akan mengalami kesulitan, Allah berfirman:
Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78).
Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah. Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan beberapa alasan:
1.      Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralitasan hukum-hukum syariat.
2.      Posisi maslahah mursalah berada dalam pertengahan penolakan syara’ dan pengukuhannya pada sebagian yang lain.
3.      Penerapan maslahah mursalah akan merusak unitas dan universalitas syariat islam.
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtimbath huukum dengan alasan:
v  Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
v  Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syariat islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.

v  Pandangan Ulama Al- Tuhvi
Najm al-Din al-Thufi (675-716 H / 1276-1316 M), sebagaimana dikutip Musthafa Zaid berpendapat bahwa menurut al-Thufi, al-mashlahah al-mursalah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara', baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara' maupun tidak. Karenanya ia tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas.
Di antara pemikiran at-Thufi yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh tentang konsep mashlahah bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi :
Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah mashlahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyari'atkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nash tertentu maupun oleh makna yang terkandung dalam oleh sejumlah nash. Oleh karena itu, mashlahah menurutnya merupakan dalil yang paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara'.
Menurut at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya. At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai berikut;
1.      akal manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahatdan mana mafsadat. Karena akal manusia dapat membedakan mana maslahat danmana yang mafsadat maka;
2.      maslahat menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nass.
3.      lapangan operasional maslahat, hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod.
4.       maslahat merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat, karena itu menurut at-Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nass dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas nass dan ijma’ ketika terjadi pertentangan di antara keduanya. Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, engutamaan maslahat atas nass dan ijma’ tersebut dilakukan oleh at-Tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nass, sebagaimana mendahulukan as-Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan bayan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ilmu jarhi wa ta'dil


ILMU JARHI WA TA’DIL
(Mencatat dan mengadilkan rawi)
A.    Definisi
      Lafadz “jarhi” menurut muhadditsin ialah sifat yang dapat mencacatkan keadilan dan kedhabitanya.
      Menjarhi atau mentarjih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkan nya.
      Menta’dil seorang rowi berarti memberikan sifat-sifat terpuji kepada seorang rawi hingga apa yang diriwayatkanya dapat diterima .
      Ilmu jarhi wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang pemberian kritik  adanya aib (cacat) atau memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi

B.    Faidah Ilmu jarhi wa ta’dil
      Faedah mengetahui ilmu jarhi ma ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi diterima atauka ditolak. Apabilah seorang rowi sudah di tarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi orang yang adil maka periwayatanya diterima.
·      Macam-macam kecacatan Rowi
   Cacatnya rowi itu banyak tapi yang paling umum nerkisar pada 5 kecacatan yaitu
1)    Bid’ah yaitu rawi yang melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan Syara’
Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalnya tergolong orang-orang yang di anggap kafir  yaitu golongan Rafidhoh yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup atau bersatu pada sayyidina ‘Ali  dan pada imam-imam yang lain , dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia  sebelum hari kiamat dan adakalnya juga dianggap fasiq seperti golongan yang mempunyai I’tikad bertentangan dengan dasar syari’at.
2)    Mukholafah yaitu rowi yang meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rowi yang lebih tsiqoh.
Maksudnya adalah periwayatan dari perowi ini menimbulkan kejanggalan dan kemunkaran dan tidak bisa di kompromikan lagi dengan periwayatan yang rawi yang lebih tsiqoh.
3)    Ghalath  yaitu rawi yang periwayatanya banyak terdapat kekeliruan
Jika ada rowi yang disifati banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan tinjauan kembali terhadap periwayatanya akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam periwatan rowi yang disifati tidak banyak kesalahan maka haditsnya itu dapat di pakai melalui sanad hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan.
4)    Jahalatul hal  yaitu rawi yang tidak dikenal identitasnya
Jika terdapat perselisihan pendapat tentang diterima tidaknya hadits rawi macam ini maka yang diutamakan adalah pendapat orang yang lebih mengenalnya
5)    Da’wal inqitho’ yaitu rawi yang di da’wah sanadnya terputus

·      Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Untuk mengetahui keadilan rawi ada 2 jalan yaitu:
a.     Bi-Syuhroh (karena terkenal keadilanya) di kalangan ahli ilmu  seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I, Ahmad dan lain sebagainya.
b.    Pujian dari orang yang adil (tazkiyah)  terhadap orang yang tidak diketahui keadilanya sebelumnya.
1.     Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil)  dan pentarjih (jarih)
a)     Berilmu pengetahuan
b)    Takwa
c)     Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil, dan makruhat)
d)    Jujur
e)     Menjauhi fanatik golongan
f)     Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih. (Mufassar)
2.     Bolehkah menta’dil dan mentajriih tanpa menyebutkan sebab-sebabnya (Mubham).
Disini terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya itu boleh karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi kalau dalam hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih mempunyai keyakinan yang berbeda-beda dan agar lebih jelas cacat seorang rawi. 
3.     Jumlah orang yang di pandang cukup untuk menta’dil dan mentarjih rawi-rawi
Terdapat perselisihan pendapat:
a)     Pedapat fuqoha’ minimal 2 orang  baik dalm syahadah maupun riwayah
b)    Cukup 1 orang dalam riwayah dan untuk syahadah tidak dibatasi bilangan karena bilangan tidak jadi syarat dalam penerimaan hadits.

4.     Pertentangan antara jarhi dan ta’dil
Maksudnya jika ada pertentangan sebagian ulama’ menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka ada 4 pendapat:
                          i.    Jarhi harus didahulukan secara mutlak
Walau jumlah mu’addil lebih banyak karena rojih lebih banyak pengetahuanya tentang sisi batin dari rowi sedangkan mu’addil pengetahuanya  hanya berkisar  terbatas pada lahir rawi. ( dianut oleh Jumhur ulama’)
                         ii.    Ta’dil harus didahulukan dari jarhi
Karena rojih bisa salah dalam mencacatkan rowi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab pentarjihanya bersifat sebyektif berbeda dengan mu’addil dalm menilai rowi mereka lebih mendahulukan kelogisan atau byektif
                        iii.    Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rojih maka didahulukan ta’dil
Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka
                        iv.    Masih tetap dalam pertentangan
5.     Susunan lafadz-lafadz untuk menta’dil dan mentarjih rawi
Untuk menta’dil ada 6 tingkatan lafad yang digunakan ( Ibnu Hajar):
1)     Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil.  
Contoh :
 أوثق الناس                                   (Orang yang paling tsiqoh)
أثبت الناس حفظا وعدالة                      (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)
إليه المنتهي فى الثبت             (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)
ثقة فوق الثقة                                  (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)

2)     Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja
Contoh:
ثبت ثبت                                        (Orang yang teguh lagi teguh)
ثقة ثقة                                         (orang yang tsiqoh lagi tsiqoh)
حجة حجة                                      (orang yang ahli lagi peta lidahnya)
ثبة ثقة                                         (orana yang teguh lagi tsiqoh)
حافظ حجة                                     (orang yang hafidz lagi peta lidahnya)
ضابط متقن                        (orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )


3)     Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan
Contoh:

ثبت                                            (orang yang teguh hati dan lidahnya )
متقن                               (orang yang meyakinkan ilmunya)
ثقة                                             (orang yang tsiqoh)
حافظ                               (orang yang kuat hafalanya)    
حجة                                           (orang yang petah lidahnya)

4)     Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil Contoh:
صدوق                                         (orang yang sangat jujur)
مأمون                                          (orang yang dapat memegang amanat)
لابأس به                                       (orang yang tidak cacat)                      

5)     Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn

Contoh:
محله الصدق                        (orang yang berstatus jujur)
جيد الحديث                        (orang yang baik haditsnya)
حسن الحديث                                  (orang yang bagus haditsnya)
مقارب الحديث                                 (orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh)
6)     Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat diatas yang diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan pengharapan .
Contoh:
صدوق إن شاءالله                             (orang yang jujur, kalau Allh menghendaki)
فلان أرجوا بأن لابأس به                     (orang yang diharapkan tsiqoh)
فلان صويلح                                   (orang yang sedikit kesalehanya)
فلان مقبول حديثه                             (orang yang diterima haditsnya)

Untuk mentajrih hadits ada 6 tingkatan lafadz yang digunakan:
1)     Menggunakan lafadz –lafadz af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa denganya menunjukkan amat cacatnya rowi.
Contoh:
أوضع الناس                                   (orang yang paling dusta)
أكذب الناس                                    (orang yang paling bohong)
إليه المنتهى فى الوضع                        (orang yang paling top kebohonganya)
2)     Menggunakan lafadz –lafadz sighot mubalaghoh  menunjukkan amat cacatnya rowi.
Contoh:
كذاب                                           (orang yang pembohong)
وضاع                                          (orang yang pendusta)
دجال                                           (orang yang penipu)
3)     Menunjukkan tuduhan dusta, bohong atau yang lainya
Contoh:
فلان متهم بالكذل                              (orang yang dituduh bohong)
أو متهم بالوضع                               (orang yang dituduh dusta)
فلان فيه النظر                                 (orang yang perlu diteliti)        
فلان ساقط                         (orang yang gugur)
فلان ذاهب الحديث                             (orang yang hadtsnya telah hilang)
فلان متروك الحديث               (orang yang ditinggal haditsnya)
4)     Menunjukkan amat lemahnya rowi
Contoh:
مطرح الحديث                                 (orang yang dilempar haditsnya)
فلان ضعيف                                   (orang yang lemah)
فلان مردود الحديث                (orang yang ditolak hadtsnya)
5)     Menunjukkan kacaunya hafalan rowi
Contoh:
فلان لايحتج به                                (orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)
فلان مجهول                                   (orang yang tidak dikenal identitasnya)
فلان منكر الحديث                             (orang yang munkar haditsnya)
فلان مضطرب الحديث             (orang yang kacau haditsnya)
فلان واه                                       (orang yang banyak menduga-duga)
6)     Menggunakan lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya.
Contoh:
ضعف حديثه                                   (orang yang didho’ifkan haditsnya)
فلان مقال فيه                                  (orang yang diperbincangkan)
فلان فيه خلف                                 (orang yang disingkiri)
فلان لين                                       (orang yang lunak)
فلان ليس با لحجة                             (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)
فلان ليس با لقوى                             (orang yang tidak kuat)


v  Catatan penting
Kita harus ingat bahwa tidak semua para jarih hadits harus kita pecayai kerena kadang –kadang ada jarih ta’dil terlalu dalam dalam mentarjrih rawi padahal setelah di tajrih oleh beberpa ahli tajrih ternyata tidak sesuai. Diantara para jarih yang dianggap keterlaluan adalah: Abu Hatim, An-Nasa’iy, Yahya bin Ma’in, Yahya bin Khaththan dan Ibnu Hibban.

C.    Kitab-kitab ilmu jarhi wa ta’dil
1.   Ma’rifatur rijal, karya Yahya Ibni Ma’in, merupakan kitab pertama yang sampai pada kita, juz I buku tersebut berupa manuskrip ( tulisan tangan) berada di Darul Kutub Adh-Dhahiriyah
2.   Ad-Dhu’afa’, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhpri . Dicetak di Hindia tahun 320 H
3.   At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Ingat bahwa beliau ini sangat muda menta’dil rawi jadi hati-hati atas pendapatnya. Naskah asli kitab ini ditemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap.
4.   Al-jarhu wa ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini merupakan kitab yang terbesar dan mempunyai banyak faidah bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang memuat 18.055 rawi,  sering di setak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada tahun 1373 H menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang lainya dijadikan 2.
5.   Mizanul I’tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3 jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup 10.907oran rijalus sanad.
6.   Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid. 

Cara Mengetahui Keadilan (‘Adalah) Seorang Perawi Hadits

2009 June 17
by ardianz87
Cara mengetahui keadilan (‘adalah) seorang perawi dapat diketahui dengan kemasyhuran perawi tersebut atas sifat keadilannya; atau penegasan dari seorang imam mu’tabar atas keadilannya; dan yang demikian ini dengan syarat perawi tersebut tidak memiliki suatu hal yang dapat menghilangkan sifat keadilannyanya.
Namun apabila tidak diketahui kemasyhuran sifat keadilannya atau tidak ada tautsiq (pengakuan terpercaya) dari para imam atas keadilannya, maka dalam hal ini ada beberapa keadaan :

1. Meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqaat dan tidak ada pengingkaran atas riwayat yang datang darinya, maka ia adalah perawi tsiqah. Dan hal ini diperkuat apabila ia merupakan golongan thabaqah tabi’in senior atau pertengahan [أن يروي عنه جمع من الثقات ولم يأت بما ينكر عليه فهو ثقة ، ويتأكد ذلك إذا كان من طبقة كبار التابعين وأواسطهم.].

2. Merupakan riwayat Al-Bukhari dan Muslim atas seorang perawi merupakan isyarat keadilannya [رواية البخاري ومسلم للراوي تعديل له .].
3. Terangkatnya status majhul ‘ain dengan riwayat seorang atau dua orang perawi tsiqah darinya [ترتفع جهالة العين برواية ثقة أو راويين عنه]. [1]

4. Apabila diriwayatkan oleh seorang perawi majhul (tidak diketahui identitasnya) sebuah hadits maudlu’ atau munkar dan tidak ditemui dalam sanadnya penyerta yang mengkonfrontasikannya, maka perawi ini tertuduh majhul dengan kelemahannya (majhul bi’uhdatihi) [إذا روى المجهول حديثاً موضوعاً أو منكراً ولا يوجد في سنده من تحمل عليه التبعة فيتهم هذا الراوي المجهول بعهدته]. [2]

5. Apabila telah diriwayatkan seorang imam – yang diketahui bahwasannya tidaklah ia meriwayatkan kecuali dari seorang yang tsiqah – dari seorang rawi, maka hal ini merupakan tautsiq atas rawi dan penghukuman keadilan perawi dari imam tersebut [إذا روى إمام –عرف أنه لا يروي إلا عن ثقة- عن راو فهو توثيق للراوي وحكم بعدالته عند ذلك الإمام .].

6. Penshahihan seorang imam mu’tabar terhadap sanad hadits dihitung sebagai pen-tautsiq-an atas seluruh riwayatnya [تصحيح إمام معتبر لإسناد حديث يعد توثيقاً لجميع رواته].
Diambil dari : Matan kitab : [القَوَاعِدُ الذَّهَبِيَّةُ لِمَعْرِفَةِ الصَّحِيحِ والضَّعِيفِ مِنَ المَرْوِيَّاتِ الحَدِيثِيَّةِ] karya Abu ‘Umar Usamah bin ‘Athaayaa bin ‘Utsman Al-‘Utaibi hafidhahullah (diunduh dari : www.sahab.org/books – sekarang situs tersebut tidak bisa diakses/down).
Catatan kaki :

[1] Dan demikianlah terangkatnya majhul ‘ain-nya dengan tautsiq (pengakuan terpercaya) dari ulama yang mu’tabar atau ta’dil dari imam yang mu’tabar [وكذلك ترتفع جهالة عينه بتوثيق معتبر أو بتعديل إمام (معتبر) .].

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS