DAFTAR ISI
Contents
TRANSLATE
BAB 1
PENDAHULUAN
ARTI PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Apapun
arti orang sebutkan tentang pernikahan, ISLAM memandang sebagai “ Ikatan kuat”,
(mithaqun Ghaliiz). Sebuah pengertian tentang janji dalam arti sepenuhnya ini
adalah sebuah janji untuk mengarungi kehidupan dari masing-masing pasangan.
Bermasyarakat dan untuk saling menghargai arti sepenuhnya dari kelangsungan
hidup umat manusia. Ini adalah sesuatu janji yang di buat antara pasangan
pengantin. Yang membuat satu dan lainya lebih baik di mata Tuhan. Macam-macam
dari ikatan perjanjian. Yang mana mereka menemukan penyelesaian bersama dan
realisasi masing-masing yaitu, cinta dan damai, menbgasihi dan ketentraman,
kenyamanan dan harapan. Semua itu merupakan pengecualian. Didalam islam hal
pertama yang paling penting adalah hormat- menghormati dan tanggungjawab serta
kesetiaan dalam hidup rukun.
Pengawasan
nafsu dapat berupa keberhasilan dalam moral. Reproduksi adalah kebutuhan social
dalam memaknai akan kesehatan yang seutuhnya. Namun, nilai-nilai yang
terkandung dalam pernikahan islam memiliki arti khusus dan dapat diperkuat jika
mereka saling menjalin pemikiran terhadap Tuhan. Dan semua itu merupakan poin
umama di dalam pernikahan dalm islam,
Dibeberpa
ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Disebutkan umat manusia untuk patuh terhadap tuhan
yang menciptakannya dari sebuah jiwa dan dari itu atau menciptakan pasangan
diantaranya, tersebarlah antara laki-laki dan perempuan untuk mereka cari dalam
belahahan dunia. (4: 1) tuhan menciptakan seorang suami dan diciptakannya
kepadanya istri. Agar dapat hidup bahagia bersamanya, dan semua itu adlah
tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dan diciptakannya untuk laki-laki mereka itu
sendiri untuk mencari pasangan dari kelompok mereka masing-masing, dalam hidup
yang damai dan sentosa dan berkumpul bersamanya dalam cinta dan rahmat, tentu
saja di dalamnya pertanda itu agar selalu direnungkan ( 30:21).
Sesungguhnya
didalam pernikahan, akan ada ujian didalam kehidupanyya, terjadi pertengkaran
dan proses pengadilan. Al-Qur’an mengingatkan kita didlamnya beberapa bagian,
memberitahukan kepada mereka, agar menjadi baik satu sama lain, bermurah hati
satu sama lain dan diatas semua itu adalah kepatuhannya terhadap Tuhan yang
maha esa.
BAB II
1 ARTI PERKAWINAN (NIKAH)
Perkawinan
berasal dari baha arab yaitu nikah
dan zawaj yang
berarti bergabung. Atau nikah artinya perkawinan sedangkan aqad berarti
perjanjian. Jadi aqad nikah berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri
dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga
bahagia dan kekal. Menurut imam syafi’I pengertian nikah adalah suatu akad yang
dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan
menurut bahasa nikah adalah hubungan seksual.[1].
Lafal ijab : “saya nikahkan (maulida farahdila binti Akmaluddin) dengan anak
saya Aulia bin Rahmat dengan mahar 10
gram emas tunai.”. Lafal Qabul : “saya terima nikahnya Maulida Farahdila binti
Akmaluddin dengan mahar 10 gram emas tunai !”. Jawab para saksi : Sah, sah,
sah.
2 ANJURAN MELAKUKAN PERKAWINAN
Berdasarkan Hadis-hadis Rasul:
a.
Hadis Rasul muttafaqun
alaihi (sepakat para ahli hadis) atau jamaah ahli hadis. "Hai
pemuda barangsiapa yang mampu di antara kamu serta berkeinginan hendak nikah
(kawin) hendaklah ia itu kawin (nikah), karena sesungguhnya perkawinan itu akan
menjauhkan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan
memeliharanya dari godaan syahwat."
b.
Dan barangsiapa yang tidak mampu kawin
hendaklah dia puasa karena
dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang. (Hadis Rasul jamaah ahli
hadis). Hai Jabir,
engkau kawin dengan perawan atau janda? Alangkah baiknya kalau engkau kawin dengan perempuan
perawan.
Dari hadis
Rasul ini jelas dapat dilihat bahwa Perkawinan itu dianjurkan karena berfaedah bukan
saja untuk diri sendiri tetapi juga untuk rumah tangga, masyarakat, bangsa dan
negara. Bahwa dengan melakukan
perkawinan itu akan terhindarlah seseorang dari godaan setan, baik godaan melalui
penglihatan mata maupun melalui alat kelamin atau syahwat, nafsu dan sebagainya. Apabila
engkau tidak sanggup menikah wajib bagimu
puasa untuk dapat terhindar dari godaan iblis yang terkutuk itu.
Dan janganlah kamu takut atau khawatir
bahwa dengan Perkawinan itu kamu akan bangkrut atau miskin atau
terlantar, bahwa dengan melakukan
perkawinan akan dapat lebih meningkatkan prestasi dan menambah semangat
berusaha, bekerja dan dengan sendirinya akan bertambah harta kekayaan di
samping mendapat kenikmatan hidup yang aman dan tenteram.
3 Rukun dan syarat nikah, yaitu:
Definisi dari Rukn dan Syart
Rukn (jamak: arkaan) dapat diterjemahkan seperti
"tiang" dan adalah satu penting bagian dari hakikat sah dari
sesuatu. Tanpa ini, itu hakikat sah
tidak berada.
Syart (jamak:
shuraat) dapat diterjemahkan seperti "prasyarat" atau
"kondisi" adalah satu kebutuhan untuk hakikat sah / kebenaran dari
sesuatu.
1. Adanya calon pengantin
laki-laki dan calon pengantin perempuan;
2. Calon
pengantin itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (akil baligh);
3. Persetujuan bebas antara
calon mempelai tersebut (tidak boleh ada
paksaan);
4. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan;
3.1 Syarat Wali :
v Telah dewasa dan
berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi
wali.
v Laki-laki. Tidak
boleh perempuan menjadi wali.
v Muslim, tidak sah
orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk Muslim dan orang merdeka
v
Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih.
v
Berfikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali,
karena dikhawatirkan tidak Akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
v Adil dalam arti tidak pernah terlibat
dengan dosa besar dan tidak sering terlibat
dengan dosa kecil serta tetap memelihara
muruah atau sopan santun.
v Tidak sedang melakukan ihram, untuk
haji atau umrah. Hal ini berdasarkan kepada hadits Nabi dari 'Usman menurut riwayat Muslim yang mengatakan:
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh
seseorang”.
5. Harus ada mahar (mas kawin) dari
calon pengantin laki-laki yang diberikan
setelah resmi menjadi suami istri kepada istrinya;
6. Harus
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang adil dan laki-laki Islam merdeka;
7. Harus ada upacara ijab
qabul, ijab ialah penawaran dari pihak calon
istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon suami
dengan menyebutkan besarnya mahar (mas
kawin) yang diberikan. Setelah proses ijab dan qabul itu resmilah terjadinya perkawinan (akad nikah) antara seorang wanita dengan
seorang pria membentuk rumah tangga (keluarga).
8.
Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya akad nikah (perkawinan) maka diadakan walimah (pesta
pernikahan) walaupun hanya sekedar minum
teh manis.
9.
Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan analog! Q. II: 282 harus diadakan ilanun nikah
(pendaftaran nikah), kepada Pejabat Pencatat Nikah, sesuai pula dengan
Undang-undang No. 22 Tahun 1946 no. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 (lihat juga pasal 7 Kompilasi
Hukum Islam (Instruksi Presiden RI No. 1
Tahun 1991).
4 HUKUM PERKAWINAN DALAM ISLAM.
firman-Nya dalam surat al-Nur ayat 32:
Artinya : Dan kawinkanlah
orang-orangyang sendirian di antara kamu dan orang-orangyang layak (untuk kawin)
di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.Jika
mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kami-Nya.
maka secara rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan
orang-orang tertentu, sebagai berikut:
a. Sunnat
bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum
berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan, namun
fisik-nya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lainnya.
c. Wajib
bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan
memiliki perlengkapan untuk kawin; ia
khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin.
d. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara'
untuk melakukan perkawinan atau ia yakin Perkawinan itu tidak akan mencapai
tujuan syara', sedang-ia meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupanpasangannya.
e. Mubah
bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan
untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan men-datangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.
5 TUJUAN DAN HIKMAH PERKAWINAN
Ada
beberapa tujuan dari disyari'atkannya perkawinan atas umat Islam. Di antaranya adalah:
a.
Untuk
mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini
terlihat dari surat al-Nisa' ayat 1:
Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan-muyang menjadikan kamu dari
diri yang satu daripadanya Allah menjadikan istri-istri; dan dari keduanya A.llah
menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan.
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.
Artinya : “Di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia mencipta-kan untukmu istri-istri darijenismu
sendiri, supaya kamu menemukan ketenanganpadanya
dan menjadikan di antara-mu rasa
cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi
tanda-tanda bagi yang berfikir.”
Adapun di antara hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan itu
adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara'
dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual. Hal ini adalah
se-bagaimana
yang dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam hadits-nya yang muttafaq alaih yang berasal dari Abdullah
ibn Mas'ud, ucapan Nabi:
Artinya : “Wahai para pemuda,
siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan
untuk kawin, maka kamnlah; karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga
kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa; karenapuasa itu baginya akan mengekang syahwat.”
Imam
Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan
kepada lima hal, seperti berikut:
1. Memperoleh keturunan yang sah yang akan
melangsungkan keturunan
serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
2. Memenuhi tuntutan naluriah hidup
kemanusiaan.
3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4. Membentuk dan mengatur
rumah tangga yang menjadi basis pertama dari
masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
5. Menumbuhkan
kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.
6 BEBERAPA BENTUK PERKAWINAN YANG TERLARANG DAN DIHARAMKAN.
Perkawinan
yang dilarang :
1.Nikah
mut'ah adalah
perkawinan untuk masa tertentu dalam arti pada
waktu akad dinyatakan masa tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan terputus dengan sei dirinya.
Nikah mut’ah pernah terjadi pada umat islam dan diridhai Rasulullah namun
kemudian nabi melarangnya. Karena ada persyaratan yang tidak terpenuhi yaitu
tidak adanya masa tertentu. Terdapat dalam hadist Nabi dari Salamah bin
al-Akwa’ riwayat Muslim:
Artinya :
Rasul Allah pernah memberikan keringanan pada tahun authas (waktu perang
Khaibar, umrah qadha, tahun memasuki mekah, perang Tabuk dan waktu Haji wada’)
untuk melakukan mut’ah selama tiga hari, kemudian Nabi melarangnya.
2. Nikah tahlil atau
muhallil
Nikah muhallil atau nikah tahlil adalah perkawinan
yang dilakukan
untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada
istrinya.
Bila
seseorang telah menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali
bila istrinya itu telah menikah
dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:
Artinya : Kemudian
jika suami mentalaknya (setelah talakyang kedua), maka perempuan itu tidak
halallagi baginya kecuali bila, dia telah kawin dengan suami lain. . .
Suami yang telah mentalak
istrinya tiga kali itu sering ingin kembali
lagi kepada bekas istrinya itu. Kalau ditunggu cara yang biasa menurut ketentuan perkawinan, mungkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat
maksudnya itu ia mencari seseorang laki-laki yang akan mengawini
bekas istrinya itu secara pura-pura, biasanya dengan suatu syaf bahwa setelah berlangsung akad nikah segera
diceraikannya sebelum sempat digaulinya. Ini berarti kawin akal-akal
untuk cepat menghentikan suatu yang diharamkan.
kawinan tahlil
ini tidak menyalahi rukun yang telah ditetapkan namun karena niat orang yang mengawini itu
tidak ikhlas
dan tidak untuk maksud sebenarnya, perkawinan itu dilarang oleh Nabi Hal
ini terdapat dalam hadits Nabi dari Mas'ud yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasai dan A1-Tirmizi dan
keluarkan oleh empat perawi hadits selain al-Nasai yang bunyinya:
Artinya : Rasul Allah SAW. mengutuk orang yang menjadi muh'allil (orang yang
menyuruh kawin) dan muhallal lah (orang yang melaktikan perkawinan tahlil).
3. Nikah
syigar ialah perbuatan
dua orang laki-laki yang saling menikahi anak perempuan dari laki-laki lain dan
masing-masing menjadikan pernikahan itu
sebagai maharnya. Dalam bentuk nyatanya ialah sebagai berikut: seseorang laki-laki berkata sebagai ijab kepada seorang
laki-laki lain: "Saya kawinkan anak perempuan saya bernama si A
kepadamu dengan mahar saya mengawini anak
perempuanmu yang bernama si
B". Laki-laki lain itu menjawab dalam bentuk qabul: saya terima mengawini anak perempuanmu yang
bernama dengan maharnya kamu mengawini anak perempuan saya bernama si B".
Yang tidak terdapat dalam
perkawinan itu adalah mahar yang nyata dan adanya syarat untuk saling mengawini
dan mengawinkan. Oleh karena itu, perkawinan syigar di larang.
Perkawinan yang di haramkan :
a. mahram muabbad yaitu orang-orang yang
haram melakukan pernikahan untuk selamanya disebabkan:
1.
adanya hubungan kekerabatan.
2.
haram perkawinan karena adanya hubungan perkawinan mushaharah.
3.
karena hubungan persusuan.
b. Mahram ghairu muabbad yaitu larangan
kawin yang berlaku untuk sementara berarti tidak boleh kawin dalam bentuk
tertentu karena sesuatu hal, bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan
tersebut tidak berlaku lagi. Yaitu
1. memadu dua orang yang bersaudara.
2. perkawinan yang kelima.
3. perempuan yang bersuami atau dalam
iddah.
4. mantan istri yang telah ditalak tiga
kali bagi mantan suaminya.
5. perempuan yang sudah ihram.
6. Perempuan penzina sebelum bertobat.
7. perempuan musyrik.
7 HUKUM MENIKAH LEBIH DARI EMPAT (PERKAWINAN YANG KE LIMA).
Seseorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini
empat orang dan tidak boleh lebih dan itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat
itu telah diceraikannya dan habis pula
masa iddahnya. Dengan begitu perempuan
kelima itu haram dikawininya dalam flias tertentu, yaitu selama salah
seorang di antara istrinya yang empat itu belum diceraikannya. Pembatasan pada orang ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surat Nisa ayat 3 :
Artinya : bila
kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak perempuan, kawinnilah perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga atau
empat. Bila kamu takut tidak akan berlaku adil cukup seorang. . .
Dari ayat
tersebut jelas bahwa Islam membolehkan adanya kawin poligami, yaitu seseorang
mempunyai istri lebih dari satu orang, namun
kebolehan itu tidaklah secara mutlak,
tetapi dengan suatu syarat yaitu kemampuan berlaku adil di antara istri-istri itu. Adil itu bukan
suatu yang mudah untuk dilaksanakan. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah
dalam surat al-Nisa' ayat 129:
Artinya : Dan kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrimu,
walaupun kamu ingin sekali berbuat begitu. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu
cenderung kepada seorang yang kamu cintai hingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. . .
Para fuqaha terdahulu hanya membatasi adil itu kepada hal yang bersifat zahir seperti adil dalam
memberi nafkah, adil dalam giliran tidur,
adil dalam giliran diajak bepergian dan hal-hal yang bersifat lahir; dan tidak mensyaratkan adil dalam yang bersifat batin seperti dalam cinta kasih.[2]
8 PUTUSNYA PERKAWINAN DAN RUJU’.
8.1 Talak.
Arti talak secara
bahasa berarti “lepas dan bebas”.secara istilah menurut Al-Mahalii adalah :
Artinya : melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak
dan sejenisnya.
Hukum talak adalah makruh karena bila hubungan pernihakahan itu tidak
dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran
dan kemudaratan, maka islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian.
Macam-macam talak :
Dilihat kepada keadaan istri waktu
talak itu diucapkan oleh suami :
1. talak
sunni yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak
dalam keadaan haif dan dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya.
2. talak
bid’iy yaitu talak yang mana waktu itu si istri sedang dalam haid atau dalam
masa suci namun dalam waktu out telah dicamouri oleh suaminya.
Dilihat kepada kemungkinan bolehnya si
suami kembali kepada mantan istrinya :
1. talak
raj’iy yaitu talak si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa
melalui nikah baru, selama istrinya masih dalam masa iddah.
2. talak
bain yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami
kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru. Juga terbagi menjadi 2 macam
yaitu : bain sugra dan bain kubra.
8.2 Khulu’
Khulu’ yaitu
perceraian dengan kehendak istrinya. Hukumnya boleh atau mubah. Sesuai dengan
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229 :
Artinya : Jika kamu khawatir bahwa keduanya(suami istri) tidak menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan istri untuk menembus dirinya.
8.3 Fasakh
pada dasarnya
dilakuakan oleh hakim atas permintaan dari suami atau istri. Namun ada pula
yang fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim seperti suami
istri ketahuan senasab atau sepersusuan.
8.4 Zhihar.
Secara bahasa yaitu berarti punggung.
Secara bahasa yaitu
Artinya : “Ucapan seseorang laki-laki kepada istrinya :”engakau bagi saya
seperti punggung ibu saya”.
8.5 Ila’.
Secara bahasa
berarti “tidak mau melakukan sesuatu
dengan cara bersumpah” Secara istilah yaitu “sumpah suami untuk tidak
menggauli istrinya”. Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 226-227 :
Artinya : kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tenggang
waktu selama empat bulan(lamanya), kemudian jika mereka kembali(kepada
istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Penyayang. Bila mereka
berazam(berketetapan hati) untuk talak maka sesungguhnya Allah maha mendengar
lagi maha mengetahui.
8.6 Li’an.
Secara bahasa
yaitu saling melaknat. Secara istilah
adalah sumpah suami yang menuduh istrinya
berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi,
setelah terlebih dahulu memberikan kesaksian empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya”.
8.7 Iddah
Secara etimologi, 'iddah
yang jamaknya adalah 'idat berarti
bilangan. Secara terminologi
diartikan:
Artinya : Masa yang mesti dilalui
oleh seorang perempuan (yang bercerai dari suaminya) untuk mengetahui bersihnya rahimnya dari kehamilan.
Perempuan
yang bercerai dari suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati mesti menjalani masa iddah; dalam masa
mana ia tidak boleh kawin
dengan laki-laki lain .
Iddah
itu diwajibkan karena padanya terdapat hikmah di antaranya sebagaimana yang tersebut dalam definisi
tersebut , di atas
adalah untuk mengetahui apakah bekas suami yang menceraikannya meninggalkan benih dalam rahim istrinya atau tidak. Dengan begitu dapat
terpelihara dari bercampur-nya
dengan bibit yang akan disemai oleh suaminya yang baru. Di samping itu iddah memberi
kesempatan kepada suami |untuk
berfikir-fikir untuk kembali berbaik dengan istrinya.
Lama masa iddah itu tergantung
pada keadaan si istri waktu bercerai dari
suaminya. Adapun masa-masa iddah itu adalah sebagai berikut:
a. Istri
yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu, iddahnya
adalah 4 bulan 10 hari. Hal
ini dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234:
Artinya :Orang-orang yang meninggal
dunia di antara kamu dan meninggalkan
istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari . . .
b. Istri
yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak menjalani masa iddah. Hal ini
dinyatakan Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49:
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan beriman, kemudian
kamu mencerai-kannya
sebelum kamu gauli, maka se kali- kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya.
. .
Adapun perempuan yang kematian
suami yang belum sempat digauli oleh
suaminya yang berlaku baginya adalah beriddah
4 bulan 10 hari. Alasannya ialah bahwa kewajiban beriddah di sini bukan
untuk mengetahui kebersihan rahimnya dari
bibit bekas suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap suaminya yang meninggal itu.
c. Istri
yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suami nya sedangkan ia masih dalam masa
haid, maka iddahnya adalah
selama tiga quru' , sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228 :
Artinya: Perempuan-perempuan yang
bercerai dari suaminya hendaklah menjalani iddah selam tiga furu’.
Yang
dimaksud dengan tiga quru' dalam ayat ini menurut jumhur ulama adalah tiga kali
suci; sedangkan bagi ulama Hanafiyah tiga
quru' itu berarti tiga kali masa haid. Di antara
dua masa tersebut di atas tiga kali haid lebih panjang daripada tiga kali suci.
d. Istri
yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah digauli suaminya; dan dia tidak lagi dalam
masa haid atau tidak berhaid
sama sekali, maka masa iddahnya adalah selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
surat al-Thalaq ayat 4:
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang
tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu,
jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid.
e. Istri-istri yang bercerai
dari suaminya sedang dalam keadaan hamil iddahnya adalah melahirkan anaknya. Ketentuan ini ditetapkan Allah dalam surat
al-Thalaq ayat 4:
Artinya : Perempuan-perempuan hamil
(yang bercerai dari suaminya) iddahnya adalah melahirkan anak. . .
Adapun perempuan hamil yang kematian suami, menurut Jumhur ulama iddahnya adalah melahirkan
anaknya, n masanya belum empat bulan sepuluh
hari; dalam yang berlaku baginya
adalah iddah hamil. Sedangkan ulama
lain, di antaranya Ali bin Abi Thalib, iddah perempuan hamil yang kematian suami
adalah masa yang terpanjang antara empat
bulan sepuluh hari dengan melahir-kan
anak. Bila anak lahir sebelum empat bulan sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari;
namun bila setelah empat bulan
sepuluh hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak.
8.7.1 Hak istri dalam masa iddah
a. Istri
yang dicerai dalam bentuk talak raj'iy, hak yang diterimanya adalah
penuh sebagaimana yang berlaku sebelum
dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal.
b. Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik
bain sughra atau bain kubra, dia berhak atas tempat tinggal,
bila ia tidak dalam
keadaan hamil. Apabila ia dalam keadaan hamil, selain mendapat tempat tinggal
juga mendapat nafkah selama masa hamilnya
itu. dan inilah pendapat dari Jumhur Ulama.
c. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang
disepakati ialah bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam iddah, karena ia harus menjalani
masa iddah di rumah suaminya dan tidak dapat
kawin selama masa itu. Adapun nafkah
dan pakaian kebanyakan ulama menyarna-kannya
dengan cerai dalam bentuk talak bain.
8.8 Ruju’
Secara bahasa ruju' atau raj'ah berarti kembali. Sedangkan definisinya
menurut al-Mahalli ialah:
Artinya: Kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai
yang bukan bain, selama dalam masa iddah.
Sebagaimana perkawinan itu adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh
agama, maka ruju' setelah terjadinya perceraian pun merupakan suruhan agama. Hal ini dapat dilihat dalam firman allah pada surat al-Baqarah ay at 23 1 :
Artinya : Dan bila kamu menceraikan
istri-istrimu, lalu mereka men-dekati akhirmasa iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan cara baik atau
ceraikanlah mereka dengan car a baik. . .
Adapun unsur
yang menjadi rukun dan syarat-syarat untuk
setiap rukun itu adalah sebagai berikut:
a. Laki-laki yang meruju' istrinya mestilah seseorang yang
mampu
melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya. Seseorang yang masih
belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak
sah ruju' yang dilakukannya. Bila
waktu mentalak istrinya ia berakal sehat kemudian dia gila dan ingin
ruju' yang melakukan ruju' itu adalah walinya, sebagaimana yang menikahkannya adalah walinya.
b.
Perempuan yang dirujuki adalah perempuan yang telah dinikahinya dan kemudian
diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus
(khulu') dan tidak pula dalam talak tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam perkawinan itu dan masih
berada dalam masa iddah.
c. Ada ucapan ruju' yang diucapkan oleh laki-laki yang akan
merujuk. Di sini tidak
diperlukan qabul dari pihak istri; karena ruju' itu bukan memulai.nikah, tetapi hanya
sekedar melanjutkan
pernikahan. Ucapan ruju' itu menggunakan lafaz yang jelas untuk ruju' .
Sebagian ulama mensyaratkan adanya
kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang
berlaku dalam akad nikah. Keharusan
adanya saksi ini bukan dilihat dari segi ruju' itu memulai nikah atau melanjutkan nikah, tetapi
karena adanya perintah Allah untuk
itu sebagaimana terdapat dalam Surat al-Thalaq
ayat 2:
Artinya : Bila mereka telah mendekati
akhir masa iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau ceraikanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di
antaramu; dan tegakkan kesaksian karena A.llah.
Berdasarkan
pendapat yang mensyaratkan adanya saksi dalam ruju' itu, maka ucapan ruju' tidak boleh
menggunakan lafaz kinayah,
karena penggunaan lafaz kinayah memerlukan adanya niat, sedangkan saksi yang
nadir tidak akan tahu niat dalam
hati itu.
Pendapat
lain yang berlaku di kalangan jumhur ulama, ruju' itu tidak perlu dipersaksikan, karena ruju' itu
hanyalah melanjutkan perkawinan yang telah
terputus dan bukan memulai nikah baru.
Perintah Allah dalam ayat tersebut di atas
bukanlah untuk wajib. Berdasarkan pendapat ini, boleh saja ruju' dengan menggunakan lafaz kinayah karena
saksi yang perlu mendengarnya tidak
ada[3].
9 MENIKAH DENGAN SELAIN AGAMA MUSLIM
Dasar hukumnya
Al Quran surah II ayat 221, yang berbunyi.
Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman,sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita
musyrik walaupun dia menarik hatimu. (Al Baqarah ayat 221)
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan
wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan perintah-perintah-Nya kepada manusia, supaya mereka mengambil
pelajaran.
Dalam kaitan ini baik ditinjau Asbabun Nuzul dari Q.II: 221.
a.
Ibnu Abi Murtsid Al Chanawi memohon izin kepada Nabi
Muhammad saw., agar dia dapat diizinkan menikah dengan seorang wanita musyrik
yang cantik dan amat terpandang.
Rasulullah belum dapat menjawab walaupun telah 2x ditanya. Sesudah
Rasulullah berdoa kepada Allah, maka turunlah Q. II: 221. Yang melarang laki-laki"
muslim menikahi wanita musyrik dan sebaliknya melarang wanita muslim menikahi
laki-laki musyrik. (Rawahul Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al Wahidi)[4]
b.
Abdullah
bin Rawahaih mempunyai seorang hamba sahaya (budak)
yang amat hitam. Pada waktu itu ia marah kepadanya dan menampar budak tersebut tetapi kemudian ia menyesal, lalu
menceritakan kepada Nabi Muhamamd saw. Dan bertekad akan menebus penyesalan itu
dengan menikahi budak yang hitam itu. Orang-orang pada waktu itu mencela
dan mengejek tindakan Abdullah
bin Rawahaih itu, tetapi dia tetap mau melaksanakan-nya. Maka turunlah Q. II: 221 sebagai
pembenaran tindakannya itu
"Bahwa seorang hamba sahaya
(budak) yang muslimah lebih baik daripada wanita musyrik"
Rawahul Al Wahidi dari Assu'udi dan
berasal dari Abi Maliki, bersumber dari Ibnu Abbas.
Kedua
kasus atau peristiwa tersebut di atas adalah asbabun alnuzzul (asbabun nuzul)
dari Q. II: 221. Bahwa menikahi wanita budak (hamba sahaya atau pembantu) yang
mukmin lebih baik daripada menikahi wanita
nonmuslim (musyrik) walaupun dia cantik dan menarik (lihat juga Fatwa MUI DKI Jaya tanggal 30 September 1986, tentang larangan perkawinan antaragama).
BAB III
A. KESIMPULAN
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan
kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal,
di mana antara suami istri itu harus
saling menyantuni, kasih-mengasihi, terdapat keadaan aman dan tenteram penuh kebahagiaan baik moral, spiritual dan
materil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang pada prinsip dalam pokok-pokoknya perkawinan itu hendaklah:
1) Terdapat pergaulan yang makruf antara suami istri itu dan saling menjaga
rahasia masing-masing, serta saling membantu.
2) Terdapat
pergaulan yang aman dan tenteram gemah ripah loh jinawi antara suami istri itu
(sakinah).
3)
Pergaulan yang saling mencintai antara suami istri (mawaddah).
4) Pergaulan yang disertai rasa santun menyantuni terutama setelah tua mendatang (rahmah).
Hal itu dimungkinkan karena manusia itu
diciptakan Tuhan dari satu zat, dan dari zat itu pula
diciptakan pasangannya serta dari pasangan itu diciptakan
manusia yang banyak ini agar dapat saling berhubungan. Kemudian
menjaga pula arhaam (hubungan darah). (Q. IV: 1).
' Untuk
menjaga hubungan darah (arhaam)
itu pula maka diadakan larangan-larangan
perkawinan antara lain:
1)
Larangan perkawinan karena berlainan agama;
2)
Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlalu dekat;
3)
Larangan perkawinan karena hubungan susuan;
4)
Larangan perkawinan wanita yang di li'an;
5) Larangan perkawinan
wanita yang telah tertalak tiga, dan
6) Larangan perkawinan
pria yang sudah beristri empat.
Untuk menjaga kemurnian perkawinan itu agar
rumah tangga mereka kelak terdapat kehidupan yang makruf, sakinah, mawaddah dan rahmah itu diatur
pula syarat dan rukun perkawinan untuk sahnya
perkawinan itu sebagai berikut:
1) Adanya calon pengantin laki-laki dan calon
pengantin perempuan yang telah dewasa dan berakal;
2)
Persetujuan bebas di antara keduanya; '
3)
Adanya wali bagi calon pengantin wanita;
4)
Adanya mahar yang diberikan oleh calon penjjjantin
kepada calon istrinya.
kepada calon istrinya.
5) Keharusan adanya 2 (dua) orang saksi
laki-laki yang Islam dewasa dan adil;
6) Proses ijab dan qabul, penawaran dan penerimaan oleh calon pengantin perempuan atau walinya serta penerimaan
oleh calon pengantin laki-laki;
7)
Setelah ijab qabul diadakan pesta perkawinan atau walimah, dan
8) Tilanun nikah (atau pendaftaran Nikah)
untuk pembuktian adanya nikah bagi generasi selanjutnya.
Setelah menjadi suami
istri timbul hak-hak dan kewajiban suami istri antara lain: Hak suami menjadi
kepala keluarga, di samping kewajiban memberi nafkah dan tempat tinggal kepada istri
dan anak-anaknya.
Hak istri menerima nafkah dari suaminya dan berkewajiban mengurus
rumah tangga, suami dan pendidikan anak-anaknya.
Selama berlangsungnya perkawinan Akan terdapat
usaha-usaha untuk
melanjutkan bahtera rumah tangga suami istri tersebut, antara lain tentang
kekayaan bersama selama berlangsungnya kehidupan perkawinan tersebut.
Di sinilah timbul persoalan apakah ada harta bersama antara suami
istri selama berlangsungnya perkawinan?
Ada dua pendapat tentang
harta bersama ini:
Pendapat
pertama:
Tidak ada harta bersama,
kecuali adanya syirkah (perjanjian)
tentang
harta bersama dalam perkawinan. Pendapat ini didukung oleh beberapa putusan
Pengadilan Agama di Jakarta.
Pendapat
kedua:
Ada harta bersama
walaupun tidak ada perjanjian perkawinan dengan harta bersama, pendapat
terakhir ini didukung oleh Sajuti Thalib, S.H., Hazairin dan beberapa
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Persoalan lain timbul bagaimana kalau masih dalam proses
perceraian atau talak belum mempunyai kekuatan hukum pasti (niet-in kracht
van gewijsde), apakah harta bersama dapat dibagi, dijawab oleh putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 29 September 1983 Nomor 207/Ja/82-G,
tidak dapat dibagi harta bersama tersebut.
B. SARAN-SARAN
v
Dengan adanya perkawinan di harapkan dapat
mebentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, dunia dan akhirat.
v
Perkawinan menjadi wadah bagi pendidikan dan
pembentukan manusia baru, yang kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan dan
masadepan yang lebih baik.
v
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin
bahtera keluarga, kehidupan diharapkan menjadi lebih bermakna, dan suami-suami
dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang tinggi di jalan Allah. Amin!
[1] Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 1974, halaman : 2
[2]Prof. Dr.
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Figh,
Bogor : Kencana, 2003, Halaman : 112.
[3] Prof.
Dr. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar
Figh, Bogor : Kencana, 2003, Halaman : 124
[4] Saleh
K.H Qamaruddin, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung Diponergoro, 1980 halaman
27.
1 komentar:
LOMBA BLOG !
permisi, minat ikut lomba blog ?
Hello bloggers Indonesia! Dalam rangka menyambut Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1436 H Refiza Souvenir menyelenggarakan blog competition bagi para bloggers. Tuliskan semua hal tentang souvenir Islami dan dapatkan hadiah menarik dari Refiza. . syarat dan ketentuan http://www.refiza.com/blogcompetition2015/
Posting Komentar